Pink Envelope

Sriasih (Asih Rehey)
Chapter #19

Bagian 19

Sepulang sekolah Fiza masih mengulang ingatan kejadian yang menimpanya. Hiruk pikuk kendaraan yang mendahului tak membuatnya beranjak dengan tatapan kosong. Ayahnya sangat berhati-hati memacu kuda besi yang setia menemani mencari rejeki dan juga mengantar anak-anaknya belajar.

 Sesekali ayahnya melihat anaknya dari kaca spion. Bagi seorang ayah membaca raut muka anaknya sendiri tidaklah teramat sulit. Apalagi gadis seusia Fiza memang gampang sekali berubah kondisi hatinya. Ayahnya membiarkan saja anaknya yang menikmati pikirannya sendiri. Perlahan sepeda motor itu memasuki halaman rumah. Ibunda Fiza tampak keluar dari rumah dan memeluk anak gadis satu-satunya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan seorang ibu harus tahu putrinya terkunci di sekolah sendirian dan tidak ada yang membukakan kunci. Ibunda Fiza segera merangkul anak gadisnya masuk ke dalam rumah. Dia menyiapkan makanan kesukaan Fiza, capcay kuah dengan bakso ikan serta ayam goreng kremes homemade yang juara.

Fiza terharu dengan perlakuan ibunya yang selalu memberikan sesuatu yang istimewa untuknya. Fiza merasa sangat beruntung memiliki orangtua yang sangat perhatian. Dia melihat wajah ibunya yang sedang mengambilkan makanan untuknya. Fiza mengucapkan terima kasih pada ibunya. Ibunya membalas dengan senyuman hangat yang selalu mencairkan segala kegundahan hati. Saat sedang menikmati hidangan, Fiza teringat kejadian-kejadian yang menimpanya. Semua seperti film yang diputar ulang di dalam otaknya. Ibunya menegur Fiza dengan lembut, menanyakan apakah makanan yang dibuat tidak enak hingga  terlihat pelan-pelan sekali. Fiza segera mengusir segala badai dalam hatinya. Dia tidak mau ibunya kecewa jika mengetahui tak menghabiskan makanan istimewa itu.

Sembari makan ibunya bercerita masa mudanya dulu. Dulu ibunya juga sering dirundung oleh kakak kelasnya. Tapi, ibunya beruntung selalu ada si ayah yang selalu menolong. Ternyata ayah dan ibu Fiza juga sudah mengenal satu sama lain sejak mereka SMA. Dari mulut ibunda Fiza tercurah sebuah cerita romantis dari keduanya. Keduanya harus berpisah karena sang ayah harus menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di ibukota. Sedangkan ibunda Fiza setelah lulus SMA hanya mengikuti kursus demi kursus untuk menambah ketrampilannya. Dari kursus tersebut ia mampu membuat usaha kecil-kecilan di rumah. Dari membuka jasa pembuatan goody bag sampai dengan tas-tas rajut cantik dan juga berbagai macam souvenir.

Mereka berdua dipertemukan dalam sebuah reuni akbar SMA tersebut. Ternyata keduanya masih menyandang status lajang. Dari pertemuan itu mereka sering bertukar surat, karena Firdaus harus bekerja di luar kota. Mereka juga saling mengungkapkan perasaan mereka masing-masing. Hingga akhirnya Firdaus muda memberanikan diri untuk melamar gadis pujaannya. Setelah menikah mereka harus menjalani hubungan jarak jauh untuk sementara. Firdaus di Jakarta dan Husna di Boyolali. Kemudian berhijrahlah Husna menuju Jakarta menyusul suaminya yang merupakan seorang teknisi di sebuah perusahaan perseroan milik negara.

Cobaan demi cobaan sudah mereka lewati hingga menguatkan satu sama lain. Beratnya mahligai rumah tangga yang telah mereka bangun tak rubuh begitu saja diterjang badai ujian. Fiza dengan seksama mendengar cerita ibunya. Dari cerita ibunya Fiza memetik ilmu dari pengalaman kedua orangtuanya. Bahwa cinta itu harus selalu setia, mempertahankan komitmen dalam sebuah keputusan meskipun timbul segala ujian dan cobaan. Dari kisah cinta kedua orangtuanya Fiza mengerti apa itu bentuk kesetiaan. Kesetiaan yang tak tergoyahkan meskipun banyak sekali yang datang silih berganti.  

Setelah selesai makan, ibunya melanjutkan pekerjaannya di meja jahit. Fiza menghampiri ibunya yang sedang asik dengan kain-kain di depannya.

“Mah, bagaimana kalau Fiza bawa contoh-contoh barang dagangan ke sekolah. Siapa tahu ada teman-teman Fiza yang tertarik,” ucap Fiza sambil duduk. Ia membantu merapikan barang-barang siap kirim di lantai.

“Kamu nggak malu?”

“Nggak, aku malah pengen belajar juga membuat souvenir. Siapa tahu Fiza bisa memasarkan produk yang Mama buat lebih jauh,” jawab Fiza dengan semangat.

“Ya sudah, kerjakan PR-mu dulu! Nanti Mamah ajarkan bagaimana membuat tempat pensil,” kata ibunya membujuk anaknya masuk ke kamar. Fiza segera berdiri dan meninggalkan ibunya.

“Za!” panggil ibunya. Fiza menoleh ke arah ibunya. 

“Kamu sudah baligh, Nak. Kapan kamu mau menutup aurotmu?” tanya sang Ibu membuat Fiza sedikit bingung.

“A-aku mau, Mah. Tapi…”

“Nak, dalam hal kebaikan bersegeralah!” kata sang ibu. Fiza pun mengangguk pelan.

Gadis berambut panjang itu larut dengan tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya. Sesekali dia melihat amplop-amplop yang berada dalam kotak khusus berwarna hijau itu. Kotak itu dia letakkan di dekat buku-buku koleksinya. Dia hanya menghela nafas panjang dan kembali mengerjakan soal-soal matematika. Prioritasnya saat ini adalah belajar dan menjadi ketua OSIS yang bisa menunaikan amanah.

Sore itu Kania disuruh ayahnya untuk mengirimkan sembako bersama supir keluarga mereka ke sebuah panti asuhan. Kania sebenarnya tidak mau, tetapi sang ayah memaksanya karena ibunya sedang ada diklat di luar kota. Kania dan Pak Jamal segera memacu mobil mereka ke panti asuhan tersebut. Mobil itu menyibak ramainya kendaraan yang lalu lalang di jalanan ibu kota.

Sebuah gedung dengan balutan warna serba putih berdiri kokoh. Kania segera turun dari mobil dan segera memasuki gedung tersebut. Gadis itu sedikit menggerutu karena baru pertama kali ia ke panti asuhan tersebut. Kania celingukan mencari ruang kantor panti tersebut. Ia bertanya pada seorang gadis kecil yang sedang bermain.

“Ruang kantor sebelah mana ya, Dik?” tanya Kania.

“Itu Kak, lurus saja. Bu Qomariyah ada di dalam kok,” jawab dua gadis yang sedang asik bermain itu.

“Terima kasih, ya.” Kania tersenyum dan segera melanjutkan langkahnya. Dia mengetuk pintu dengan sopan. Tampak seorang pria sedang asik berada di depan komputer berdiri.

“Loh, Kania!” sapa pria tersebut. Kania segera mengalihkan pandangannya ke dalam kantor. Betapa terkejutnya dia bahwa orang yang menyapanya adalah Diyas.

“Kak Diyas, Kak Diyas kok di sini?” tanya Kania penasaran.

“Lo sendiri ngapain ke sini? Gue memang tinggal di sini, Ka,” kata Diyas dengan senyum ramahnya.

“Eh! Serius?” tanya Kania tidak percaya.

“Iya serius. Gue memang tiap hari pulang ke sini. Oh ya, lo ada urusan apa? Bu Qomariyah lagi sholat asar tuh di mushola,” jawab Diyas.

“Oh, Gue disuruh Papa mengantar sedikit sembako untuk panti ini. Mama lagi ke luar kota, jadi Papa maksa aku untuk ke sini.”

“Oh ya, tolong bilang terima kasih ya kepada ayahmu. Hum, tapi siapa ya nama ayahmu? Pak Yohan, bukan?” tanya Diyas penasaran.

“I-iya.”

“Oh.. lo anaknya Pak Yohan. Yuk sini masuk dulu! Anggap saja rumah sendiri,” ajak Diyas dengan ramah. Kania hampir tidak percaya bahwa Diyas adalah anak yang tinggal di panti asuhan.

Sembari menunggu Bu Qomariyah datang. Diyas berbincang dengan Kania, lambat laun mereka malah membicarakan soal Fiza.

Lihat selengkapnya