Beberapa waktu setelah Diyas mengungkapkan perasaannya, Fiza sangat menjaga jarak. Terbukti ia tak pernah menyapa Diyas walaupun memiliki akun media sosial. Diyas hanya memantau postingan Fiza dan memencet tombol suka. Mereka berdua telah mengerti isi hati masing-masing dan mengerti keadaan bahwa Melinda akan berbuat apa saja jika Fiza tetap dekat dengan Diyas.
Pagi itu seperti biasa Fiza diantar ayahnya. Dengan senyum merekah Fiza mencium tangan ayahnya dan segera berlari menyalami para gurunya. Ayahnya pun tersenyum kepada guru piket salaman di gerbang sekolah. Fiza segera berlari menuju perpustakaan. Bu Tika sedang membersihkan lantai perpustakaan. Gadis itu mengagetkan Bu Tika dari belakang. Sontak Bu Tika kaget mendengar kejutan dari Fiza.
Gelak tawa Fiza menggema di seluruh ruang, tetapi gadis itu segera mohon ampun kepada Bu Tika. Wanita berumur seperempat abad itu tersungging kepada Fiza, Sang gadis segera meletakkan buku yang kemarin dipinjamnya sesuai dengan tema buku. Ia pun segera mencari buku dalam deretan rak. Dari balik rak tersebut, Fiza melihat Diyas sedang berjalan menuju perpustakaan. Gadis berambut panjang itu segera bersembunyi di pojok rak. Bu Tika memperhatikan Fiza dan memberikan kode kepadanya. Bu Tika seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh gadis berambut panjang itu.
Diyas memasuki ruang perpustakaan dan menyapa Bu Tika yang sedang menikmati segelas teh manis yang dihidangkan oleh tukang kebun. Dari balik rak buku Fiza mengamati Diyas dan Bu Tika sedang bercakap-cakap. Pemuda itu rupanya mengembalikan buku. Ia segera undur diri setelah selesai menulis tanggal pengembalian di buku peminjam. Bersamaan dengan sang pemuda keluar, Fiza keluar dari persembunyiannya. Bu Tika geleng-geleng kepala melihat kelakuan Fiza.
“Kenapa kamu menghindari Diyas, Za?”
“Saya belum siap,” kata Fiza sembari memilih-milih buku yang diburunya. Setelah menemukan buku yang sesuai dengan pikirannya. Ia bergegas mencatatkan ke buku peminjam.
“Kenapa belum siap?” tanya Bu Tika penasaran.
“Saya nggak mau pacaran. Fokus saya sekarang hanya belajar. Jika jodoh tak akan kemana kok, Bu. Kita lihat saja, dia tipe pemuda yang setia dengan perasaannya atau tidak.” Fiza tersenyum manis. Bu Tika heran dan kagum dengan sikap gadis pandai di depannya.
“Oh ya, Saya boleh nitip brosur ya di sini. Siapa tahu ada yang minat dengan produk ini, Bu,” kata Fiza sembari membuka tasnya dan memberikan beberapa brosur.
“Ya ampun, kamu sudah punya usaha seperti ini, Za?” tanya Bu Tika terheran-heran ketika melihat brosur yang diberikan Fiza.
“Alhamdulillah, sedang belajar jadi pengusaha. Siapa tahu bisa jadi milliader,” jawab sang gadis sambil bergurau. Fiza undur diri sembari membawa buku yang dipinjamnya.
Gadis berambut panjang itu segera memasukkan bukunya ke dalam tas dan mengambil beberapa brosur untuk dibagikan pada teman-temannya. Fiza dengan ramah dan tanpa rasa malu memberikan brosur tersebut. Ternyata tanpa sepengetahuan Fiza, Diyas memperhatikan dari kejauhan. Diyas tersenyum melihat gadis pujaannya itu berkembang menemukan jati dirinya dengan cepat. Dia bukan gadis remaja yang gampang menyerah. Dia tumbuh menjadi gadis yang penuh semangat dan juga kemauan yang keras.
Fiza melihat sahabatnya datang memasuki kelas. Dia undur diri dari temannya dan segera menghampiri sahabatnya. Fiza tak kuat hati ingin membuka isi surat dari Diyas. Dia bergegas menghampiri sahabatnya yang sedang meletakkan tasnya.
“Mana suratnya?” sapa Fiza mengejutkan Kania.
“Hm, Sabar, Non. Gue duduk dulu,” kata Kania sedikit menggoda sahabatnya yang dirundung rasa penasaran. Fiza pun pasrah mengikuti alur yang dibuat oleh sahabatnya.
“Nih, titipannya. Belum aku buka sedikit pun!” Kania memberikan sebuah amplop berwarna merah jambu. Warna kedua yang menjadi warna kesukaan Fiza.
Fiza segera menyambut apa yang diberikan sahabatnya. Dia tak sabar untuk membuka surat tersebut. Kania pun ikut nimbrung membaca surat tersebut.
Dear Fiza,
Maaf kalau gue terlalu lancang untuk memberikan lo sepucuk surat ini. Terlalu kampungan mungkin cara gue untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatiku.
Mungkin benar apa yang lo minta kemarin Za, karena gue,sekarang lo jadi bulan–bulanan Melinda. Melinda terlalu buta dengan perasaannya hingga dia tidak pernah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi gue tahu, lo adalah gadis yang dewasa dan gue sangat menyukai hal itu.
Fiza, gue nggak mau memungkiri perasaan gue sendiri. Gue kagum sama lo sejak pertama kali kita ketemu. Gue sangat menyukai cara lo dalam menegur kesalahan gue. Lo harus tahu Za, perasaan gue tumbuh dengan sendirinya. Gue semakin ingin melihat lo marah-marah. Lo terlihat sangat tegas, lo punya karakter dan gue menyukai hal itu.
Gue akan bersabar agar perasaan gue mendapatkan waktu yang tepat. Lo harus tahu Za, gue bukanlah tipe cowok yang main-main dengan perasaannya. Gue akan membuktikan pada lo, bahwa gue layak menjadi seseorang yang pantas buat lo.