Adzan subuh lamat-lamat terdengar. Gadis yang dirundung nestapa itu duduk di ruang tunggu sendirian. Sang ayah masih mengurusi semua administrasi agar jenazah istrinya bisa segera dibawa pulang. Fiza memperhatikan perawat-perawat yang sedang asyik mengobrol di ruang mereka. Ia hanya tertunduk, untuk menangis pun seperti air matanya telah habis. Semua terasa mendadak, baru kemarin ia bercanda sambil mempersiapkan galeri. Kini, Fiza harus memulai sendirian. Jalan takdir memisahkan keduanya. Sedangkan Dew, mengutuk dirinya sendiri. Ia menyalahkan dirinya sendiri.
“Jika saja aku nggak menolak permintaan Mamah, pasti Mamah nggak akan pergi seperti ini. Ini semua kesalahanku! Mamah meninggal gara-gara aku!” batinnya. Tangan Dew masih bergetar. Semua pikiran buruk menghinggapinya.
“Dew… lo kenapa?” tanya Fiza sembari mendekati tubuh adik laki-lakinya.
“Kak, gue minta maaf! Maafin gue, Kak! Semua salah gue!” tubuh Dew melorot ke lantai.
“Gue tahu lo nolak untuk nganterin Mamah kemarin. Tapi, semua sudah takdir Dew. Emang jalan Mamah seperti ini. Gue nggak nyalahin lo! Berhenti menyalahkan diri lo sendiri!” pinta Fiza sambil memeluk tubuh Dew. Dew menangis dipelukan Fiza.
Pak Firdaus berjalan menyusuri lorong rumah sakit, dia menepuk bahu kedua anaknya yang sedang berpelukan. Ia mengajak putra-putrinya untuk sholat jamaah di masjid terlebih dahulu. Mereka bertiga tenggelam dalam , yang sama-sama hancur hatinya. Air mata Fiza mengalir perlahan, entah apa yang dirasakan Fiza, ketakutan, keresahan ataupun kehilangan bercampur jadi satu memenuhi hatinya. Sementara Dew masih memeluk rasa bersalahnya. Ayahnya merangkul bahu putra-putrinya setelah keluar dari pintu masjid. Fiza dan Dew memeluk ayahnya erat-erat. Sekarang hanya ayahnya yang menjadi tempat mencurahkan segalanya. Setelah puas menangis, ketiganya menyeka air mata satu sama lain.
Walaupun sulit, mereka tetap berusaha berdiri tegar. Fiza masih merapal doa. Perpisahan ini sudah termaktub dalam amplop takdir. Sang gadis harus menggantikan peran ibunya di esok hari. Ia hanya bisa pasrah dengan belenggu takdirnya. Pak Firdaus tersenyum kepada putrinya. Dalam senyum itu seakan berkata “Kita bisa melaluinya, Nak”.
Terlihat tubuh ibunya sudah selesai dikafani. Ia berjanji dalam hati, akan selalu menjaga ayah dan adiknya serta berusaha menjadi wanita yang kuat seperti ibunya. Setelah proses selesai jenazah dimasukkan ke dalam mobil ambulance. Keduanya ikut dalam mobil itu. Di rumah sudah banyak tetangga yang menunggu mereka.
Kania pun kaget mendengar bahwa ibu Fiza meninggal dunia. Sesampainya di sekolah dia segera memberitahu wali kelasnya. Wali kelasnya pun menginstruksikan agar semua anak di kelas Fiza takziah ke rumah duka. Kania pun mengkoordinir rekan-rekannya. Anggota OSIS pun sudah mendengar kabar duka tersebut. Mereka langsung berkeliling menuju kelas-kelas untuk mengumpulkan dana sosial. Sudah menjadi kebiasaan di sekolah tersebut, jika ada keluarga dari siswa yang meninggal mereka akan memberikan dana duka untuk yang bersangkutan.
Fiza dan ayah berganti pakaian dengan pakaian serba hitam. Fiza mengenakan jilbab hitam milik ibunya. Ia hanya tertunduk membacakan surat yasin untuk arwah ibunya. Setelah tak kuat menahan semua lara, ia mengurung diri di kamar. Dengan isakan tangis yang tak bersuara ia duduk menatap galeri di halaman dari balik kaca. Kemudian dia teringat ucapan ayahnya agar tidak menangis lagi. Karena ibunya bisa sedih jika melihatnya menangis. Fiza segera menyapu air matanya.
“Mah, aku janji sama Mamah. Aku nggak akan manja lagi. Aku akan buktikan pada Mamah. Aku bisa menjadi pengganti Mamah untuk Dew. Aku bisa jadi wanita yang hebat seperti yang Mama harapkan,” guman Fiza sambil menyeka air matanya.
Kania sengaja datang ke rumah Fiza lebih dulu diantar sopir keluarga mereka. Ia turun dari mobilnya bergegas bersalaman kepada beberapa kerabat ayah Fiza yang tinggal di kota ini. Bu Eni memberitahu bahwa Fiza ada di kamarnya. Kania dengan sopan memohon izin untuk menemani Fiza di kamar. Gadis itu segera naik dan nama NAFIZA tampak di depannya. Ia segera mengetuk kamar tak terkunci itu dan masuk ke dalam. Ia mendapati sahabatnya sedang memeluk foto ibunya di depan jendela. Kania duduk di ranjang.
“Za, yang ikhlas ya, mungkin Tuhan punya rencana lain dalam hidup lo, Za,” kata Kania.
“Iya, terima kasih, Ka. Baru kemarin gue dan Mamah merapikan galeri baru di halaman. Sekarang Mamah udah nggak ada. Gue nggak tahu harus bagaimana ke depannya. Semua masih terasa gelap,” jawab Fiza dengan suara parau.
“Za, apapun yang terjadi. Seberat apapun esok, lo harus yakin pada Tuhan. Tuhan pasti bersama lo. Dia tak akan meninggalkan umatnya sendirian. Dia akan menuntun lo, Za. Lo jangan takut,” kata gadis dengan bando berwarna biru itu memberikan nasehat kepada sahabatnya. Kedua gadis itu masih berada di kamar dengan aksen warna hijau dan hiasan serba berbentuk keropi.
Di bawah Pak Firdaus sibuk menerima telepon. Mertuanya sudah berada di bandara bersama adik iparnya. Pak Firdaus memberikan saran agar adik iparnya naik taksi saja. Paman Fiza pun mengiyakan permintaan kakaknya.
“Bagaimana, Nto? ” tanya wanita tua dengan jilbab coklat itu.
“Kita naik taksi saja ya, Mbok,” kata pria bernama Anto itu.