Setiap malam Dew selalu dihantui rasa bersalahnya. Terkadang dia memimpikan saat-saat ibunya saat kecelakaan. Hal itu benar-benar membuat adik semata wayang Fiza itu tersungkur jauh ke palung kegelapan.
Dia selalu berandai-andai jika hari itu ia bersedia mengantar pesanan pelanggan ibunya, pasti ibunya masih hidup. Remaja berambut ikal itu menelangkupkan wajahnya ke lututnya. Dalam kesendirian ia selalu meratapi rasa bersalahnya. Dew memang pandai menyembunyikan isi hatinya. Dia selalu terlihat baik-baik saja di hadapan Fiza dan ayahnya. Tapi, kamarnya menjadi saksi bisu betapa rasa itu menggerogoti mentalnya. Hingga suatu malam, tak sengaja tangisan Dew terdengar dari kamar seberangnya. Fiza perlahan-lahan membuka pintu kamar Dew. Sosok adik laki-lakinya bukan seseorang yang gampang menangis.
Fiza membuka pintu kamar Dew dengan perlahan, dia memperhatikan adiknya menangis sesenggukan memeluk kedua lututnya.
“Dew, apa yang terjadi?” tanya Fiza sembari mendekatinya.
Dew malu untuk mengangkat mukanya. Dia masih sibuk menata hatinya. Tak disangka tangisannya malam ini terdengar oleh kakaknya.
“Lo nggak usah khawatir, gue baik-baik saja kok, Kak.” Dew menyeka air matanya. Fiza hanya mengernyitkan dahi.
“Lo udah nyatain perasan lo ke Kania?” selidik Fiza.
“Apaan sih! Nggak! Mana mungkin gue berani ngomong ke Kak Kania!” sergah Dew.
“Terus? Ngapain lo nangis kayak gini? Lo ada masalah apa? Cerita dong sama gue! Gue satu-satunya saudara yang lo punya!”
Dew hanya menggelengkan kepalanya. Tapi, jiwa detektif Fiza sangat tajam. Dia bisa menerka apa yang ada di dalam kepala adik laki-lakinya.
“Mamah udah meninggal karena sudah ditakdirkan seperti itu, gue harap lo nggak menyalahkan diri sendiri. Gue tahu waktu itu lo nolak buat nganterin pesanan. Memang gue pernah sih menyalahkan lo juga. Tapi… gue lebih percaya emang Tuhan ngasih cerita Mamah meninggal dengan seperti itu.”
Dew melihat sorot mata Fiza dalam-dalam.
“Kak, lo berhak benci sama gue!”