“Kak, maafin gue! Besok lagi gue akan jagain lo. Gue janji nggak akan tidur,” bujuk Dew. Keduanya berjalan menyeret koper masing-masing. Sesekali Dew memperhatikan raut wajah kakaknya. Dia tahu raut wajah Fiza nampak jengkel padanya. Fiza memang menuruni sifat ibunya. Dia akan diam jika merasa kesal.
“Dew! Fiza!” panggil Om Anto.
“Om!” sambut Fiza dengan senang dan memeluk pamannya.
“Wah, keren keponakan Om keren! Sudah berapa foto yang kamu ambil?” puji Om Anto.
“Hem, Dew malah tidur terus Om semalaman yang jaga ya aku. Mana mungkin dia bisa mengambil gambar. Yang ada ngiler terus tuh,” gerutu Fiza sedikit cemberut menatap adiknya. Adiknya hanya tersenyum mendengar gerutuan kakaknya.
“Tugas seorang kakak memang melindungi adiknya. Fiza kakak hebat pokoknya. Kamu pasti capek kan? Yuk kita pulang,” ajak pamannya. Fiza dan Dew mengangguk mendengar ajakan pamannya. Kedua kakak beradik itu pun segera mengikuti pamannya yang menyeret kedua koper keponakannya. Mereka segera masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan menuju Boyolali.
Ramainya jalan Solo-Semarang tak membuat Fiza bangun dari tidurnya. Dia tampak kecapekan dan tidur di jok belakang. Sementara adiknya duduk di jok depan menemani pamannya menyetir. Mereka berdua tampak larut dalam obrolan kaum lelaki penyuka bola. Fiza masih tertidur hingga sang paman mengajak mereka untuk sarapan. Fiza bangun dengan sedikit berat. Matanya seperti di lem. Hampir semalaman dia tidak tidur membaca beberapa buku untuk mengusir kantuk demi menjaga sang adik.
Mobil berhenti di sebuah rumah makan di jalan Merbabu. Sebuah warung sederhana tampak dipinggir jalan.
“Kita makan ayam penyet saja ya, Za?” ajak pamannya kepada Dew.
“Ok,” jawab singkat Dew. Dia melihat kakaknya masih tidur di belakang. Dia berusaha membangunkan kakaknya dengan melempar bantal ke muka Fiza. Fiza kaget bukan kepalang ada sesuatu yang menimpuk wajahnya.
“Hih, ini pasti ulah Dew deh!” kata Fiza jengkel.
“Lagian tidur mulu, makan yuk!” ajak sang adik tanpa merasa bersalah.