Anto mengajak kedua keponakannya untuk ke halaman rumah sehabis sholat isya. Di halaman rumahnya tampak lampu-lampu kota terlihat dengan indah. Fiza dan Dew sangat merindukan pemandangan pada malam hari dari rumah neneknya. Fiza seperti mengingat sesuatu, dia bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya dan mengeluarkan kamera dan sebuah tripod dari tasnya.
Dia segera menyusul Dew yang sudah di luar. Seperti kebiasaannya membuat tutorial untuk diunggah di chanel youtubenya. Kali ini dia ingin membuat video tentang liburannya. Fiza tampak mendeskripsikan keadaan sekitarnya dan memperlihatkan betapa indah suasana malam hari di desa neneknya. Fiza mengajak pula paman dan adiknya untuk memberikan komentar dalam videonya sambil bercanda. Setelah selesai Fiza menekan tombol stop pada kameranya. Kemudian Fiza masuk ke dalam kamar. Untung saja ketika perjalanan pulang tadi dia menyempatkan membeli quota data provider yang bagus untuk dipakai di rumah neneknya. Jadi dia bisa sepuasnya berselancar di dunia maya. Sambil mendengarkan musik. Fiza mengunggah video. Setelah selesai, dia menghampiri pamannya yang asik menonton televisi. Neneknya sudah tidur menemani Dew yang merasakan dingin. Dia tidur dengan dua selimut sekaligus. Walaupun sudah remaja dan hanya selisih satu tahun dengan Fiza, sang Nenek masih menganggap Dew sebagai cucu manis kesayangannya.
“Om, aku temenin ya,” kata Fiza duduk di samping pamannya.
“Sudah selesai upload videonya?”
“Sudah,” jawab singkat Fiza sambil mengambil cemilan yang ada di meja.
“Tadi siapa yang nelpon? Pacarnya Fiza ya?” tanya penasaran pamannya.
“Ye… hari gini pacaran? Say no to pacaran,” jawab Fiza sambil manyun.
“Terus siapa dong kalau bukan pacar?”
“Si Kania itu loh!”
“Oh yang sering menemani kamu di rumah itu, kan?”
“Betul.”
Paman dan keponakannya itu berbincang sambil menikmati siaran televisi. Keduanya terkadang tertawa terbahak-bahak setiap ada sesuatu yang lucu yang mereka katakan. Paman Fiza adalah sosok yang sangat dekat dengan keponakannya. Dia menganggap keponakannya seperti anaknya sendiri.
Ketika Fiza asik menikmati malam di depan televisi. Ponsel di sampingnya berbunyi tampak notifikasi akun media sosialnya di layar ponsel itu. Fiza segera membukanya, ternyata Diyas yang mengomentari foto-foto Fiza.
“Enjoy your holiday, see you.” tulis Diyas dalam kolom komentar. Fiza tersenyum membaca komentar itu. Untuk pertama kalinya Diyas menulis komentar untuk Fiza. Fiza tak membalas komentar itu. Dia memutuskan pergi ke kamar dan menikmati tidur di kamar almarhum ibunya. Udara dingin berhembus membuat Fiza memutuskan untuk memakai jaketnya. Di kamar tersebut juga sudah disiapkan dua selimut tebal untuk Fiza. Neneknya sudah paham betul kebiasaan cucunya.
Fiza tersenyum membayangkan senyum Diyas yang mengembang ketika mereka kemah dahulu. Senyum itu tidak pernah hilang dari ingatannya. Perlahan Fiza memejamkan matanya. Tapi gadis berambut panjang itu segera merapal kalimat istighfar dan bersiap untuk tidur. Dia tidur dengan pulas malam itu. Hingga adzan subuh dari masjid desa itu berkumandang barulah Fiza bangun. Neneknya mengetuk pintu kamar dan ternyata Fiza sudah berada di dapur. Dia mencuci piring dan gelas bekas makan malam kemarin. Neneknya tersenyum senang melihat cucunya sudah beranjak menjadi gadis yang dewasa.
“Kalau di Jakarta kamu bangun jam berapa, Za?” tanya neneknya.
“Mbah Ti baru bangun? Oh Fiza bangun jam setengah empat. Nyuci terus subuh, terus masak,” jawab Fiza sembari membilas piring-piring yang ada di hadapannya.
“Yang masak buat ayah dan adikmu, kamu?” tanya neneknya tidak percaya. Fiza mengangguk sambil tersenyum pasti.
“Alhamdulillah, kamu persis sekali dengan ibumu, Nduk,” kata neneknya. Wajah cantik Fiza Nampak sayu ketika teringat ibunya. Tapi dia bergegas menepis kesedihannya. Fiza memasukkan nasi ke dalam wadah penanak nasi. Dia sudah terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Setelah selesai dia segera mengambil sapu dan menyapu semua lantai di rumah itu. Kemudian dia melanjutkan membersihkan halaman rumah, pemandangan pagi di halaman rumah neneknya pun tak kalah indah. Fiza begitu terkagum-kagum melihat ufuk timur yang sudah terlihat berawan dengan semburat cahaya merah. Dia pun bergegas mengambil kamera dan tripodnya.
Dia bergegas mengambil video pagi itu.
“Hai guys, ketemu lagi sama gue. Nah, pagi ini gue sedang berada di kaki Gunung Merbabu, rumah nenek gue. Kali ini gue akan mengajak kalian untuk menikmati indahnya sunrise dari halaman rumah nenekku…..” panjang lebar Fiza mendeskripsikan keadaan alam di sekitar rumah neneknya.
Pamannya keluar dari rumah dan melihat keponakannya asik merekam video. Setelah matahari terbit, Fiza meletakkan kameranya di bangku tempat pamannya duduk. Dia segera mengambil kembali sapu yang ada di halaman.
“Kamu ini Za, anak kota kok punya bakat nyapu juga,” goda pamannya.
“Ye…, jangan remehkan anak kota ya, Om. Kalau dia sudah pegang sapu, kelar hidup lo!” kata Fiza sambil tertawa. Pamannya juga tertawa mendengar jawaban keponakannya. Mereka berdua juga asik berbincang di luar rumah. Dew masih tidur di dalam selimut, dia lupa tidak sholat subuh. Beberapa orang di desa tersebut sudah bersiap untuk ke ladang. Sepagi itu mereka sudah berangkat menyambut rejeki.
“Mereka mau kemana, Om?” tanya Fiza penasaran.
“Ke ladang lah, mau kemana lagi? Ke mall?” ledek pamannya.