Melinda benar-benar tak mempunyai teman sama sekali di sekolah tersebut. Dia lebih memilih untuk ke perpustakaan jika jam istirahat. Fiza dan Kania pun datang ke perpustakaan itu. Kania hanya melongo ketika sahabatnya menghampiri Melinda yang menyendiri sembari mengerjakan tugas. Melinda dengan semangat menceritakan bahwa dia sudah mempunyai kontak Fuad.
“Berarti sekarang lo sudah bisa komunikasi ya sama, Bang Fuad?” tanya Fiza sambil melirik ke arah sahabatnya. Kania tampak gusar sesekali ia menghela nafas panjang.
“Iya, sekarang gue bisa ngobrol sama Bang Fuad,” kata Melinda berbunga-bunga. Kania pun sedih mendengar ucapan Melinda. Dia memilih untuk segera mencari buku. Gadis itu meninggalkan Fiza dan Melinda. Fiza sudah bisa menebak kenapa Kania tampak murung setelah mendengar nama Fuad diucapkan Melinda. Selama ini Kania menunggu kabar Fuad. Tetapi cowok yang itu tak pernah sekalipun menelponnya.
“Oh ya Za, long weekend nanti lo mau nggak ke Solo. Nemenin gue buat ketemu Bang Fuad?” pinta Melinda kepada Fiza.
“Kalau gue sih mau saja. Tapi gue izin dulu sama Ayah, Kak,” jawab Fiza sembari membuka buku yang dia bawa. Terbersit rencana dalam kepalanya. Dia ingin sahabatnya bisa bertemu Fuad lagi. Melinda berpamitan kepada Fiza, ia mengangguk mempersilakan Melinda pergi. Kania memeluk buku yang dicarinya.
“Kenapa, lo?” tanya Fiza.
“Nggak apa-apa,” jawab Kania.
“Lo kelihatan gusar seperti itu setelah mendengar Bang Fuad menghubungi Melinda?” tanya Fiza seakan mengerti pikiran Kania.
“E… nggak apa-apa sih. Beruntung saja Melinda. Lagian siapa gue? Gue kan sepenting itu untuk dihubungi.”
“Lo cemburu? Hei, Melinda adiknya Fuad, Ka,” kata Fiza.
“Iya, gue tahu.”
“Gue diajak ke Solo long weekend besok. Lo mau ikut nggak?” tanya Fiza.
“Yakin Melinda sudah berubah?” tanya Kania serius. Wajah gadis itu penuh kekhawatiran mengingat sikap Melinda yang telah lalu. Gadis itu menaruh buku dipelukannya ke atas meja, sambil duduk dia menatap sahabatnya lekat-lekat.
“Melinda sudah berbuat seperti itu ke lo, Za. Lagian ke Solo ngapain?” tanya Kania mulai penasaran.
“Menemui Bang Fuad. Melinda kangen,” jawab Fiza sontak membuat Kania tersedak. Fiza tersenyum melihat gelagat sahabatnya.
“Berangkat aja kalau lo mau. Gue… belum siap ketemu Bang Fuad.”
“Gue nggak mau pergi kalau lo nggak ikut,” kata Fiza yang membuat sahabatnya hanya mendengus kesal. Fiza masih berusaha membujuk Kania. Tapi, gadis itu langsung beranjak ketika Fiza menggoda. Fiza melanjutkan langkah kakinya menuju masjid. Dia harus melakukan rapat koordinasi untuk pengadaan kegiatan di rohis sekolah tersebut.
“Menurut lo seberapa besar keberhasilan program ngaji bareng ini buat anak-anak?” tanya Fiza pada ketua Rohis.
“Lo tahu sendiri kan, Za. Hanya sedikit sekali yang mau masuk kegiatan rohis ini. Kita akan sebar brosur kegiatan ini ke kelas-kelas. Kita juga akan melakukan mendampingi anak-anak yang mau belajar ngaji secara privat.”
“Hm… gagasan lo bagus. Gue selalu dukung lo. Kalau ada kendala lo bilang ke gue. Semoga gue bisa bantuin program kerja lo, Mad.” Ketua rohis bernama Ahmad Zanuari mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Semburat cahaya matahari terbenam menemani langkah kaki gadis beranjak dewasa yang diselimuti kesibukan itu. Beberapa kali dia menghela nafas panjang. Beberapa kali dia berdiskusi dengan dirinya sendiri. Apakah semua langkahnya sudah tepat? Apakah kedepan semua akan baik-baik saja? Begitulah segelintir pertanyaan yang selalu menghiasi kepalanya. Fiza memainkan kakinya sambil menanti kedatangan Dew, tapi hanya panggilan yang dia dapatkan.
“Buruan jemput!” perintah Fiza.
“Kak, lo bisa nyari gojek?”