Enam tahun berlalu dengan cepat, Fiza membungkus semua kesedihan dan kehampaannya dengan menghafal Alquran. Setiap kamis sore, dia berkunjung ke makam ibunya dan juga mampir ke makam orang tua Diyas. Bunga mawar putih selalu tertabur di empat makam tersebut. Kehidupan Fiza sangat kosong karena kepergian Diyas. Tetapi dia berusaha mengaburkan semua kesedihannya. Dengan datang ke panti, mendongeng untuk anak-anak di sana dan juga belajar di salah satu universitas negeri di Jakarta.
Walaupun beda kampus, Kania masih menjadi sahabat terbaik Fiza. Mereka berdua menjadi team yang solid dalam mengembangkan sayap bisnis Twinza collection. Tujuan hidup Fiza berubah semenjak kepergian Diyas yang tiba-tiba. Dia menyimpan setiap kenangan baik surat-surat Diyas, foto-foto, maupun sandal pemberian Diyas dengan rapi. Juga momen indah bersama Diyas masih tersimpan rapi di dalam hatinya. Sedangkan Dew juga sudah mulai move on dari Kania. Dia fokus mengejar mimpinya di dunia animasi. Patah hatinya ia salurkan ke hal-hal positif. Ia beberapa kali ikut perlombaan film animasi bersama rekan-rekannya di kampus.
Soni tak pantang menyerah untuk mengejar Fiza. Ia sering menemui Fiza di kampus karena mereka kebetulan satu kampus. Di kampus itu, Soni mendapatkan teman yang memberikan pengaruh buruk dalam hidupnya.
“Lo masih saja mengharap cewek itu, Son?” tanya Hans.
“Gue bakal dapatin dia dengan cara apapun, Hans,” jawab Soni.
“Gue punya ide,” kata Hans tersenyum licik.
“Ide apa?”
Hans pun membisikkan rencana jahat kepada Soni.
“Gila!” ucap Soni sesaat setelah mendengar rencana Hans.
“Katanya lo pengen dia dengan cara apa pun. Nah, itu cara terbaik yang bisa lo lakukan sekarang.”
“Resikonya terlalu besar, Hans.”
“Hah! Mental lo kayak tempe!” kata Hans meninggalkan Soni sendiri.
Soni berpikir sejenak dan memandang temannya dari kejauhan. Sosok Fiza masih melayang dalam pikiran Soni sore itu. Perasaannya yang menggebu berubah menjadi sebuah obsesi yang mengerikan.
Kania menjemput Fiza dengan mobilnya setelah Fiza selesai mengajar mengaji anak panti. Kedua sahabat itu berencana untuk membeli bahan-bahan untuk produk mereka.
“Gue lapar, mampir makan dulu ya, Ka!” ajak Fiza.
“Siap, Bos. Lo pengen makan apa?” tanya Kania.
“Tempat biasa.”
“Ok.”
Mobil Kania melaju cepat menyibak keramaian jalanan ibu kota.
“Lo jadi beli mobil?” tanya Kania.
“Jadi, Insya Allah. Biar gue nggak ngerepotin lo terus.”
“Gue ikut seneng deh dengernya. Biar gue nggak jadi sopir lo terus.” Kedua sahabat itu pun tertawa.
“Lo nggak bosen ke panti itu? Kenapa sih lo semangat banget mengajar di sana?” tanya Kania penasaran.
“Ada sesuatu yang nggak bisa gue lepas, Ka.”
“Diyas?” Kania menebak pikiran sahabatnya, “haduh! come on, Za. Lo move on dong dari dia. Sampai kapan lo menunggu. Lihat deh, Soni nggak kalah ganteng dari Diyas. Dia kayaknya suka tuh sama lo.”
“Hati gue bukan terminal, Ka. Yang gampang sekali orang keluar masuk. Nggak jadi makan aja deh, nafsu makan gue hilang lo ngomong gitu,” jawab Fiza tegas.
“Wah, kayaknya marah nih. Sorry-sorry, Za. Gue nggak bakal ngungkit itu lagi deh. Kita makan di tempat biasa ya? Kasihan dong perut lo. Ntar lo sakit, gue yang repot,” bujuk Kania sambil cengar-cengir membujuk sahabatnya.
Fiza tak menggubris Kania, topik itu selalu menjadi topik paling sensitif yang membuat Fiza gampang berubah situasi hatinya. Setelah mampir di warung makan langganan mereka, mereka kembali menuju surga para crafter belanja. Fiza sudah menyiapkan daftar barang yang dia cari.
“Za, ini bagus,” kata Kania memberikan ide.
“Next saja deh, di luar budget. Kalap nanti kalau nurutin keinginan,” kata Fiza menyeret sahabatnya. Kania manyun mendengar kata-kata itu keluar dari mulut sahabatnya. Memang Fiza sangat pandai mengontrol pengeluaran usahanya.
Saat perjalanan pulang, Kania mendapat telpon dari Fuad. Dia memberitahu bahwa akan ke Jakarta dengan kerabatnya. Kania benar-benar senang mendengar hal tersebut. Fiza cemberut, dan segera merebut ponsel sahabatnya karena Kania sedang menyetir.