Pesta pernikahan Kania dan Fuad diadakan di sebuah gedung hotel. Mereka tampak bahagia sekali dengan gaun bernuansa hijau emerald. Fiza memandang sahabatnya dari kejauhan. Dia tersenyum karena sahabatnya kini telah menemukan sandaran dalam hidupnya. Diyas ternyata mendapatkan undangan pesta itu, karena memang dia kenal dekat dengan Fuad saat di Jakarta. Diyas banyak belajar dari Fuad yang bekerja keras di jalanan.
Diyas tak sengaja melihat sosok gadis yang telah lama ia cari. Fiza berjalan menyingkir dari kerumunan orang di pesta tersebut. Diyas pun mengejarnya, tetapi sayang Fiza terlalu cepat pergi.
Setelah diterima menjadi seorang dosen di sebuah kampus bonefit, Diyas akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Sehabis menghadiri pesta pernikahan Kania dan Fuad. Diyas mengunjungi makam kedua orang tuanya. Betapa kaget dirinya, ketika melihat bunga mawar yang telah mengering di nisan kedua orang tuanya. Diyas pun menghampiri seorang petugas penjaga makam yang sedang membersihkan daun kering di dekat makam orang tuanya.
“Assalamualaikum, Bapak.”
“Waalaikumsalam, Mas. Ada yang bisa saya bantu?” tanya lelaki tersebut.
“Saya mau nanya, Pak. Bapak tahu tidak siapa yang sering memberikan mawar ke makam kedua orang tua saya ini?”
“Oh, setahu saya setiap kamis sore ada seorang gadis berjilbab yang datang ke makam ini, Mas. Biasanya setelah mengaji dari makam itu. Dia selalu ke makam ini untuk meletakkan mawar putih. Tuh, ada yang kelihatan masih baru kan? Ini mawar yang dia bawa kamis kemarin,” jawab petugas itu sambil menunjuk ke mawar yang sudah mulai layu.
“Begitu ya, Pak. Terima kasih sebelumnya. Ini ada sedikit rejeki untuk Bapak. Terima kasih sudah merawat makam kedua orang tua saya.”
“Wah, terima kasih, Mas. Semoga Allah mencatat sebagai amal kebaikan Mas. Saya pamit dulu ya,” kata lelaki tersebut. Diyas pun segera melantunkan surat Yasin yang sangat dia hafal.
Kamis sore itu Diyas menyempatkan diri untuk ke makam orang tuanya. Dia penasaran siapa sebenarnya gadis yang selalu memberikan mawar-mawar putih itu di makam orang tuanya. Seorang gadis berjilbab putih sedang duduk di sebuah makam yang ditunjuk oleh petugas pembersih makam kemarin. Diyas memperhatikan dari jauh gadis itu melantunkan surat Yasin tanpa musaf, dapat diartikan gadis itu memang hafal surat tersebut. Diyas pun melihat gadis itu berdiri, dan mulai berjalan.
“Fiza,” ucap lirih Diyas. Diyas segera berjalan menghampiri Fiza yang tengah meletakkan mawar putih yang dia bawa di makam orang tuanya.
“Ternyata selama ini lo nggak melupakan kedua orang tua gue, Za,” kata Diyas membuat Fiza menoleh ke arahnya.
Fiza tercengang melihat Diyas berdiri di hadapannya. Air matanya menetes deras tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya. Fiza segera mengusap air matanya dan beranjak pergi. Tetapi Diyas meraih tangan Fiza dan Fiza hanya bisa berhenti.
“Maafkan gue Za. Gue terlalu larut dalam dunia gue. Gue terlalu larut dalam tujuan hidup gue untuk menuntaskan hafalan. Gue terlalu larut untuk mempersiapkan dan memantaskan diri menjadi sosok yang pantas untuk berada di samping lo. Pada hari gue pulang ke Jogja, gue menitipkan surat buat lo kepada Soni. Gue pikir lo akan menghubungi gue setelahnya. Di dalam surat itu gue menjelaskan kenapa gue pergi tergesa-gesa dan tanpa pamit sama lo.”
“Surat? Soni?”
“Jangan-jangan Soni nggak memberikan surat itu?”
Fiza hanya menggelengkan kepala sambil menundukkan kepalanya.
“Za, gue minta maaf atas semua ini.”
“Gue sudah memaafkan lo sedari dulu, lalu buat apa lo minta maaf?” Suara Fiza sedikit parau. Diyas berlutut di hadapan Fiza. Dan memegang kedua tangan Fiza. Fiza malah menghindari kontak mata yang dibuat oleh Diyas.
“Za, di hadapan makam orang tua gue. Gue ingin melamar lo jadi istri gue, Za. lo mau kan jadi pendamping gue, menjadi ibu dari anak-anak gue?” tanya Diyas kepada Fiza yang masih saja menangis. Fiza melepas tangan Diyas dan berlari begitu saja menuju mobilnya yang terparkir di depan makam. Diyas berusaha mengejarnya tetapi mobil itu melaju dengan kencang meninggalkan Diyas yang hampir putus nafasnya. Di dalam mobil itu Fiza menangis tersedu.
“Kenapa lo baru datang sekarang? Kenapa lo membiarkan gue jadi seperti ini? Kenapa! Gue udah nggak pantas buat lo lagi!” gerutu Fiza di dalam mobil. Diyas akhirnya menghubungi Fuad yang sedang pindahan ke rumah barunya.
“Halo, Assalamualaikum,” Sapa Kania ramah.
“Waalaikumsalam, Ka. Kamu di rumah?” tanya Diyas penasaran.
“Kak Diyas? Oh, Kania lagi beres-beres di rumah baru sama Bang Fuad.”
“Ok, tolong lo tuliskan alamatnya sekarang. Gue mau bicara sama lo, penting!” kata Diyas seakan memaksa.
“OK. Tunggu yah!” Fuad pun menghampiri istrinya yang sedang sibuk mengetik di layar ponsel suaminya.
“Telpon dari Diyas, Yang?” tanya Fuad penasaran.