Ini mungkin sudah menjadi pertengkaran kami yang keseribu kalinya. Pertengkaran tiada akhir yang tak pernah ada ujungnya. Pertengkaran ini selalu diakhiri dengan datangnya pihak ketiga dan keempat agar kami enggak saling tampar atau tonjok. Sampai akhirnya dia meneleponku malam harinya dan pagi-pagi kami sudah baik-baik lagi.
Pertengkaran itu sudah seperti ritual pacaran kami. Seminggu pasti ada satu hari bertengkar, atau dua hari. Pokoknya gak pernah ada minggu-minggu damai buatku. Masalah kami selalu sepele. Misalnya saja, dia bisa uring-uringan kalau kami enggak makan siang bareng di kantin. Atau yang lebih gilanya lagi, dia bisa ngamuk habis-habisan kalau aku enggak mau menghabiskan sisa sayuran di piringku.
Dari masalah sepele seperti itu, dia bakal mengungkit-ngungkit semua mantan pacarku. Enggak nyambung banget, deh!
Kali ini dia marah lagi. Marahnya dia kali ini karena nilai ulangan Matematika-ku jauh lebih tinggi dari dia. Dan dia menyalahkan aku dan, seperti biasa, mulai mengungkit mantanku yang kebetulan sekelas denganku.
“Iyalah kamu nilainya bisa 95! Orang ada si Gilang di kelas kamu!” Gaga memulai.
“Hubungannya apa sih, Ga?” aku mengernyitkan kening dengan heran.
“Iyalah! Dia kan paling pinter di kelas! Dia masih suka sama kamu! Kamu masih suka ganjen-ganjen sama dia! Jelaslah dia rela ngasih kamu contekan atau ngajarin kamu soal-soal yang enggak kamu ngerti! Gak adil tau!” sembur Gaga marah.
“Eh! Emangnya kamu pikir aku tuh bego banget, ya? Sampai nuduh aku kaya gini? Aku pinter tau! Aku ranking 2 dikelas, Ga! Emangnya gak wajar aku dapet nilai 95?” aku membentaknya marah.
“Kamu gak usah bahas-bahas ranking segala, deh! Sombong banget, sih, cuma ranking 2 doang!” Gaga memukul kertas ulangan yang jadi masalah itu.
“Iya! Emang aku tuh bego! Aku tuh bego sampe sekarang masih tahan pacaran sama kamu!” Aku marah karena kertas ulanganku dipukul sampai sobek.
“Heh! Maksud kamu apa?” Gaga menarik tanganku dengan kasar dan aku mulai meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
“Lepasin!” Aku memukul tangan Gaga agar dia melepaskan tanganku. Tapi Gaga malah mempererat cengkeraman tangannya di pergelangan tanganku. Salah banget, sih, aku punya pacar segede Gaga! Tinggiku cuma 153cm dan Gaga tingginya 178cm. Jelas aku bakal kalah!
“Triangga!” bentak seseorang dari jauh.
Aku dan Gaga menoleh dan melihat Merra dan Arian berlari-lari menghampiri kami. Aku langsung bersyukur. Merra adalah sahabatku dan Arian adalah pacar Merra. Mereka berdua yang selalu menjadi pelindungku kalau Gaga mulai lepas kendali.
Arian lebih tinggi dari Gaga, 187cm, dan Gaga jelas bakal selalu kalah lawan Arian. Arian menarikku hingga Gaga dengan pasrah melepaskan cengkraman tangannya, dan Merra langsung segera menarikku jauh-jauh dari dua macan ngamuk itu.
Merra tinggi sekali, tingginya semampai tidak jauh dari Gaga, 168cm dan masih bisa tumbuh, dia cantik dan bekerja sebagai model paruh waktu. Dia sahabat terbaikku dari kelas satu, dan sekarang dia dan pacarnya menjadi pelindungku. Untungnya punya badan mungil, aku punya banyak pelindung.
“Kamu gak apa-apa?” Merra memeriksa tanganku dengan cemas.
“Enggak.” Aku malah jadi malu sendiri, Merra selalu memperlakukan aku seperti adik kecilnya.
“Kita harus ngomong berdua, Za!” kata Merra galak, layaknya seorang ibu yang mau nyemprot anaknya karena sudah mecahin vas bunga pake bola sepak. Aku mengangguk patuh.
“Jangan main kasar lagi sama Alqiza!” bentak Arian mengancam dan langsung berbalik, menghampiri kami. Arian memberi tanda pada Merra dan Merra langsung menarikku menjauh dari Gaga yang cuma berdiri terpaku di depan sekre DKM sekolah kami. Aku buru-buru ikut Merra dan Arian, takut diterkam lagi sama Gaga.
“Al, ngapain lagi sih Gaga?” tanya Arian lembut kayak sama anak TK ketika kami bertiga sudah masuk mobil Arian, siap-siap pulang.
“Enggak ngerti, ah!” aku membuang muka, menatap keluar jendela mobil yang mulai meninggalkan halaman sekolah.
“Masalahnya apalagi, sih, Za?” Kali ini Merra yang memperlakukan aku kayak anak bayi.
“Nilai ulangan Matematika aku 95,” sahutku kesal dan malu.
“WHAT?!” Merra membalikkan tubuhnya di jok depan. ”Aku Cuma dapet 60!” pekiknya syok.
“Yang…” Arian memperingatkan.
“Hhhh… oke.” Merra nyengir. ”Selamat, Za! Kamu emang brilian! Nah, kenapa itu masalah? Dia nilainya jelek?”
“Dia nyangka aku minta contekan sama Gilang!” seruku frustrasi. ”Atau apalah yang buat Gilang ngajarin aku Matematika. Dia bilang aku pasti ganjen ama Gilang makanya nilai aku bisa tinggi.”
“Gila!” maki Arian dari balik stir.
“Qizaaaa… kamu harus putus sama dia,” rengek Merra sambil menatapku melas.
“Yang… kamu enggak bisa ikut campur,” Arian memberi peringatan lagi sambil membelokkan mobilnya menuju rumah Merra yang kebetulan enggak begitu jauh dari sekolah.
“Tapi Riaaan, ini keterlaluan banget! Aku pingin kamu, Za, mempertimbangkan ini. Dari awal masuk kelas dua kamu jadian, udah enam bulan kamu pacaran sama dia dan kamu masih tahan?” Merra menatapku tajam. ”Promise me you’ll think about it, Za.”
“Oke. Oke.” Aku menghela napas. ”Aku bakal mikir lagi.”