Pinky Promise

Al Szi
Chapter #2

RASA

Menurut gosip, Triangga Martawiguna diskors dua minggu karena mukul aku. Kata Arian juga gitu, sih, soalnya Arian yang menghadapi Gaga alias Triangga Martawiguna di ruangan Wakasek. Arian menceritakan semua kejadian yang dia lihat dan informasi yang dia tau dari teman-teman sekelasku. Malah kata Arian, Gaga terancam dikeluarkan kalau berani-berani mukul cewek lagi.

Pulang ke rumah, aku bilang sama Mam kalau aku kena bola sepak waktu lagi nonton anak-anak cowok main bola. Karena aku adalah anak yang memang suka ceroboh dan punya keseimbangan yang kurang, Mam percaya saja. Beliau sudah biasa melihat aku luka-luka karena ceroboh. Kepalaku pernah luka gara-gara main baling-baling di halaman sama sepupuku yang masih kecil. Ceroboh dan bodoh.

Pagi ini mobil Arian sudah nangkring jam 6 pagi di depan rumah. Sekarang mereka (Merra dan Arian) ngotot aku harus pergi-pulang bareng mereka. Soalnya kata mereka aku masih ada di radius bahaya Gaga. Zzzz… padahal kan Gaga sudah enggak pernah neror aku lagi. Seminggu pertama sih, iya. Cuma sekarang hampir sebulan dia enggak pernah neror aku. Masa tahanan dia juga sudah abis, pasti sudah jera. Tapi Arian tetep jemput aku jam 6 pagi. Nasib.

“Padahal kamu enggak usah jemput aku tiap hari.” Aku masuk ke jok belakang.

“Sekalianlah, Al. Toh rumah kita cuma beda enam blok,” kata Arian sambil nyengir.

“Ngantuk,” keluhku gak tahu diri.

“Tidur ajalah.” Arian ketawa dan aku nurut.

Aku terbangun karena mendengar Arian membangunkanku. Aku bangun sambil mengerjapkan mata. Sepertinya kami sudah ada di depan rumah Merra.

“Kenapa, Ar?” tanyaku mengantuk.

“Merra sakit,” kata Arian pelan.”Pindah depan dong! Aku gak mau disangka supir plus bodyguard.”

“Iya, iya.” Aku bangun dan melihat Merra tersenyum lesu di jendela atas ketika aku keluar mobil. ”Aku kesini lagi pulang sekolah!” seruku sambil melambai. Merra tersenyum lesu sambil balas melambai dan memberikan kecupan jauh buat Arian. Lalu kami segera meluncur ke sekolah.

“Merra kok tiba-tiba sakit, Ar?” tanyaku. Aku sudah enggak ngantuk.

“Aku juga enggak tahu. Tadi malem masih baik-baik aja kok, malah dia Friendster-an lama banget.” Arian mengerutkan kening.

Di kelas aku enggak konsentrasi. Apalagi waktu Merra SMS aku, dia bilang aku harus ke rumahnya sendirian, tanpa Arian. Apa yang harus aku bilang sama Arian nanti? Dia pasti kan pingin nengok Merra.

Tapi ternyata enggak susah membujuk Arian untuk enggak ikut nengok Merra dan membiarkan aku pulang sendirian. Arian malah setuju waktu aku bilang dia enggak usah ikutan nengok Merra, soalnya dia memang merasa Merra butuh girl talk. Pengertian sekali, bukan?

Maka siang itu mobil Karimun hitam Arian meninggalkanku di depan gerbang rumah Merra. Setelah aku beramah-tamah dengan Mama Merra, aku masuk ke kamar Merra. Merra sedang duduk di kursi yang ada di ambang jendelanya, melamun sambil memeluk boneka panda pemberian Arian.

“Ra,” panggilku.

Merra menoleh. Rambut tebalnya mengayun ketika menoleh. Merra turun dari bangku dan terlihat sekarang tubuh semampainya dibalut celana pendek kuning dengan tanktop warna putih. Dia tersenyum lemah, menyambutku.

“Katanya sakit? Kok malah pake baju kaya begini?” aku duduk di ranjang Merra, seperti biasa. Diikuti Merra yang duduk di sebelahku.

“Panas. Bandung lagi panas,” komentarnya.

“Kenapa, sih, kauu?” aku menoyor kepalanya. ”Sok misterius banget.”

“Aku memang harus diskusi sama kamu, Za.” Merra menggulung-gulung ujung rambutnya dengan jari telunjuk. ”Tadi pagi aku dapet telepon.”

Merra berhenti memainkan rambutnya dan mulai memainkan jahitan di bedcovernya yang bergambar panda juga. Aku menunggu. Kalau Merra sudah begini, pasti ada sesuatu yang susah banget dia bicarakan. Jalan satu-satunya adalah membiarkannya sampai dia keluarkan sendiri unek-uneknya, jangan dipaksa-paksa nanti malah jadi gak mau cerita.

“Katanya… aku diminta main film bioskop.”

Aku ternganga.

“Film apa?” tanyaku kaget.

“Umm… kamu tau film barunya aktor itu, lho! Yang ganteng, yang bule… Ferdinand Beck,” kata Merra muram.

A day In France?” tanyaku dengan napas tertahan. Merra mengangguk. Aku langsung menjerit senang. Aku sudah baca bukunya duluan dan desas-desus buku itu mau dibuat film dan yang main Ferdinand Beck! Ternyata benar! Ya ampuuun sahabatkuuuu! Hebat banget dia! Sampai mau dipasangin main sama Ferdinand Beck, aktor baru yang turunan bule itu. Yang tampangnya mirip sama Zac Efron! Aku loncat-loncat di kasur sambil memegang kedua tangan Merra. Tapi si Nona Aktris ini malah nunduk.

Lihat selengkapnya