Pagi-pagi sekali aku bangun, siap-siap ke sekolah seperti biasa. Jam enam tepat aku sudah beres sarapan dan duduk manis di bangku teras, menunggu Arian menjemput. Tapi jam enam lewat seperempat Arian belum datang juga. Aku malah jadi ketiduran di bangku teras.
“Hihihihihi…”
Aku terbangun dan mengerjapkan mata. Kaget banget ada yang terkikik di depanku. Aku langsung mundur dan kepalaku membentur kaca jendela rumahku. Suara tawa berubah menjadi terbahak dan dia duduk di sebelahku.
“Sakit?” tanyanya sambil terus ketawa.
“Menurut L?” sahutku sengit sambil mengusap-usap belakang kepalaku yang terbentur keras. Aku sekarang bisa melihat Arian duduk di sebelahku sambil menutup mulutnya, menahan tawa. ”Jam berapa sekarang?”
“Jam setengah 7.” Arian bangkit sambil mengusap-usap kepalaku. ”Yuk, ah! Nanti telat.”
“Udah telat kali.” Aku cemberut sambil menepis tangan Arian. Aku tertegun melihat ada motor nangkring di depan pagar rumah alih-alih mobil Karimun hitam. ”Mobilnya mana?” aku mengikuti Arian keluar gerbang.
“Diservice. Lagian kita cuma berdua ini, atau kamu keberatan kalau pake motor?” Arian menyerahkan helm half-face padaku sementara dia mengenakan helm full-face sambil menaiki motor.
“Memang kenapa kalau pake motor?” tanyaku sambil memanjat ke atas motor Arian.
“Kali takut debu, takut rambutnya berantakan, takut kepanasan.” Arian ketawa sambil membantuku menaiki motornya.
“Kenapa takut? Enggak ngigit.” Aku memeluk tasku. ”Asal jangan kebut-kebut aja. Lagian kamu aneh, masa kelas 2 SMA udah pake mobil? Memangnya udah punya SIM?”
“Mau motor atau mobil, umur 16 belum punya SIM, Al,” sahut Arian sambil meluncur.
“Besok-besok kita pake angkot, deh! Aku takut,” sahutku dari belakang, berusaha mengalahkan deru angin di sekitar kami.
“Tenang, aku punya SIM, kok!” Arian ketawa. “Kita gak akan ketangkep polisi.”
“Aku bukan takut polisi, aku takut kalau yang nyetirnya anak di bawah umur!” sahutku sambil cemberut, walau aku yakin Arian enggak akan bisa lihat bibirku yang tebel lagi maju.
“Tahun depan aku punya SIM,” sahut Arian lagi ketika kami mulai terjebak kepadatan kendaraan di dekat gerbang tol.
“Kalau gitu tahun depan aja kamu jemput aku pake kendaraan sendiri ke sekolah,” tegasku lagi.
Arian membuka kaca helmnya dan menoleh padaku. Dia enggak terlihat marah atau terganggu denganku yang terang-terangan gak asyik, sok taat peraturan, sok menasehati, dan lain lagi yang bikin orang lain mungkin bakal berhenti di pinggir jalan dan nyuruh aku turun naik angkot.
“Kalau sama Merra aku harus pake mobil, nanti dia dimarahin orang tuanya,” ujar Arian terlihat menyesal dan aku jadi gak enak hati.
SIAPA ELO, ALQIZA?? Pacarnya Arian aja gak sebawel eloo! Nyuruh-nyuruh segala! Emang yakeeen taon depan dia masih mau jemputin eloooo?
“Maaf, Ar. Aku gak ada maksud ngatur,” ujarku pelan. Aku cuma takut terjadi apa-apa.
“Aku tahu sebetulnya kamu khawatir sama aku. Memang banyak kecelakaan dengan pengendaranya yang masih remaja, kok.” Arian menutup kembali kaca helmnya dan ia melajukan motornya di antara mobil-mobil. “Makasih, ya.”
Aku tersenyum dan mulai menikmati perjalanan tanpa banyak protes, merasakan angin segar pagi hari menerpa wajahku walau dicampur dengan bau-bau knalpot. Aku memasukkan rambutku yang tergerai ke balik jaket. Aku tidak percaya saat ini aku sangat dekat dengan Arian. Tanganku aku kepalkan di lututku, menahan diri untuk tidak memegang sedikitpun pinggangnya. Tapi godaan itu sangat besar. Aku memegang kerah jaketku dengan kedua tangan, selain dingin posisi ini juga menjauhkan tanganku darinya.
Arian menoleh ke belakang ketika kami berhenti di lampu merah. Aku sedikit memejamkan mataku sambil menempelkan kedua tanganku yang memegang kerah jaket ke leher.
“Dingin, ya?” tanyanya sambil ketawa.
“Ho-oh,” jawabku di balik tangan.
“Sini, masuk aja tangannya ke jaket aku.” Arian mengambil sebelah tanganku. ”Maaf ya, kamu malah jadi kedinginan pake motor gini.” Dia meneruskan menarik tanganku masuk ke saku jaketnya.
Aku tidak bisa menahan diri lagi. Jantungku berdebar cepat dan kupu-kupu berterbangan di perutku. Janji yang kusebutkan untuk diri sendiri malah terus-terusan terngiang di kepalaku.
Aku enggak akan suka sama Arian. Aku enggak akan suka sama Arian. AKU enggak akan suka sama ARIAN. AKU engga akan SUKA SAMA ARIAN.
Tapi semakin aku mengucapkan mantra itu di kepalaku, semakin aku menyukai gagasan itu. Aku suka sama Arian. Kedengaran menarik, bukan?