Merra akan pergi hari Senin besok diantar Ayah Ibunya ke rumah tantenya di Jakarta. Dia akan tinggal dengan tante dari Ibunya yang tinggal di Jakarta. Aku sudah berjanji enggak akan menangis lagi, karena yang lebih berat hati bukan aku, tapi Merra. Makanya, waktu hari Minggu aku membantu Merra mengepak barang, aku enggak nangis sedikitpun. Oke, nangis dikit, tapi itu waktu malam-malam. Merra enggak akan tahu kalau aku menangis di bantalku sendiri, kan?
Senin pagi aku dan Arian mampir ke rumah Merra, melepas kepergiannya. Merra masuk mobil dan melambai padaku dan Arian. Aku melihatnya, setitik air mata membasahi pipi Merra ketika mobil Merra pergi. Mungkin itu kali pertama aku melihat Merra menangis setelah dia mengumumkan kepergiannya.
“Kita cari sarapan, yuk!” Arian meraih tanganku dan menarik lenganku masuk mobilnya.
Aku mengukuti Arian dan dia menjalankan mobilnya menuju Palasari. Arian memarkir mobilnya di daerah pasar Lodaya yang berada tepat di belakang Palasari, kumpulan kios buku. Kami berjalan dari tempat parkir ke arah tukang kupat tahu yang mangkal disana. Kami sarapan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku sibuk mengingat-ingat malam ketika aku membantu Merra mengepak barang. Merra memaksaku berjanji lagi. Janji yang sama ketika dia meeleponku ketika aku sakit.
“Udah?” Arian berdiri.
“Eh, iya udah.” Aku ikut berdiri dan membayar makan kami.
“Eh, aku bawa uang, kok.” Aku mengeluarkan dompetku.
“Gak apa-apa, udah jangan bawel.” Arian menolak dan mendorong tanganku agar kembali memasukkan dompet ke dalam tas.
Aku enggak enak hati karena walau cuma ditraktir kupat tahu, aku malah mikir yang aneh-aneh seperti; ini kencan. Dan kupat tahu yang tadi kumakan enggak terasa apa-apa sekarang, malah bikin perutku mual karena kupu-kupu di perutku sekarang lagi kegirangan dikasih kupat tahu dari Arian.
Dan kupu-kupu di perutku semakin gila ketika Arian tiba-tiba meraih tanganku dan menarikku biar aku enggak kesenggol becak yang melaju kencang di sebelah kami. Dan Arian enggak melepaskan genggaman tangannya ketika kami meneruskan perjalan menuju mobilnya. Lalu terjadi perang batin di hatiku. Si Jahat dan si Suci.
“Lepasin pelan-pelan, Za. Gak baik. Hati kamu nanti makin enggak karuan. Inget Merra baru pergi setengah jam, lho! Sampai tol aja kayaknya belom.”
“Biarin dong, gak apa-apa. Arian kan lagi sedih. Dia butuh dihibur, kamu seneng kan Za kalau tangannya digandeng sama Arian? Udah diem aja, ikut aja permainan Arian. Iseng-iseng berhadiah, kan? Siapa tahu dapet.”
“Kita jalan, yuk.” Arian tiba-tiba bersuara ketika kami sudah melaju lima menit di jalanan.
“Hah?” aku menoleh kaget.
“Iya kita jalan. Kemana gitu. BSM yuk? Mumpung deket. Kita nonton.” Arian berbelok menuju jalan Gatsu.
“Eh, gabisa, Ar. Aku gak bawa duit banyak. Kan niatnya kita cuma ke rumah Merra trus pulang. Lagian jam segini belom buka BSM-nya juga.” Aku menolak.
“Gak apa-apa, aku traktir kok. Kita tunggu aja, deh, sampe buka. Mau, ya?” Arian menatapku langsung ke mata.
“Eh…ng… yaaah… terserah kamu, deh!” aku menunduk, salah tingkah.
Arian tersenyum dan dengan bersenandung pelan dia mengarahkan mobilnya menuju BSM, mall terbesar di Bandung (katanya) yang sudah menciptakan drama penggusuran rumah-rumah di sekitarnya. Ketika kami sampai di sana, terang saja mall belum buka, tapi gerbang tiket sudah dibuka semua. Kami parkir dan menunggu Mall itu buka di depan pintu mall sambil duduk-duduk.
Kalau boleh bilang, ini adalah kencan sempurnaku seumur hidup. Maksudnya, Arian sungguh baik. Dia tahu cara memperlakukan cewek dengan caranya yang manis tapi enggak belebihan. Dia juga enggak terlalu bawel tapi juga enggak membuat perjalanan kami garing. Salah satu penyesalanku adalah, dandananku ala kadarnya banget. Jeans pipa sebatas betis dan kaos gombrang warna putih dengan sepatu convers merah. Tapi ini bukan kencan, Alqiza! Tolong hatinya dikondisikan!
Sesaat setelah mall itu buka, kami langsung ke lantai paling atas dan membeli tiket Harry Potter and The Goblet of Fire yang belum lama ini keluar. Sesungguhnya aku dan Arian sudah pernah nonton, tapi karena enggak ada pilihan lain kami lebih baik menonton film yang sudah pasti seru.
“Filmnya masih lama, Al. Masih sejaman lagi,” kata Arian sambil mengantongi tiket nontonnya ke dalam saku jaketnya.
“Biasanya kamu ngapain kalau nunggu film?” “Biasanya kamu nunggu dimana?”
Kami saling bertatapan dan ketawa, enggak sempat main flip-flop karena seketika juga kami menjawab, “Toko buku!”
Aku dan Arian akhirnya turun menuju toko buku yang ada di sana, ingin ketawa juga karena ternyata datang seketika setelah mall buka itu membuat mall seperti milik sendiri. Untungnya aku tadi pagi mandi dan keramas sebelum pergi ke rumah Merra, jadi walau pun aku gak seoke Merra, minimal aku gak bau ketek atau bau jigong atau punya rambut berminyak yang Amerika pun bakalan tertarik pada rambutku.
Dan Arian memang kece banget, padahal dia cuma pake jeans belel, sepatu sekolah, dan sweater hitam, rambutnya pun terlihat gak terlalu teratur. Selama jalan-jalan keliling-keliling beberapa saat, aku bisa merasakan tatapan mbak-mbak penjaga toko buku dan toko-toko yang kami lewati, semuanya menatap Arian lebih lama dua atau tiga detik. Aku merasa tatapan mereka seperti; “Ini cowok ganteng lagi ngajak jalan-jalan cumi peliharaannya gua rasa.”
“Kamu suka baca buku apa?” Arian tiba-tiba memecahkan lamunanku akan dirinya.