Aku memandangi bayanganku di cermin yang menempel di dinding kamarku, menghela napas karena; kenapa cuma mau ketemu Arian aku harus niat banget sampai gonta-ganti baju tiga kali? Padahal aku berjanji enggak akan menjadi teman yang jahat untuk Merra, melupakan ciuman Arian dan menjalani hidup seperti biasa. Aku mau diajak ketemuan Arian juga bukan karena aku mau centil-centilan dan berusaha membuat Arian mutusin Merra, aku cuma enggak mau menyiksa Arian lebih lama.
Aku mengamati Arian dari jauh. Aku tahu dia sering sekali bolak-balik depan rumah sejak aku suruh dia lupain ciuman itu. Aku mengabaikan SMS dan teleponnya karena aku sendiri ingin menjaga perasaanku padanya. Tapi aku juga tahu, perasaan bersalah itu sangat menyiksa. Semenjak kejadian di bioskop itu, aku jadi paranoid. Aku takut ada orang yang melihat kami. Setiap Merra menelepon aku jadi deg-deg-an, takut dia mau marah-marah sama aku karena aku sudah mengkhianatinya dengan mencium pacarnya.
Itulah alasan aku mau diajak ketemu sama Arian, jangan sampai Arian merasa bersalah kayak aku. Kayak dikejar-kejar kecoak terbang. Aku yakin, setelah aku memberinya silent treatment dia sudah bisa mikir jernih dan menyadari kalau ciuman itu kesalahan. Dan aku ketemu dia untuk menghadapi kenyataan itu. Untuk bangun dari mimpi indah dunia tanpa Merra.
Jadi aku langsung melepas bajuku yang terlalu keren untuk sekedar ‘makan bakso’. Aku ganti dengan celana kaos ketat hitam dan menyambar sweater budug si Odong, yang warnanya sudah gak jelas warna apa, yang kalau kupakai bisa jadi gaun sebatas paha dengan saku besar di depan.
Sesampainya di taman belakang masjid komplek, aku bersyukur pakai jaket si Odong. Arian sedang duduk di ayunan dengan setelan rumahan biasa, celana basket selutut warna merah dan kaos polos hitam. Aku menggetok diri dalam hati, kenapa aku harus berharap banyak? Kenapa juga Arian harus pakai baju keren cuma untuk ketemu aku di taman komplek? Ini adalah saat-saat penting untukku, penting untuk dijadikan pelajaran kehidupan di masa yang akan datang (kibas poni).
“Hei,” sapaku saat aku sudah berdiri di hadapan Arian yang duduk sambil meneliti jari-jari di kedua tangannya. Aku memasukkan kedua tanganku ke dalam saku sweater hitam bladusku, menyembunyikan tanganku yang mulai gemetar karena grogi. Melihat Arian dari dekat seperti sekarang membuatku teringat lagi ciuman itu. IH!
“Akhirnya kamu datang juga.” Arian mendongak dan tersenyum lebar, tampak sangat berbahagia. Aku jadi cemberut. “Duduk sini, yuk.”
Arian berdiri dan menyuruhku duduk di ayunan bekas dia duduk. Aku melirik ayunan di sebelah Arian yang masih kosong tapi Arian malah ketawa. Sepertinya dia sangat peka sekali, pengamat yang baik, karena dia seperti bisa membaca pikiranku.
“Aku pingin berdiri,” jawab Arian atas pertanyaan telepatiku, dan aku akhirnya duduk sambil berayun sedikit.
“Mau ngomongin apa, sih?” tanyaku sambil melihat ke kakiku yang memakai sepatu slip-on. Aku paling gak suka pakai sendal, jadi keluar ke warung pun aku pakai sepatu yang paling gampang lepas-pakai.
“Kamu, kok, cuekin aku sih?” tanya Arian sambil membuat lingkaran-lingkaran di tanah dengan kakinya.
“Ar…” aku mendongak, mau mulai ngomel tentang obrolan kami yang terakhir.
“Aku gak mau lupain, Al.” Arian menatapku mantap. “Aku suka kamu udah lama, aku mau putus sama Merra tapi gak ada waktu yang tepat untuk itu. Kamu tahu sendiri Merra kayak gimana?”
Aku menunduk. Tiba-tiba merasa malu melihat mata Arian yang menatapku mantap tanpa berkedip. Dan aku juga mengerti maksud Arian. Merra itu sangat baik, sangat menyayangi Arian, gak pernah dia macam-macam padahal dia sangat cantik. Aku jadi tidak mengerti.
“Kenapa?” tanyaku sambil memberanikan mendongak menatap Arian. “Kenapa kamu gak suka lagi sama Merra? Dia cantik, baik, perhatian, pengertian, dia percaya banget sama kamu. Dia gak khawatir kalau kamu baik sama aku, dia manis…” aku terhenti. Semakinaku menyebutkan segala kebaikan Merra, semakin aku merasa aku adalah teman yang sangat tidak tahu terimakasih.
“Itu kan, yang kamu tahu, Al,” sambar Arian sambil mendengus. “Kamu enggak tahu kan, kalau Merra sering banget menghina orang di sekitarnya?”
Giliran aku yang ketawa. Arian itu mungkin salah kenal, mungkin amnesia. Mungkin dia memang bukan pacar yang baik. Masa anak sebaik dan sedermawan Merra suka menghina orang? Selama aku bersahabat sama Merra, dia orangnya sering sekali memuji orang, menyemangati orang, tersenyum manis dan menyapa orang-orang dengan ramah. Dia bukan hanya cantik secara fisik, tapi juga cantik dari hati.