Pinky Promise

Al Szi
Chapter #7

RAHASIA

Arian bukan pacarku. Bukan. Kita cuma sama-sama suka. Aku menanamkan pikiran itu berkali-kali di kepalaku. Ketika kami selesai dengan pembicaraan penting siang itu, kami berjalan-jalan keliling komplek sambil mengobrol macam-macam. Makan bakso dan akhirnya pulang dengan puas.

Tetapi sekali pun aku menanamkan pikiran itu, ketika Arian pamit dan mengajakku berjabat tangan sebelum dia pulang, aku semakin tersiksa. Kalau bukan pacar terus apa, dong? Tatapan matanya sebelum pergi meninggalkanku di depan rumah membuat aku yakin kalau memang enggak terucap, enggak dikasih cap pacaran, jelas-jelas kami seperti sepasang merpati yang jatuh cinta.

Tapi aku kembali ke dunia nyata ketika melihat HP-ku ada lima SMS baru dan sepuluh missed calls. Aku memang sengaja enggak bawa HP waktu keluar tadi, takut ditelepon Mam, ditanya lagi apa, lagi di mana, tolong beliin kecap manis, atau tolong beliin kerupuk kulit di warung Bu Omo. Belanja kebutuhan rumah tangga sama Arian kayaknya bisa bikin aku malu setengah mati, deh! Dan beruntung juga aku gak bawa, karena Arian juga gak bawa, dan karena ternyata Merra menelepon dan mengirim SMS berkali-kali.

Aku membaca pesan-pesan Merra yang cuma menyuruhku untuk angkat telepon. Aku dengan berat hati berjalan ke ruang keluarga di bawah dan meminta izin menelepon Merra sama Mam pakai telepon rumah. Setelah diizinkan, aku segera menyambar telepon tanpa kabel itu dari tempatnya dan duduk santai di ruang tamu.

“Hei, dari mana aja, sih?” tanya Merra, bahkan sebelum aku mendengar nada sambung. Sepertinya Merra sudah menungguku menelepon balik.

“Maaf, tadi makan bakso di deket sini sama temen,” jawabku berusaha santai. Setidaknya aku enggak bohong-bohong amat, Arian kan, temanku.

“Duh, kamu tuh, ya! Bawa dong, hapenya. Aku nelpon kata Mam kamu lagi keluar ketemu Arian?” tanya Merra lagi. Aku langsung panik. Kenapa juga aku harus jujur banget sama Mam aku mau keluar sama siapa? Tapi, memang aku harus selalu laporan sama orang rumah aku pergi sama siapa aja, ke mana aja, berapa lama.

“Ooh, iya tadi sempet ketemu Arian,” aku memanjang-manjangkan nada bicaraku agar aku bisa mengarang cerita dengan cepat. “Itu, lho…” apaaaaa? “Arian...” mikiiirr Qiza mikiirrrr!! “...kemarin-kemarin... tanya buku... novelnya Putu Wijaya, katanya mau pinjem.”

“Siapa?” tanya Merra.

“Putu Wijaya,” jawabku.

“Ah, kalian memang kutu buku. Gak ngerti aku,” sahut Merra sambil ketawa renyah dan aku lega. Aku sekarang harus ngomong sama Arian tentang pinjam-meminjam buku ini. Dan aku yakin, setelah telpon ini ditutup, Merra akan menelpon Arian. Aku mengetik SMS dengan segera pada Arian agar kami punya cerita yang sama.

Lalu Merra mulai bercerita tentang sekolahnya yang baru. Sekolah swasta yang khusus untuk selebriti atau anak selebriti. Mereka bisa bolos sekolah selama berbulan-bulan tanpa harus ketinggalan materi pelajaran karena materi pelajaran mereka bisa dikirim e-mail dengan segera. Di sana Merra bisa bertemu dengan selebriti-selebriti lain yang seumuran dengannya.

Aku hanya mengangguk-angguk senang, merespon kata-kata Merra dengan antusias. Padahal pikiranku sedang berjalan-jalan ke mana-mana bersama Arian. Dan setelah Mam mulai memelototiku karena aku pakai telepon rumah terlalu lama, barulah obrolan kami berhenti dan janji akan terus ngobrol di SMS atau pun di Yahoo Messanger.

Dan selama liburan aku memang lebih sering memakai Internet di rumah. Pap mengizinkan aku menggunakan Internet asal tidak lebih lama dari 1 jam atau aku harus pergi ke warnet terdekat cuma untuk ngobrol-ngobrol sama Merra. Semenjak deklarasi saling suka dengan Arian, aku lebih mencurahkan perhatianku pada Merra. Aku merasa bersalah dan menjadi orang yang selalu ada untuknya membuatku merasa sedikit tidak bersalah.

Dan sehari sebelum aku kembali ke sekolah, Merra tiba-tiba meneleponku malam-malam. Dia menelepon ke HP-ku dari HP-nya. Tumbenan sekali. Dia biasanya memakai telepon tantenya menelepon rumahku.

Lihat selengkapnya