Di sekolah, kami berpindah formasi duduk semenjak Merra pindah sekolah. Aku duduk dengan Magi, dan Chacha duduk dengan Tria. Aku menjalani hari-hariku dengan normal seperti biasa. Berangkat sekolah bareng Arian, berpisah di depan kelasku, kelas IPS, sementara Arian melanjutkan perjalanan ke kelasnya, kelas IPA. Perubahan yang paling membuatku berbunga-bunga adalah ketika Arian, jam 6 pagi, datang ke rumah untuk menjemputku.
“Hai,” sapanya dengan gaya, sambil bersandar di tembok pagar rumahku.
“Hai?” aku menyapa balik dengan nada tanda tanya.
“Apa kamu masih suka sama aku, kalau aku jadi miskin dan enggak pake kendaraan apa pun ke sekolah sampai cukup umur?” tanyanya sambil berdiri tegak.
Aku ketawa menyadari dia sama sekali enggak pakai motor atau pun mobil. Pantesan dia nyuruh aku siap-siap jam 6 pagi, kupikir dia mau pakai mobil. Memang, sih, pakai mobil. Mobil angkot.
“Kenapa gak pake motor?” tanyaku lagi.
“Kamu gimana, sih? Katanya gak boleh pake motor sebelum cukup umur. Sekarang, kok, malah nanyain di mana motornya?” Arian tersenyum.
“Maksud akuuu,” aku mencubit lengannya gemas, “kenapa jadi nurut aturan?”
“Masa, aku gak nurut sama pacarku?” tanyanya manis.
“Pacar?” aku mau gak mau tersenyum dengan dada yang berbunga-bunga.
“Eh, belum ya? Calon pacar, kalau gitu,” ujarnya lagi sambil memegang mulutnya, pura-pura lupa.
“Gak usah banyak gaya, deh!” aku menoyor kepalanya yang jauh di atas sehingga aku harus menariknya dulu sebelumnya. “Pap kan biasanya nganterin aku ke sekolah kalau kita gak bareng. Jadi, kita bareng Pap aja ya ke sekolahnya.”
Dan begitulah rutinitas kami setiap pagi. Berangkat sekolah bareng dianter Pap atau dianter ayahnya Arian, ganti-gantian. Sesungguhnya aku jadi enggak enak hati juga akan perubahan drastis dari Arian ini. Hampir semua anak-anak di sekolah kami memakai motor atau mobil walau umur mereka belum 17. Dan mereka santai-santai aja, tuh! Dan aku mengutarakan perasaanku ini sama Arian.
“Gak apa-apa, Al. Tapi sesekali kalau butuh banget, boleh ya aku jemput kamu pake motor atau mobil?” Arian mengelus kepalaku dan menunduk menatapku dengan manis. Ya kan, kalau dirayunya begitu mana aku bisa bilang jangan. Arian ngomong dengan suara lembut pula, atau memang karena kami lagi di perpustakaan jadi gak boleh berisik.
Dan kami enggak terlalu menjaga jarak semenjak menyatakan perasaan masing-masing, karena Arian menganggap, kami memang biasanya dekat dengan atau tanpa Merra. Kalau tiba-tiba menjauh malah bisa-bisa membuat orang curiga. Tapi aku memang harus menahan diri menjawab pertanyaan-pertanyaan dari adik-adik kelas atau dari teman seangkatan yang menanyakan Arian.
“Dia udah putus sama Merra?”
“Kamu kan sobatnya Arian juga, kira-kira aku punya kesempatan gak kalau mereka putus?”
Aku ingin sekali berteriak pada mereka semua kalau Arian sudah kuteken kontrak! Tapi aku cuma bisa senyum-senyum dan mengabarkan kabar buruk untuk mereka, bahwa Merra dan Arian baik-baik aja walau pacaran jarak jauh.
Aku sering bilang pada Arian, kalau kami sedang janjian ketemuan di perpustakaan, banyak banget cewek-cewek menunggu dia putus. Arian cuma menanggapi dengan ketawa pelan dan mengelus kepalaku dengan lembut. Menurutnya, hatinya enggak akan goyah selama orang yang disayanginya itu aku. Aku cuma bisa senyum-senyum. Arian mungkin enggak tahu kalau beberapa hari ini Merra nelpon aku tiap malam untuk nanyain cewek mana yang lagi ngincar Arian. Telepon-telepon dari Merra itu membuat aku semakin menyadari bahwa aku dan Arian punya tanggal kedaluwarsa.
Arian memang bilang, aku calon pacarnya. Bahkan selama ini yang kami lakukan layaknya orang pacaran. Pulang bareng, pergi bareng, belajar bareng di rumah, makan bareng, bahkan Arian sudah sering makan bareng keluargaku di rumah karena kebetulan kami sedang belajar bersama, dan dia sudah sering main game bareng si Odong. Dan semua ini sudah berjalan selama hampir tiga bulan. Tapi apa kabar kalau Merra pulang ke Bandung?
Tapi aku menyimpan pemikiran itu sendiri dalam hati. Aku enggak mau membebani Arian yang sedang berusaha nyuekin Merra dan berharap Merra sebal dan memutuskannya. Aku tahu Arian enggak bohong soal itu karena itulah alasan Merra meneleponku hampir setiap malam selama sebulan ke belakang ini. Perubahan sikap Arian yang jadi jarang SMS, telpon, bahkan bisa memakan waktu berjam-jam untuk Arian membalas SMS Merra dengan alasan sibuk.
Aku yang berada di tengah-tengah mereka pun menyimpan rahasia mereka masing-masing. Arian yang sesungguhnya ingin putus dan Merra yang sesungguhnya dekat dengan cowok lain. Aku tahu dia masih dekat dengan Endo, karena sesekali aku bisa mendengar Merra berbicara pada seseorang di belakangnya, suaranya laki-laki yang terkadang memanggilnya “Babe”. Ini semua karena aku dan mulut besarku yang suka banget ngumbar janji.
“Za, kita ke rumah kamu, ya,” ujar Chacha waktu guru Matematika Dasar kami baru aja menyatakan kelas selesai dan kami bersiap pulang.
“Kita harus mikirin apa yang harus kita tampilin di kelas multimedia bahasa Inggris nanti lusa,” timpal Magi.