Pinky Promise

Al Szi
Chapter #9

DATANG

“QIZAAA!” Merra yang berpakaian bebas langsung menghambur menyerbuku dan memelukku erat sekali. Saking kagetnya, aku tidak bisa berkata-kata, hanya membalas pelukkannya.

“Kamu, kok…” responku terbata-bata.

“Maaf ya, aku gak ngabarin mau ke Bandung. Aku dapet jatah libur sebentar dan kupikir lebih baik aku nengokin kamu sama Arian,” ujar Merra dengan wajah yang sangat sumringah.

Dari belakang Merra aku melihat Arian tersenyum menghampiri kami. Tapi dia bukan datang untukku, melainkan untuk Merra. Arian merangkul bahu Merra dan tersenyum manis. Aku berusaha untuk enggak merasakan apa-apa ketika Merra dengan manja bersandar di bahu Arian dan Arian mengacak-acak rambut Merra dengan sayang.

Hatiku mulai bergejolak, hangat dan lama-lama panas. Sudah bersikap dingin dia bilang? Terus, kenapa datang-datang dia harus semanis ini pada Merra? Dan Arian seperti tidak menyadari apa yang kurasakan malah mengobrol dengan Merra.

Kamu kok jadi kurus, ay? Makannya dikit ya?

Cape ya? Pulangnya naik taksi gapapa? Aku gak bawa kendaraan.

Nanti malem aku mampir ke rumah, deh, ya.

Dan aku hanya bisa menggigit bibirku, menyadari aku hanya orang ketiga di antara mereka. Dengan senyuman yang kubuat setulus-tulusnya, aku berusaha berbaur dengan mereka berdua seperti biasa. Aku yang membuat luka ini, maka harus kuhadapi sakitnya. Walau pun Arian seakan menabur garam di atas luka ini, aku harus tetap bersikap biasa. Bukannya aku sudah tahu akan ada masa kedaluwarsa dalam hubungan ini? Mungkin inilah saatnya.

Ketika akhirnya Merra pulang dijemput sepupunya, aku dan Arian mengantarnya sampai gerbang. Merra dengan manis menyatakan bahwa ia sangat menantikan Arian di rumahnya nanti malam. Karena ini hari Jumat, tidak usah khawatir besok akan telat ke sekolah. Merra berjanji akan membuat waktu khusus main berdua denganku. Lalu setelah itu mereka meluncur pergi.

Ketika mereka sudah jauh, aku segera meninggalkan Arian di gerbang sekolah dan berjalan sangat cepat kembali ke dalam sekolah. Arian mengejarku dan menangkap tanganku dengan cepat, tapi kutepis tangannya dengan cepat juga.

“Al…”

“Gak usah pegang-pegang, Rian,” ucapku sadis. “Orang bakalan curiga.”

Arian melirik kiri-kanan kami, orang-orang masih berkeliaran dan sepertinya beberapa masih belum ada keinginan pulang walau pun sebagian besar sudah mulai tancap gas pergi dari sekolah. Aku berharap Arian enggak peduli dengan mata-mata di sekitar kami. Aku berharap Arian akan segera mutusin Merra. Aku berharap Arian akan menunjukkan sikap dingin pada Merra karena bukannya katanya dia pingin putus sejak lama? Lalu, kenapa dia sangat manis tadi?

Dan ketika aku berbalik meninggalkan Arian di depan ruang BK, aku ingin sekali menangis karena dia enggak menyusulku. Aku menaiki tangga yang ada di kantin dengan cepat, menuju sekre. Aku meraih tasku di atas sofa butut dan pamit pada Kang Panji, mengaku mual dan gak enak badan aku berjanji akan datang lebih pagi besok.

Ketika aku keluar sekre teater, mencangklong tasku, aku berpapasan dengan Arian yang sedang berjalan ke sekre OSIS. Kami saling bertatapan selama sedetik dan ketika aku berlari meninggalkannya, dia juga enggak mengejarku.

Lihat selengkapnya