Kami jalan-jalan di BSM, mampir ke toko aksesoris, makan di pizza hut, lalu ke lantai atas sebelah bioskop untuk main bowling. Aku enggak pernah main bowling, tapi Biru dengan manis mengatakan dia akan mengajariku. Kami berempat bermain bowling dengan seru. Biru mengajariku cara memegang dan menggelindingkan bola.
“Cara lempar bowling itu kayak main softball, Za. Makanya aku suka juga main bowling,” kata Biru sambil memperagakan cara melempar.
“Kamu main softball juga memangnya?” tanyaku.
“Kadang. Kalau ada kompetisi slow pitch setiap bulan Ramadhan, klubku selalu ikutan.”
Biru mengajariku dengan baik, tapi aku terlalu kecil dan terlalu ringan. Sehingga sesekali aku terseret bola bowlingku sendiri membuat kami ketawa-tawa rame banget. Sesaat aku bisa melupakan kesebalanku pada Arian karena Biru yang selalu menyita perhatianku.
Tapi ketika Arian dan Merra mulai mesra sambil menggelindingkan bola bowling, konsentrasiku pecah. Kakiku terpleset di atas lantai bowling yang licin dengan sepatu khusus yang juga licin. Aku terjatuh berdebam cukup keras, membuat Biru, Merra, dan Arian langsung berlarian menghampiriku. Arian yang sampai duluan.
“Al, kamu gak apa-apa?” tanyanya dengan raut wajah yang terlihat sangat khawatir. Dia meraih tanganku dan menelitinya karena telapak tanganku menggelepak lantai agak terlalu keras sehingga sekarang merah.
Aku menarik tanganku dengan kasar dan ketika Biru menghampiriku, aku membuang muka dari Arian. Selain telapak tanganku, kakiku juag ternyata terkilir. Aku membiarkan Biru mengangkat tubuhku untuk didudukkan di tempat duduk kami. Merra membukakan sepatu bowlingku dan meringis melihat pergelangan kakiku yang mulai merah dan bengkak sedikit.
“Pakai ini, Al.” Arian tiba-tiba muncul entah dari mana. Dia menyodorkan satu kantong plastik isi es batu.
Biru menoleh dan mengambil plastik itu dari Arian dan mengompres kakiku segera. Aku tersenyum dan berterimakasih pada Biru tanpa melirik Arian sedikit pun. Akhirnya, tanpa sempat ke mana-mana lagi, kami pulang. Mereka mengantarku pulang duluan ke rumah.
“Gak usah buru-buru, Bi. Arian bisa anter aku pulang, kok.” Merra mengedipkan mata padaku dan dia menggandeng Arian keluar pagar rumahku, berjalan berdempetan menjauhi rumahku.
Karena Biru dibawa oleh Merra, juga kuliah di ITB, juga sopan pada orang tuaku, mereka memperbolehkanku duduk di ruang tamu dengan Biru. Menghabiskan sisa malam Minggu dengan batas jam 8 malam. Dan ngobrol dengan Biru memang menyenangkan, dia pintar dan lebih tua. Jelas lebih tahu banyak hal. Dia menceritakan kampusnya, klub baseball-softballnya, Merra, dan banyak hal lagi.
Ketika Biru pulang pada jam 7 malam, aku dibantu si Odong menaiki tangga menuju kamarku. Setelah dia pergi dan aku sendirian di kamar, aku bisa menangis sepuasnya.
Hari senin tiba. Hari Minggu yang diisi dengan berbalas SMS sama Biru membuatku sedikit terhibur. Sedikit saja. Karena aku enggak bisa membayangkan apa yang hari ini Arian lakukan dengan Merra. Mereka pasti kencan lagi. Dan pagi tadi Arian enggak datang ke rumah untuk pergi bareng, jadi aku datang ke sekolah sendirian.
Ketika malam Minggu aku nangis sendirian di kamar, aku mikirin banyak hal. Tentang perasaanku, perasaan Merra, perasaan Arian. Aku pikir, di sini, aku paling menyedihkan. Orang ketiga. Percaya semua janji manis Arian. Omong kosong calon pacar dari mulut Arian. Sementara mereka berdua bersenang-senang. Merra dengan selebriti cowok yang kebetulan teman masa kecilnya, Arian denganku yang sayang dia kayak orang bego.
Di sekolah aku mengindari Arian, dan sepertinya dia juga menghindari aku. Ini memang yang terbaik, mungkin. Lebih baik mengakhiri hubungan yang bahkan belum dimulai ini, dari pada semakin banyak korban hati yang berserakan. Aku gak usah jadi double agent. Aku cukup jadi sahabat Merra.
Hari Selasa, Merra datang ke rumahku membawa segala jenis camilan. Es krim, ciki, crepes cokelat-keju, coki-coki, keripik pisang, keripik ubi, dan banyak lagi di kantong belanjanya.
“Snack time!” Merra berkata girang ketika dia mengacungkan belanjaannya dan langsung menyimpan kantong belanja itu di lantai kamarku.
Aku yang baru saja ganti baju langsung ketawa. Kalau saatnya ngemil, itu sama dengan saatnya curhat habis-habisan. Mentang-mentang lagi libur dia seenaknya aja mengganggu jam belajarku. Tapi aku enggak keberatan, besok gak ada PR atau ulangan apa pun. Jadi kami segera membuka semua makanan yang dibawanya.
“Jadi, mau curhat apaan?” tanyaku setelah kami ngobrol ngalor-ngidul yang kebanyakan menceritakan sekolah khususnya di Jakarta.
“Ih, ketahuan banget ya, aku tuh pingin curhat sama kamu?” Merra cekikikan, sok malu. Aku cuma ketawa sambil memutar mataku ke atas.
“Mer, setiap kamu beli camilan sebanyak ini, pasti ujung-ujungnya kamu pingin curhat!” Aku melempar Merra dengan bungkus ciki yang sudah kosong.
“Duuuh, aku mau cerita sesuatu, nih, Zaaa.”
Lalu cerita itu dimulai. Sesuai dengan perkiraanku. Merra enggak pernah menjauh dari si Endo itu. Malah semakin dekat. Karena mereka juga satu manajemen, jadi mereka memang sering banget ketemu di kantor, apalagi mereka satu sekolah. Pihak manajemen mereka bahkan mulai mewanti-wanti untuk hati-hati akan terpaan gosip.
Dan sebenarnya, Merra juga mulai suka beneran sama Endo. Karena dia yang selalu ada untuknya. Tapi dia juga bingung sama Arian karena Merra suka sama Endo, tapi juga kangen sama Arian. Jadi dia ke Bandung untuk memantapkan perasaannya. Apa benar dia masih ada rasa sama Arian.
“Dan sekarang aku bingung, aku masih suka Arian tapi aku juga suka Endo. Aku harus gimana, ya, Za?”