Aku tidak habis pikir, kenapa persahabatan antar perempuan itu begitu menyebalkan? Melindungi rahasia satu sama lain padahal rahasia itu bisa menyakiti orang lain selain mereka. Aku tidak habis pikir, Alqiza begitu melindungi Merra sementara Merra lebih sering memandang rendah dirinya. Ya, memang Alqiza tidak pernah tahu, aku tidak tega memberi tahu Alqiza tentang Merra. Dia begitu polos dan sangat percaya pada persahabatannya.
Aku merindukannya tetapi juga sangat marah padanya. Belum selesai amarahku karena Alqiza begitu terbuka pada Biru, lalu muncul masalah ini. Aku sangat membencinya.
Di sekolah aku menghindarinya, setiap kali aku melihatnya dari jauh aku segera berbalik dan mengganti arah. Ketika suatu kali aku tidak sengaja bertemu muka ketika mengantre di kantin, aku segera membuang muka dan pura-pura tidak mengenalnya.
Jahat? Aku pun tersiksa. Gosip tentang Merra sudah tersebar luas sekarang, dan semua orang sudah mewawancaraiku tentang gosip itu, dan aku sudah mengumumkan aku dan Merra sudah putus. Seharusnya ini adalah saatnya aku menghabiskan waktuku bersama Alqiza, entah sampai kapan. Mungkin sampai kami masuk kuliah, sampai lulus kuliah, sampai kerja, aku tidak tahu. Yang jelas aku merasa ingin terus bersamanya selama aku bisa.
Tapi aku tidak tahu harus apa. Setiap hari aku memerhatikannya dari jauh, melihatnya menjalani kehidupannya dengan normal. Bahkan sesekali aku bisa melihat dia dijemput oleh Biru. Beberapa kali, setiap teman-teman rumahku mengajakku keluar malam, aku selalu melewati rumahnya. Aku melirik sekilas ke jendela kamarnya yang selalu masih terang dengan lampu hangat. Aku tahu dia sedang pura-pura sudah tidur dan membaca di tempat tidurnya. Biasanya kami saling kirim SMS di waktu-waktu itu.
Orang tuaku yang memang sudah kenal baik dengan Merra untungnya tidak banyak bertanya, padahal aku yakin mereka pasti sudah lihat beritanya. Mereka malah lebih sering menanyakan Alqiza yang selain jadi kenal semenjak kedekatan kami, juga karena tetangga. Tapi ini juga menyakitkan, yang biasanya gadis itu menghabiskan siangnya untuk belajar bersama di rumahku dan ikut makan siang sambil tetap belajar, membuat ibuku merasa kehilangan.
“Kak, Alqiza kok jadi jarang ke sini? Sepi, rumah.” Ibuku suatu hari bertanya.
“Sibuk atuh, Bu. Ini kan udah mau kenaikan.” Aku beralasan.
“Rame kalau ada dia teh, kalau lagi belajar komentar-komentarnya suka lucu.” Ibuku ketawa lagi, pasti mengingat kejadian waktu kami sedang belajar di ruang tamu sementara ibuku sedang baca majalah di ruang keluarga.
Saat itu kami sedang belajar Bahasa Indonesia dan membahas tentang kata serapan. Alqiza yang memang suka sedikit konyol mulai mengajariku kata serapan yang tidak ada di kamus mau pun di buku resmi mana pun.
“Ar, kamu tahu gak kalau gorden itu kata serapan?” ujarnya.
“Gorden? Dari apa?” aku mengernyitkan keningku menatapnya.
“Curtain.” Alqiza mengacungkan pulpennya penuh semangat.
“Jauh, Aaal,” aku ketawa.
“Lha, curtain pelafalannya gimana coba? Kamu nonton film Nicole Kidman yang The Others, gak? Nicole Kidman bilangnya Keu-teun, T nya mirip D. Keu-deun. Keudeun. Korden. Gorden.”