Aku berdiri dari dudukku dan menghadapi Chacha dan Magi yang menerobos masuk dan sekarang terlihat seperti gajah mengamuk. Bukan karena mereka bertubuh besar seperti gajah, tapi sepertinya jika mereka mau, mereka bisa saja menyerudukku dan menonjokku sampai babak belur saking marahnya.
“Arian! Kita harus ngomong!” bentak Chacha sambil menunjukku layaknya pengacara yang sedang menuduh terdakwa di kursi saksi.
“Kalau kamu menghindar lagi, kita gusur kamu ke lapangan Voli!” bentak Magi yang ancamannya sepertinya bisa direalisasikan.
“Ngomong di sini aja, sok.” Aku menghela napas dan menyilakan mereka duduk. Aku tahu seminggu belakangan ini mereka berusaha bicara padaku. Aku tidak tahu mereka mau bicara apa, hanya saja aku sedang membenci Alqiza, dan mereka pasti mau membicarakannya.
“Kamu egois banget, Rian,” Chacha memulai. “Kamu tahu enggak Qiza tuh menderita jadi yang kedua, terus kamu malah santai-santai aja. Tiga bulan, lho, Rian! Kamu gantungin dia kayak jemuran. Jemuran aja digantung pagi, siang udah bisa diangkat!”
Aku mendengus sebal. Lagi-lagi persahabatan antar perempuan.
“Yang egois itu siapa? Aku mau mutusin Merra tapi dia telpon tiap hari, gak pernah enggak. SMS selalu. Laporan ngapain aja. Aku bingung mau mutusinnya juga gimana.” Aku berusaha tenang dan tidak terprovokasi dengan nada tinggi Chacha. “Dia punya kesempatan bilang kalau Merra juga selingkuh, aku bisa dengan mudah mutusin Merra. Tapi dia enggak bilang apa-apa, kan?”
Magi dan Chacha mengeluh frustrasi sambil mengepalkan tinju mereka. Aku mundur sedikit, takut mereka benar-benar ingin menonjokku.
“Arian, Alqiza itu dengan suka rela, tanpa todongan senjata apa pun, rela jadi yang kedua, orang ketiga di antara kamu dan Merra. Apa kamu tahu kalau Qiza sakit hati banget sewaktu Merra datang dan kamu malah bersikap sebagai pacar yang manis dan baik? Padahal katanya kamu mau putus.” Chacha menghela napas keras.
“Kamu memang dibohongin sama Merra dan Qiza, tapi Qiza juga selain selingkuhan kamu, dia juga sahabat Merra. Memangnya berapa kali Qiza memikirkan untuk bilang sama kamu kalau Merra deket sama cowok lain? Tapi dia enggak mau jadi musuh dalam selimut, Yan!” Magi menimpali.
“Dia udah jadi musuh dalam selimut. Dia mengakui suka sama aku dan menerima aku aja udah jadi musuh dalam selimut!”
“Itu dia, Rian. Kalau dia jadi selingkuhan kamu, terus ngaduin pula Merra deket sama cowok lain, dia musuh dalam selimut yang bawa senapan mesin. Merra itu sahabat Qiza yang paling deket, Yan. Merra sering banget ngelindungin Qiza. Masa kamu berharap Qiza jadi cewek pengkhianat juga? Dia udah jadi selingkuhanmu, lho! Jangan tambah-tambahin dosanya, Yan.” Chacha menatapku sambil mengangkat alisnya.
“Kalau kamu memang sayang Qiza seperti yang kamu bilang, kamu seharusnya bersyukur Qiza masih sabar sama kamu. Dia sayang kamu, enggak mau nyakitin kamu, padahal dengan sayang kamu aja dia udah nyakitin diri sendiri.” Magi menambahkan lalu mereka bangkit dari kursi dan berjalan keluar sekre. Tapi sebelum Magi menghilang keluar, dia menoleh padaku sekali lagi. “Kalau memang kamu udah gak sayang gak apa-apa, masih banyak juga orang yang sayang sama Qiza. Tapi kalau memang masih sayang, kamu harus mempertahankan Qiza sebelum dia direbut orang lain. Itu aja.”
Lalu ruangan itu kembali hening, yang tersisa hanya aku dan pikiranku. Kenapa selama ini aku tidak bisa memutuskan hubungan dengan Merra? Setiap aku bicara dengannya di telepon, ketika aku sudah berniat untuk putus, tiba-tiba saja aku tidak bisa mengatakannya. Aku memikirkan bagaimana cara agar kami putus baik-baik. Tidak ada dendam, tidak ada amarah, tidak ada yang sakit hati.
Aku akhirnya beranjak pulang. Di perjalanan pulang terjadi peperangan batin yang menyuruhku segera menemui Alqiza dan meminta maaf, tetapi sebagian diriku masih marah karena gadis itu sudah bersikap tidak jujur padaku. Tetapi bayangan Alqiza yang memasuki mobil Biru juga membuat hatiku terasa sakit dan panas sampai ke kepala. Magi benar, aku harus bergerak cepat sebelum Alqiza benar-benar membenciku dan memilih orang lain.
Sebelum pulang ke rumah, aku mampir dulu ke rumah Alqiza. Aku ingin segera menyelesaikan masalah ini. Aku benar-benar merindukannya. Dia bukan hanya orang yang kusayangi, dia juga teman terbaik yang bahkan sebelum aku menyukainya pun dia sudah menjadi teman baikku. Tetapi sesampainya di sana ternyata Alqiza belum pulang.