Hari-hari berlalu dan aku sibuk dengan kegiatan teaterku, Chacha dan Magi sibuk dengan ekskul Taekwondo mereka, Arian pastinya sibuk dengan OSIS dan segala urusan kelas IPAnya. Karena kurikulum yang berubah, anak-anak jurusan IPA juga harus mendapatkan pelajaran sejarah satu jam pelajaran setiap minggunya, sementara anak-anak IPS yang tadinya memiliki 3 jam pelajaran sejarah berkurang jadi 2 jam pelajaran. Berita ini disambut dengan bahagia oleh anak-anak IPS karena kami akan lebih cepat pulang, sementara anak-anak IPA lebih lama pulang.
Aku senang, aku tidak usah susah payah kabur dari sekolah untuk menghindari Arian setiap pulang sekolah. Tetapi kesenanganku tidak bertahan lama, karena dengan adanya kompetisi teater, kami terpaksa harus mengurus dispensasi untuk mengikuti lomba pada wakasek kesiswaan yang sebelumnya kami harus membuat surat izin pada anak-anak OSIS yang punya kop untuk itu.
“Biar cepet kamu aja ya, Za, yang urus?” tunjuk Kang Panji dengan cerdasnya.
“Kok aku, Kang?” tanyaku tidak rido.
“Kamu kan kenal si Arian, biar cepet ngurusnya. Dia yang ngurusin masalah dispensasi beginian biasanya,” kata Kang Panji sambil nyengir. “Kalau dipersulit goda-godalah sedikit.”
Aku mendengus dan meratapi diriku yang tidak beruntung ini. Ketika Kang Panji menyodorkan nama-nama orang-orang yang harus mendapatkan dispensasi minggu depan, aku menghela napas pasrah. Ketika kami mulai bubar, aku sendirian harus menghadapi Arian di sekre OSIS.
Aku mengetuk pintu dan membukanya. Di dalam ruangan ada beberapa anak-anak OSIS yang sudah bersiap pulang, salah satunya Tria.
“Eh, Za, nyari Arian ya?” sapa Tria ramah. Aku menyambut sapaannya dengan senyuman setulus mungkin. “Tumben udah jarang ke sini.”
“Iya, biasa teater sibuk,” jawabku.
Tria dan teman-teman sesama OSISnya pamit dan meninggalkan aku dan Arian berduaan. Ketika aku melihat wajahnya, aku masih merasakan debaran hatiku yang enggak keruan. Ada keinginan sesaat yang mendorongku agar aku berlari dan memeluk Arian, tapi aku menahan diri untuk enggak melakukan hal seimpulsif itu kalau enggak mau menyesal.
“Oh, hai…” Arian sedang menyimpan gitar di ruang OSIS ke tempatnya di dinding sebelah lemari piala ketika dia melihatku datang. Dan sebelum dia GR aku ke sini untuk damai, aku segera menyodorkan kertas berisi nama-nama yang harus dibikinkan dulu kop suratnya sebelum sampai ke wakasek kesiswaan.
“Aku ke sini mau minta tolong perizinan dispensasi minggu depan,” ujarku cepat.
“Oh, buat lomba, ya.” Arian menerima kertas itu dengan canggung.
“Berapa lama sampai suratnya jadi?” tanyaku.
“Sekarang bisa dibuatin, mumpung komputernya belum dimatiin,” jawab Arian sambil menunjuk komputer di pojok ruangan, salah satu keistimewaan yang hanya dimiliki anak-anak OSIS.
Kami berjalan menuju komputer dan duduk bersebelahan dengan canggung karena aku yakin, selain aku, Arian juga berusaha agar bahu kami enggak bersentuhan. Selagi dia mengetik, aku mengecek dan menyebutkan nama-nama berikut dengan ejaan yang baik dan benar, lengkap dengan NIP dan kelas mereka masing-masing. Karena kami dihitung satu tim, anak-anak dari ekskul perkusi pun kami yang mengurus perizinannya. Jadi daftar nama itu lumayan panjang dan lumayan memakan banyak waktu.
“Indonesia Raya Tanah Airku.” Aku membaca nama salah satu anak perkusi dari kelas X yang ikut serta menjadi tim backsound music.
“Itu nama?” tanya Arian enggak yakin.
“Beneran, nama.” Mau enggak mau aku ketawa. Anak ini dipanggil Raya, dan kakak-kakak perkusi kelas XII pernah iseng nyanyi-nyanyi Indonesia Raya setiap dia muncul. Kupikir mereka cuma iseng gara-gara namanya Raya, tapi ternyata namanya memang begini.
Arian ikutan ketawa dan dia melongok ke kertas yang sedang kupegang untuk mengecek apa benar namanya begitu. Tanpa sadar kepala kami beradu karena Arian terlalu cepat menoleh.
“Auw!”
Aku dan Arian sama-sama memegang kepala yang saling beradu. Dan untuk sesaat sepertinya kami melupakan perang dingin di antara kami yang sudah berlangsung lama ini. Ketika Arian ketawa sambil memegang kepalanya dan memandangiku yang juga memegang kepalaku, dia mengulurkan tangannya ke kepalaku.
“Sakit, enggak? Sakit? Maaf, maaf.”
Aku terdiam. Dadaku lagi-lagi berdebar kencang dan aku tahu kalau aku memang sangat kangen pada Arian. Seberapa pun aku benci padanya, aku tetap menyukainya. Arian bagaikan bola karet yang semakin aku lempar jauh, dia akan memantul kembali padaku, keras menghantamku. Arian berhenti ketawa dan balas memandangiku dengan tangannya yang masih ada di kepalaku.
“Aku kangen kamu, Al,” kata Arian pelan.
“Aku kangen kamu juga, Ar,” balasku tanpa sadar.