Aku pergi tanpa diantar si Odong. Mendadak dia harus ke kampus dan dia masih harus menyiapkan bahan untuk tugas kelompoknya. Aku enggak bisa nunggu lagi dan langsung tancap gas naik becak sampai jalan raya dan naik angkot hijau menuju rumah Merra.
Jalanan macet seperti layaknya hari Minggu di Bandung. Dengan penuh kendaraan dari luar kota, juga dengan orang-orang yang baru pulang lari pagi dari Tega Lega, taman kota yang besar dan memiliki miniatur monas. Aku sudah berganti angkot warna abu-abu dengan hati was-was dan cemas dan panik.
Ketika aku sudah sampai di depan komplek pasir luyu, aku segera berlari ke dalam komplek menuju rumah Merra. Aku enggak tahu apakah Merra sudah membuka-buka HP-ku, aku juga enggak bisa meyakinkan diriku sendiri kalau dia enggak akan buka-buka HP-ku. Yang jelas pikiran-pikiran enggak pasti itu membuat aku semakin kencang berlari.
Ketika sampai di depan rumahnya, motor Arian ada di sana. Terparkir di luar pagarnya dengan posisi miring, seakan-akan Arian turun dari motor bahkan sebelum mesinnya sempat berhenti total. Aku menghela napas, mengingat terakhir kali aku memergoki Arian di rumah Merra, mereka sedang bertengkar dan putus.
Aku mendekati pagar dan masuk dengan pelan-pelan. Aku bisa mendengar suara-suara keras. Pertengkaran yang kembali terjadi di antara mereka berdua. Entah kenapa aku jadi yakin kalau Merra memang buka-buka HP-ku dan melihat semua SMS Arian di sana. Aku membeku di teras, bersembunyi di balik pilar yang tebal, mendengarkan.
“Jahat banget ya kamu! Jadi selama ini aku diselingkuhin!” jerit Merra dan aku mendengar ada suara keras seperti benda dibanting.
“Enggak ada yang selingkuh di sini kecuali kamu, Merra. Aku jadian sama Alqiza juga baru sebulan yang lalu.” Arian menanggapi dengan suara yang lebih rendah.
“Bohong! Ini apa? Ini kan sebelum kita putus! Kamu bilang sayang sama dia!”
“Aku memang sayang dia, Ra. Jauh sebelum kita putus, bahkan sebelum kamu pergi ke Jakarta pertama kali. Tapi dia enggak tahu sama sekali!”
“Rian tolong dong! Kenapa harus Alqiza sih? Gak ada yang lebih bagusan lagi apa selain cewek malang kayak dia!”
Aku menahan napas. Apakah pendengaranku masih baik? Masih berfungsi?
“Kamu selalu merhatiin dia, ceritain dia sama aku, nyuruh aku hapalin apa yang dia suka dan enggak suka. Bahkan kamu nyuruh aku mikirin cowok yang baik untuk dia, Ra. Ini bukan salah siapa-siapa. Rasa suka itu tiba-tiba datang.”
“YA AMPUN RIAN! Aku minta gitu sama kamu biar dia ada yang mau. Dia itu setiap dapet cowok gagal mulu! Disuruh dandan dikit gamau! Malah baca aja tiap hari! Masih untung aku mau temenan sama dia!”
Aku menutup mulutku dan aku merasa aku mulai nangis.
“Inilah, Merra, kenapa aku lama-lama gak bisa sama kamu. Kamu selalu menghina-hina Alqiza, bilang dia tolol, bego, gak ada menarik-menariknya. Aku gak tahan lama-lama, Ra.”
“Alah! Gak usah sok suci! Kamu diem aja kalau aku ngomong gitu. Suka ketawa juga!”
Aku menggigit bibirku dan menghapus air mataku yang mulai mengalir. Aku enggak tahu ternyata Merra juga ngomongin sesuatu yang buruk tentang aku, dan Arian tahu soal itu. Padahal bukannya Arian bilang Merra gak pernah bilang apa-apa soal aku?
“Aku dulu cuma bingung harus nanggepin apa. Aku enggak suka kamu kayak gitu, manis di luar tapi di belakang suka hina-hina!”
“Aku cumsa bersikap jujur sama kamu! Enggak kaya dia yang nusuk dari belakang! Pantesan mau disuruh jagain kamu! Kamu dipelet apa, ya? Dia gak ada bagus-bagusnya gitu kamu bisa sampai suka! Masih untung dia tuh aku mau temenan sama dia, baik sama dia, kalau enggak kayaknya dia gak bakalan tuh, punya temen. Kerjanya cuma bacain buku. Dia dikenal sama cowok juga gara-gara dia temen aku! Kalau bukan mana orang sadar kalau dia ada!”
Aku berlari menerobos ke dalam rumah lewat pintu ruang tamu yang memang enggak ditutup tanpa sempat buka sepatu. Aku sudah memastikan enggak ada air mata di mukaku dan menatap dua orang di ruangan itu dengan galak. Arian dan Merra membeku dan menatapku kaget. Aku melihat di bawah kaki Merra HP-ku sudah hancur. Aku mendengus dan langsung lari keluar rumah.
“Qiza!”
Aku mendengar Merra memanggilku tapi aku berjalan cepat-cepat hampir lari. Merra yang lebih tinggi dari aku jelas kakinya lebih panjang, dia dengan mudah menyusulku dan memotong di depanku dengan cepat. Aku mendongak menatap wajah Merra yang merah dan marah.
“Kenapa kamu kabur? Takut ya!” Merra menahan bahuku dan menunduk menatapku.