Ketidaksukaanku pada roda sedikit berkurang karena benar adanya bahwa beban karung berisi jambe ini lebih ringan Ketika diletakkan pada keranjang dorong beroda tiga yang dipinjamkan Paman Danang. Aku pintar dengan bukan menyebut barang yang kutarik ini dengan gerobak karena ukurannya jauh lebih kecil. Jika ada rasa penasaran walaupun sedikit saja mengenai alasan aku benci roda adalah karena semakin banyak orang naik kendaraan.
Usiaku baru 10 tahun, namun aku ingat waktu kecil dulu, disaat Ibu dan Bapak belum pergi ke langit, jalan menuju pasar ramai oleh pejalan kaki. Aku berada di pundak Bapak sama sekali tidak takut jatuh berbeda dengan raut khawatir Ibu yang terpikirkan oleh kemungkinan terburuk.
Kami bertiga membeli bahan masakan untuk makan siang dan pasti aku yang memilih menunya. Memang benar keluarga kecil kami tidak pernah sarapan. Aku tidak lapar. Akan tetapi baru setahun belakangan ini aku sadar bahwa makan dua kali sehari itu agar pengeluaran dalam sebulan tidak membengkak.
Bapakku dulu adalah penjahit handal. Setiap lebaran, Bapak membuatkan baju dengan rok mengembang seperti Putri Diana untukku. Tahun lalu berita duka dari Negara Inggris itu menjadi perbincangan. Aku ikut sedih walaupun tidak paham juga apa yang terjadi. Hanya saja mendengar kata kematian sudah membuat dada ini sesak.
Saat ini pun pernafasanku lumayan terganggu. Tenang, tadi pagi atau kemarin tidak ada yang meninggal. Cuaca saja yang sangat menyebalkan berkali-kali membuatku terbatuk-batuk. Coba saja orang berduit itu tidak naik kendaraan berknalpot. Pasti langit di jam yang masih pagi ini warna birunya tersenyum cerah bukan cemberut busuk.
“Nak! Tidak punya sandal?” Baru masuk kawasan pasar, Ibu pedagang sayur ynag tidak kuketahui Namanya melemparkan basa-basi. Nadanya sama sekali tidak mengejek keadaanku, kok. Jangan bersimpati berlebihan.
“Sudah biasa, Bu,” jawabku pelan agar tidak menarik perhatian hingga orang-orang yang bertujuan berbelanja di pintu masuk pasar ini tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk menolehkan kepalanya.
“Hati-hati ya, Nak. Banyak beling, kotoran ayam, becek- Mari, Bu. Kangkungnya seger ini, Ibu,” suara pedagang sayur tadi semakin tidak terdengar karena Langkah kaki kupercepat. Tidak ada niat untuk sekedar berterimakasih atas perhatiannya juga.
Aku tidak bodoh. Kedua mata pasti kupakai untuk melihat bawah apakah ada sesuatu yang seharusnya tidak kuinjak. Berkomunikasi singkat saja membuatku kesal. Mungkin karena aku tidak masuk sekolah dan bertemu teman sebaya setiap harinya, ralat untuk Hari Minggu itu selalu libur.
Mau mendengar kisah lucu? Aku tidak sekolah karena nenek dan kakekku tidak tahu cara mendaftarkan cucunya ini ke sekolah negeri. Anak mereka saja, yaitu ibuku, tidak pernah duduk di bangku sekolah semasa hidupnya. Berbeda dengan Bapakku yang bernama Herbert. Dia seorang pria Jerman yang bermimpi tinggal di Indonesia karena kecintaannya kepada batik. Rumah yang kutinggali Bersama kakek dan nenek saat ini adalah satu satunya harta bagus yang ditinggalkannya. Sebenarnya ada satu lagi, yaitu mobil Mercedes-Benz SL600. Sayangnya, kini menjadi rongsokan di halaman depan karena memang tidak pernah diperbaiki sejak kerusakannya 3 tahun lalu.
“Nenek! Ini ada 32 jambe kata Kakek. Tapi udah kuhitung juga dan benar ada 32,” suaraku sengaja dengan volume keras agar terdengar oleh nenekku.
“Iya,” hanya itu jawabannya. Nenekku tidak cuek. Mungkin nenek sudah lelah bicara saja sama seperti kakek. Atau itu adalah ciri khas keluarga kami, akhirnya menurun kepadaku yang malas bicara juga.
“Ini,” nenek memberikan 10 perak dari telapak tangan keriputnya yang diarahkan kepadaku, “jajan sana.”
Selalu seperti ini kalau aku mengantarkan jambe ke pasar, “tidak mau, Nek,” tolakku untuk pertama kalinya. Tidak ingin ada lanjutan percakapan, aku berjalan kembali.
Hari ini memang aku semakin dewasa. Tepat 10 tahun umurku sekarang. Aku tahu pendapatan 2 jambe setara dengan uang yang akan diberikan nenekku tadi. Padahal air minum botol kemasan saja 75 perak.
Hasil jual jambe dan bunga mawar dari nenek ini adalah untuk makan sehari-hari keluarga kami. Tidak jarang kami hanya makan malam saja. Kusudahi saja curahan hati ini. Aku harus pulang untuk membantu kakek menanam cabai di halaman depan rumah.
Itu ide ku. Berkat menabung dua minggu, kakek membeli bibit cabai ke Paman Danang. Aku berpikir dan memang sudah yakin kalau jualan nenek setiap harinya tidak habis. Ayolah, tidak setiap hari ada orang yang pergi ke pemakaman. Tidak banyak juga orang di Ibu Kota Jawa Tengah ini yang nginang. Aku yang sudah 10 tahun hidup ini saja tidak tertarik mengunyah jambe di mulut dan aku yakin 93% banyak orang yang sepakat denganku.
Di toko toko yang berjejer di depan pasar sudah jarang menyetel lagu. Padahal saat aku, Ibu, dan Bapak berjalan-jalan dulu, kami bahkan menari di trotoar mengikuti musik yang disetel keras, entah itu dari toko emas, toko sepeda, maupun toko roti.
“Kue ulang tahun,” percayalah nadaku barusan mirip gambaran air liur yang menetes ketika kita ingin makan daging rendang.
Salah satu kue berbentuk bundar, berwarna hitam putih yang dipajang dietalase depan toko bernama Selera Bakery ini menarik tubuhku untuk masuk. Mau tidak mau telapak tangan mendorong pintu masuk kaca.