Pion

Adiba
Chapter #2

Danang

Sudah kukatakan bukan, bahwa dengan hanya mendengar kata kematian sudah membuat dada ini sesak. Baru langkah kaki ini sampai di depan pos ronda yang kenthong cabai berwarna merah itu sedikit rapuh, mataku melihat bendera putih di depan rumah tetanggaku. Sejak menangkap penampakan itu, pandangan ini terpaku. Terputar secara cepat adegan adegan kematian lain yang pernah aku lewati. Siapapun itu, rasa sedihnya sama, walau tidak separah kejadian 3 tahun yang lalu. 

"Kasihan ya, meninggalnya tiba-tiba."

"Iya, katanya abis nebang pohon kelapa, Pak Dadang kecapean terus tiduran di pos ronda. Dikira tidur, malah meninggal."

Obrolan dua ibu yang berdiri sangat dekat masing-masing kepalanya untuk berbisik di depanku itu membuyarkan lamunanku. Kulirik satu satunya pos ronda di desa ini yang ku tebak adalah latar tragedi yang dimaksud dari dua ibu tadi.

Kosong.

Tidak ada orang.

Sepertinya akan tetap sama untuk beberapa hari kedepan.

Kuyakin semua orang menganggap kematian adalah gelap, hitam, pahit, awan tebal, warna aspal, dan batu. Mengakulah kalau kau setuju denganku. Pasti kematian bukanlah sesuatu yang terang, putih, manis, matahari cerah, warna lampu lalu lintas, dan permen kapas.

Lihat selengkapnya