Pion

Adiba
Chapter #4

Herbert


"Lasker, tidak harus kok, untuk mengantar sampai makam. Lagipula itu hanya badannya saja, kan. Jiwa Paman Dadang sudah pergi ke langit," bisikku pada teman baruku yang tengah mengintip.

Kini aku dan Lasker ada di balik pohon kedondong yang menjadi sahabat batu besar. Bersembunyi setelah mendengar rombongan pengantar jenazah di jalan beraspal itu.

Percayalah, ini terjadi tepat setelah Lasker mengatakan namanya. Dia langsung berlari menarik lenganku ke tempat yang diyakini tidak akan terlihat oleh orang-orang yang lewat itu. Menurutku sih masih bisa ditemukan keberadaan aku dan Lasker disini. Yang membuat sampai tidak terdengar lagi lantunan khas pengantar jenazah itu tidak ada yang memanggil namaku atau Lasker adalah karena mereka tidak peduli. Tidak ada yang iseng menoleh ke arah sungai kecil yang menjadi tempat bicara batu besar dan pohon kedondong ini.

"Kau tidak tahu apa yang ku rasakan!" Sepertinya Lasker memang menunggu sepi untuk menanggapi ucapanku.

"Aku tahu-"

"Tahu apa kau, hah?!" Baiklah, yang itu sedikit kejam.

Aku diam sebentar sebelum menjawab, "perasaanmu," diam lagi seraya melihat kedua mata Lasker yang kini membalas tatapanku, "Bapakku meninggal pas aku umur tujuh tahun."

Kini dia yang diam.

Tanpa bicara, aku meraih telapak tangannya dan ku genggam erat. Memberi kode untuk kembali ke rumah dengan langkah pertama yang untung saja diikuti Lasker tanpa tanda tanya.

Benar benar sepi karena sepertinya semua orang di desa sudah sampai di pemakaman sekarang.

"Maaf," hanya satu kata itu yang mengisi keheningan di perjalanan aku dan Lasker.

Ya, tidak ada yang lain. Burung gagak pun enggan mengganggu kita, apalagi sejumput rumput yang masih tertanam di tanah. Mereka tidak bisa berteriak untuk menyuruh kami berdua ikut rombongan ke pemakaman.

Sedikit ku melirik bendera putih, "kamu tahu tidak?" Lalu dengan senyum kecil aku menoleh pada Lasker.

"Apa?" Pandangannya masih menunduk. Ingin sekali kubilang kalaupun tidak dilihat, kakinya tidak akan lepas. Tapi apa daya, mungkin dia takut tersandung.

Ku semakin eratkan genggaman tanganku padanya, "aku itu tetangga Paman Dadang."

Berhasil mengundang rasa tertariknya, "rumahmu dimana?"

Lihat selengkapnya