Ketika saya menulis catatan ini, media melaporkan, “Di Irak, mantan kepala organisasi intelijen Iran yang sangat lihai, Mayor Jenderal Qassim Suleimani, sekaligus komandan pasukan Quds yang menghabiskan karier di bawah sorotan sebagai dalang serangan teroris—termasuk yang menewaskan tentara Amerika di Irak—telah tampil sebagai tokoh masyarakat.”1 Uraian laporannya biasa saja sehingga tidak terlalu menyita perhatian. Namun, justru karena alasan itu menjadi menarik dan penting.
Tanpa banyak kontroversi, Amerika Serikat menyerbu Irak—tindakan agresi yang sewenang-wenang—dan menyisakan kehancuran di negeri tersebut. Nah, bagaimana bisa serangan yang menewaskan tentara penyerbu disebut “serangan teroris”? Ada satu cara: para penyerbu memiliki hak istimewa untuk menyerang dan menghancurkan sesuka hati, sehingga setiap bentuk perlawanan terhadap aksinya merupakan terorisme. Singkatnya, para penyerbu “mengganggu keamanan dunia dengan armada laut yang hebat”, sehingga menjadi bagian dari kuasa kekaisaran, bukan pencuri atau perompak, seperti dalam kisah bajak laut dan sang kaisar yang dituturkan Santo Agustinus.
Sebagaimana dibahas dalam bab-bab selanjutnya, “Kisah St. Agustinus menyiratkan makna konsep terorisme internasional yang digunakan di Barat pada era kontemporer, dan menyentuh jantung persoalan terkait sejumlah insiden terorisme terkini yang diatur sedemikian rupa, dengan sinisme tertinggi, sebagai selubung atas kekerasan Barat.”
Adakalanya, pemahaman atas hak kekaisaran ini cukup mengesankan. Misalnya, pernah terjadi perdebatan mengenai memberi bantuan militer kepada pemberontak Suriah atau tidak. Berita utama New York Times mewartakan kajian CIA yang memengaruhi perdebatan tersebut dengan meninjau kembali kasus-kasus intervensi masa lalu untuk mendukung pemberontak, dan “mendapati upaya itu jarang berhasil”.2 Artikel tersebut mengutip Presiden Obama yang mengatakan telah meminta CIA untuk melakukan penyelidikan guna menemukan kasus “pembiayaan dan pemasokan senjata untuk pemberontakan di suatu negara yang benar-benar berjalan dengan baik. Dan, mereka tidak bisa menyebutkan banyak kasus.” Jadi, ia enggan melanjutkan upaya tersebut.
Paragraf pertama artikel itu memuat tiga contoh penting: Kuba, Angola, dan Nikaragua. Masing-masing kasus berupa perang teroris yang kejam dan berkepanjangan, yang dipimpin Washington.
Presiden Kennedy meluncurkan kampanye untuk menghadirkan “teror dunia” di Kuba—demikian yang dituliskan oleh sejarawan kepercayaannya, Arthur Schlesinger, dalam biografi Robert Kennedy, yang menetapkan tugas tersebut sebagai prioritas tertinggi. Kekejaman teroris ini sangat ekstrem. Dan, seperti yang diketahui, terorisme memainkan peran dalam krisis rudal Kuba, yang disebut Schlesinger sebagai “momen paling berbahaya dalam sejarah”. Serangan teroris dilanjutkan saat krisis mereda, dan terus berlanjut selama bertahun-tahun.
Di Angola, pemerintahan Reagan—yang kukuh menyokong politik apartheid Afrika Selatan—mendukung tentara UNITA yang kejam dan brutal, bahkan setelah pemimpinnya, Jonas Savimbi, dikalahkan dengan telak dalam pemilihan bebas yang diawasi secara ketat. Dan, setelah Afrika Selatan menarik dukungan terhadap “monster yang nafsu kekuasaannya membawa kesengsaraan mengerikan bagi bangsanya” (meminjam kalimat Marrack Goulding), duta besar Inggris untuk Angola—yang diamini oleh kepala kantor CIA di dekat Kinshasa—mengatakan bahwa “bukan ide bagus untuk” mendukung monster itu “karena besarnya kejahatan Savimbi. Dia sangat brutal”.3