Dampak kejahatan teroris pada 11 September 2001 luar biasa besar, sehingga tidak perlu disematkan identitas lagi: cukup disebut “9/11” saja. Kini dipahami bersama bahwa dunia telah memasuki era baru ketika segalanya akan berbeda: “zaman teror”. Tak diragukan lagi, 9/11 akan menempati posisi penting dalam sejarah terorisme, walaupun kita harus memikirkan dengan hati-hati mengapa demikian. Siapa pun yang akrab dengan sejarah masa lalu dan masa kini tahu betapa alasan terjadinya teror, sayangnya, bukanlah skala kejahatannya—ini memang perlu disesalkan—melainkan orang-orang tak bersalah yang menjadi korban. Maka, konsekuensinya akan sangat bergantung pada cara kelompok elite dan penguasa menerjemahkan kejadian dramatis ini, betapa mereka tidak lagi kebal dari kejahatan serupa yang rutin ditimpakan kepada orang lain, dan reaksi mereka.
Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa fakta yang perlu dipertimbangkan: 1) “zaman teror” bukan sesuatu yang tidak terduga; 2) “perang melawan teror” yang dikumandangkan pada 11 September bukan sesuatu yang baru, dan bagaimana hal yang sama yang dilakukan pada masa lalu sedikit-banyak mengandung pelajaran bagi masa kini.
Mengenai poin 1), meskipun tidak ada yang bisa memperkirakan secara persis kejahatan 9/11, sudah dipahami selama beberapa waktu, bahwa dengan teknologi kontemporer, dunia industrial cenderung kehilangan monopolinya atas kekerasan. Sebelum 9/11, diketahui bahwa “operasi terencana untuk menyelundupkan [senjata pemusnah massal] ke Amerika Serikat setidaknya memiliki kemungkinan berhasil 90 persen”.25Beberapa ancaman yang dimaksud antara lain “senjata nuklir skala kecil”, “bom kotor”, dan berbagai senjata biologis. Proses pembuatannya mungkin tidak memerlukan kemampuan teknis yang luar biasa atau organisasi khusus.
Lebih lanjut, sumber teror mungkin sulit dikenali, sehingga sukar dihadapi. Sembilan bulan setelah 9/11 dan ketakutan akan serangan antraks yang didapati banyak analis semakin mengerikan26. FBI melaporkan bahwa mereka baru memiliki sebatas dugaan tentang sumber dan perencanaan serangan 9/11. Pada dasarnya, semua itu adalah asumsi, padahal apa yang seharusnya menjadi penyelidikan internasional paling luar biasa dalam sejarah, justru hanya menghasilkan keterangan yang sangat sedikit. Itulah yang mereka akui. Dan, FBI melaporkan tidak ada kemajuan berarti dalam mengidentifikasi pelaku teror antraks, meskipun sumber penyakitnya telah dilokalisasi di laboratorium FBI di Amerika Serikat, dan tenaga khusus telah dikerahkan untuk melakukan penyelidikan.
Beralih ke poin 2), penting untuk diingat bahwa George W. Bush pada 9/11 bukanlah pihak pertama yang mengumumkan “perang melawan teror”. Pernyataan tersebut pernah diserukan 20 tahun sebelumnya oleh pemerintahan Reagan-Bush Sr., dengan retorika serupa dan personel yang sama di posisi terdepan. Mereka berjanji akan melenyapkan “kanker” yang membawa “kembalinya barbarisme pada era modern”. Mereka mengidentifikasi dua pusat utama “momok jahat terorisme”, yakni Amerika Tengah dan Timur Tengah/wilayah Mediterania. Kampanye mereka untuk memberantas wabah teror di kedua wilayah tersebut menempati peringkat atas di antara isu-isu kebijakan luar negeri lain pada dekade ini.
Dalam kasus Amerika Tengah, kampanye ini dengan cepat menyebabkan mobilisasi massa yang tak pernah terjadi sebelumnya. Hal ini memiliki akar yang kuat pada sebagian besar masyarakat Amerika, dan mengoyak landasan baru dalam aksi yang dilakukan. Selama perang AS di Indochina, seperti pada sejumlah kasus amuk Barat sebelumnya di sebagian besar dunia, beberapa orang bahkan berpikir untuk tinggal di desa guna membantu para korban dan, dengan kehadiran mereka, memberikan perlindungan semampunya dari penjajah asing dan sekutu lokalnya. Juga ada banyak karya pustaka mengenai “perang melawan teror” ala pemerintahan Reagan. Karya-karya ini menemukan tempatnya dalam gerakan populer yang berusaha melawan terorisme internasional yang disokong negara, meskipun tetap nyaris tidak disinggung dalam bahasan arus utama karena sudah disepakati bahwa hanya kejahatan orang lain yang harus diperhatikan dan dikecam sengit. Sebagian dari kajian berikut diambil dari tulisan-tulisan 1980-an mengenai tema ini27, yang saya yakin masih relevan dengan kenyataan pada masa mendatang.
Pangkalan Washington di Amerika Tengah untuk mengatasi wabah teror ada di Honduras. Dan, pejabat yang bertanggung jawab sepanjang tahun-tahun yang penuh kekerasan ini adalah Duta Besar John Negroponte, yang ditunjuk George Bush Jr. pada 2001 untuk memimpin komponen diplomatik deklarasi ulang “perang melawan teror” di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan utusan khusus Reagan di Timur Tengah sepanjang periode kekejaman paling mengerikan tak lain adalah Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, yang mengerahkan komponen militer pada tahap baru kampanye tersebut. Para perencana utama lainnya di Washington juga menyertakan pengalaman yang didapat dari tahap pertama dalam wajah baru “perang melawan teror”.
Di kedua wilayah tersebut, pemerintahan Reagan melakukan kekejaman teroris besar-besaran, bahkan jauh melebihi tindakan pihak yang tengah mereka perangi. Di Timur Tengah, dengan perbedaan mencolok, jejak kekejaman terburuk mengarah kepada AS dan sekutu lokalnya, yang menyisakan pertumpahan darah dan kehancuran, terutama di masyarakat Lebanon yang luluh lantak dan di wilayah-wilayah di bawah pendudukan militer Israel. Amerika Tengah bahkan mengalami bencana yang lebih buruk lagi di tangan komandan teroris di Washington dan antek-anteknya.
Salah satu sasarannya adalah Nikaragua, yang (karena diserang) dapat mengikuti ketentuan sesuai undang-undang dan kesepakatan resmi yang berlaku bagi sebuah negara yang diserang: mengajukan banding ke pihak berwenang di level internasional. Pengadilan Dunia memutuskan untuk mendukung Nikaragua, dengan menetapkan AS bersalah karena “penggunaan kekerasan secara tidak sah” dan pelanggaran terhadap perjanjian, memerintahkan Washington untuk menghentikan kejahatan teroris internasionalnya dan mengganti biaya ganti rugi mendasar.