Arinata Gisel melihat seekor kucing berlari masuk ke koridor yang remang. Semakin menjauh, bulu putihnya semakin samar. Rasa penasaran membuat gadis bermata sipit itu mengejar si kucing dengan berjalan cepat, batinnya pun melantunkan surah An-Nas—doa andalan untuk menjauhkannya dari gangguan gaib. Sesekali Arin menggaruk rasa gatal di kepala yang terbungkus kerudung. Setiap langkahnya saat ini adalah langkah-langkah baru di dalam hidupnya. Gadis itu belum pernah memasuki koridor di lantai satu asrama ini. Di Pondok Pesantren Bukit Cemara—Banyumas, ia hanya pernah mengunjungi perpustakaan, asrama, lapangan, aula, kelas, masjid, kantin, dan kantor, dan itu-itu saja. Tidak pernah koridor terbengkalai yang lembap dan rusak.
Arin sangat menyukai kucing. Sebelum masuk ke pesantren, gadis itu dan adiknya memelihara kucing di rumah. Sepasang kucing jantan dan betina yang diberi nama Nira dan Aira, kebalikan dari panggilan namanya dan adiknya. Arin dan Aria memelihara kedua kucing itu dari kecil, mereka menemukannya di dalam dus dekat ruko kosong saat pulang sekolah. Sekarang kedua kucing itu sudah dewasa dan punya setengah lusin anakan yang memenuhi teras rumahnya. Karena itu, kini Arin tertarik mengejar kucing putih yang masuk ditelan keremangan koridor—hanya ada satu bohlam kuning yang menyala.
Gadis itu menghirup debu yang nyaris membuatnya bersin, ia menahan karena tidak ingin menimbulkan suara yang bisa membuat kucing itu kaget dan semakin menjauh. Pintu-pintu kamar yang tertutup dilewatinya, kusam dan bobrok. Logam angka yang tertempel di masing-masing pintu sudah rusak, sebagian tergeletak di antara kayu keropos yang berserakan. Aroma tahi tikus pun menguar, disertai decitan pemiliknya di sana sini. Sedikit demi sedikit, perasaan tidak nyaman mendorongnya untuk segera meninggalkan koridor, tetapi pandangan Arin telah menjangkau pintu kayu di ujung sana. Tertempel angka 12 pada pintu itu.
Kamar yang sesekali dibicarakan oleh para santri, kamar yang sakral, terkunci, dingin, angker, dan tetek bengek yang menimbulkan rasa takut. Namun, rasa penasaran menuntun langkah gadis itu semakin dekat ke pintu. Sesampainya di depan Kamar 12, ia melihat jelas bagian pegangan yang sudah berkarat dan diselubungi oleh jaring laba-laba. Arin menyentuh pegangan pintu, saat itu juga bel terdengar samar dari pengeras suara yang lokasinya jauh di lantai atas. Gadis itu pun berpaling, ada pelajaran tambahan yang harus ia ikuti siang ini.
“Hei.” Tiba-tiba terdengar suara gadis kecil menyapa. Ia meyakini bahwa suara itu berasal dari kesadarannya, bukan dari imajinasi di dalam kepalanya. Seperti keringat yang mengalir dari leher ke dada, derak langkah tikus yang berkumpul dalam gelap, atau mungkin degup jantungnya yang terasa semakin kencang, pokoknya yang nyata-nyata. Arin pun kembali berbalik dan menatap pintu tempat suara itu berasal. Ia menajamkan mata dan menelan ludah.