Pukul enam pagi, saat ayat-ayat Al-Qur'an dilantunkan dari masjid, saat pesantren masih dinaungi oleh keteduhan bukit, saat sebagian santri masih berbaris di kantin untuk mendapatkan sarapan, dan saat proyeksi bulan nyaris lenyap di langit, saat itulah Arinata Gisel menuruni tangga hendak meninggalkan asrama. Gadis itu sudah rapi mengenakan seragam putih abu-abu, lengkap dengan sepatu ket hitam dan ransel yang membusung karena dipenuhi buku. Arin menyukai aroma parfumnya sendiri, tidak terlalu menyengat dan tidak juga lenyap, sudah sesuai aturan santri nomor 11.
Kamar Arin ada di lantai empat dan ia baru menuruni satu tangga, artinya ada dua tangga lagi yang harus dilalui. Gadis itu melewati santri-santri yang melangkah pelan dan tidak menyapa satu pun dari mereka, terkadang ia hanya menatap santri yang memperhatikannya, lantas berpaling dan membiarkannya berlalu. Seorang gadis memberengut memakai sepatunya sambil berjalan, teman-temannya mengingatkan bahwa gadis yang cemberut itu akan mendapatkan hukuman lantaran tidak mengerjakan tugas Bahasa Inggris.
Arin ingat ketika beberapa temannya tidak mengerjakan tugas Bahasa Inggris, mereka dihukum berlari mengelilingi lapangan tiga kali, hukuman standar yang menurutnya tidak bisa membuat santri jera. Meskipun begitu, Arin tidak menemukan hukuman apa yang bisa membuat santri jera. Sebab, gadis itu merasa bahwa seperti apa pun hukumannya, santri-santri hanyalah para remaja yang sedang belajar dan bisa melakukan kesalahan yang berulang-ulang.
Di anak tangga kedua, sepatu kanannya menginjak gumpalan permen karet yang tebal. Ia pun berhenti sejenak dan mengikis permen karet dari sepatu menggunakan siku anak tangga. Sebagian terlepas dan sebagian masih menempel, membuat langkah-langkah berikutnya terasa aneh. Arin membiarkannya, membiasakannya, dan tidak mempermasalahkannya.
Di lantai dua, ada banyak santri MTs yang menuruni tangga, beberapa dari mereka berlari kencang dan melompati dua hingga tiga anak tangga sekaligus. Arin memperlambat langkah untuk membiarkan mereka turun duluan. Seraya melangkah, gadis itu mengedarkan pandang ke lapangan. Ia melihat lapangan berumput yang sebagian tergenang oleh air hujan—terutama di sekitar tiang bendera. Arin juga melihat rerumputan yang sudah meninggi hingga menguning, dan dinding pagar yang bobrok. Semua itu membuatnya berasumsi bahwa sebentar lagi akan diadakan kerja bakti besar, bukan kerja bakti bulanan seperti biasanya. Kerja bakti bulanan dilakukan bergantian antara santri MA dan MTs, sedangkan kerja bakti besar dilaksanakan oleh semua santri. Sudah pasti perbaikan dinding yang bobrok menjadi salah satu agendanya. Mungkin dua minggu atau sebulan lagi.
Kini Arin sampai di lantai satu, tidak banyak kamar berpenghuni di lantai ini. Sebagian besar kosong dan terkunci. Hanya beberapa guru yang menempati kamar-kamar di lantai satu. Langkah gadis itu terhenti saat ia melihat ujung selasar yang gelap. Ada belokan menuju koridor, tempat kemarin ia mengejar seekor kucing hingga mendengar sapaan gaib dari dalam Kamar 12. Lagi-lagi rasa penasaran membuatnya ingin kembali melangkah ke sana. Namun, meskipun kemarin Arin berani menatap Kamar 12 dalam-dalam, meskipun kemarin gadis itu menunggu sapaan gaib terdengar lagi, dan meskipun kemarin ia menghentikan bacaan surah An-Nas di batinnya, Arin tidak mendengar atau merasakan hal mistik apa pun lagi. Peristiwa gaib itu datang dan pergi seperti embun yang saat ini bertotol di rerumputan, lalu lenyap saat kirana matahari melewati bukit dan menerangi lapangan.
Gadis itu pun melanjutkan langkah menuju kelas yang lokasinya ada di seberang lapangan. Lagi pula Arin merasa sudah membutuhkan apa yang diperlukannya, telapak tangannya sempat menyentuh pintu Kamar 12.
***