Arinata Gisel nyaris berpikir bahwa gadis kecil itu menyapa dirinya. Padahal ia jelas-jelas paham bahwa saat menggunakan penglihatannya, siapa pun yang ditemui tidak akan bisa berinteraksi dengannya. Langkah-langkah kaki terdengar di belakang Arin, ia pun menoleh dan mendapati dua anak laki-laki dan satu gadis kecil mendekat. Mereka menembus tubuh Arin bak hantu tak kasat mata. Ketiga anak itu berhenti di depan si gadis kecil penghuni Kamar 12.
“Cici, ayok dolan!” ajak gadis kecil yang baru datang. Rambutnya dikepang dua dan memakai kaus merah jambu yang sudah pudar di bagian pundaknya.
Cici, batin Arin. Kini ia mengetahui nama si gadis kecil penghuni Kamar 12.
Cici semringah, tampak merasa senang karena teman-temannya datang mengajak bermain. Namun, gadis kecil itu tidak melangkah sedikitpun keluar dari kamar. Senyumnya juga memudar seiring detik, seolah mengingat sebuah aturan atau semacamnya yang melarang ia keluar.
“Sedelat, kok. Nganti bar isya,” tutur anak laki-laki yang kepalanya gundul.
“Iya, Ci. Langitnya cerah!” tambah anak laki-laki di sebelahnya, berbadan gendut dan memakai kaus bola Argentina yang longgar, mungkin punya kakak atau bapaknya.
Namun, Cici belum menjawab ajakan mereka, menyadarkan Arin pada dirinya sendiri yang juga jarang bicara. Arin berharap agar Cici menerima ajakan main mereka, dengan begitu Arin bisa melihat mereka bermain bersama. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah yang cepat dari dalam Kamar 12. Seorang wanita kurus bergaun hitam muncul di belakang Cici. Matanya yang cekung menatap ketiga anak di luar tanpa keramahan. Rambut panjangnya terikat ngasal ke belakang, keriput memenuhi wajah, dan bibirnya pecah-pecah.
“Cici arep istirahat,” kata si wanita tua itu, “koe kabeh aja dolan mene maning!”
Kalimat itu menyayat hati Arin, bukan hanya itu, Arin juga sangat yakin bahwa kalimat itu menyakiti hati semua anak yang berada di sini, tidak terkecuali Cici. Lantas si wanita tua menarik Cici masuk ke dalam dan menggendong kucing putihnya. Ketiga anak itu pun berpaling meninggalkan Cici dengan kekalahan, bahkan si gadis kecil yang dikepang dua memberengut nyaris menangis.