Rahman, Hasan, Alif, dan Maina adalah para anak jalanan pinggiran kota yang tinggal tidak jauh dari tempat pembuangan sampah. Sedari kecil mereka hidup sendiri, bekerja, dan memenuhi hidupnya sendiri tanpa tahu siapa orang tuanya. Mereka dibuang dengan alasan terlahir dari sebuah kesalahan. Orang tua mereka pikir kedatangannya hanya akan membuat malu di lingkungan masyarakat. Sampai di buang adalah keputusan akhirnya.
Rahman sebagai anak paling tua di antara mereka harus bekerja keras agar bisa makan untuk sehari-hari. Usianya baru depalan tahun dan ia tidak bersekolah. Waktu bayi, ia ditemukan di gerobak sampah milik pemulung bernama Pakde Suli. Dan sempat dirawat sampai usianya tiga tahun. Karena Rahman tidak ingin merepotkan Pakde Suli, ia memutuskan untuk tinggal di tempat pembuangan sampah dan bertemu dengan ketiga orang anak yang bernasib sama sepertinya. Nyatanya ketiga anak itu tak seberuntung Rahman. Mereka dibesarkan di tempat kotor oleh pemulung tua yang kini sudah tiada.
Hingga Rahman memutuskan untuk mengangkat mereka sebagai adiknya. Dan mulai detik itu mereka adalah tanggung jawab Rahman, bocah delapan tahun yang menjelma sebagai malaikat penolong.
Hasan satu tahun lebih muda dari Rahman. Selisih mereka yang terpaut cukup dekat membuatnya merasa memiliki teman sebaya. Meski Rahman jauh lebih tua darinya. Dan juga Alif, bocah berusia lima tahun yang awalnya tak memiliki nama. Nama "Alif" adalah pemberian dari Rahman supaya mudah untuk dikenali. Sedangkan Maina, si paling bungsu yang masih berusia tiga tahun itu hanya bisa menangis saat tak mendapat jatah upah ketika membantu berjualan cangcimen.
"Maina kenapa?" tanya Rahman mengelus rambut Maina yang mulai menggimbal.
"Maina laper, kak," jawab Maina sembari mengusap perutnya yang keroncongan.
"Sabar dulu, ya? Nanti kalau barangnya sudah laku, kita beli makan. Sambil nunggu Kak Hasan sama Alif." Maina mengangguk. Ketika Raham sudah menasihatinya ia diam berkutik.
Setiap hari mereka melakukan ini. Jika barang yang mereka jual tak kunjung habis, mereka terpaksa mengorek sampah untuk mencari makan. Kadang juga seharian mereka tidak makan. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka selalu di ejek oleh anak-anak kompleks dengan sebutan bocah idiot.
Mereka memang tidak bersekolah dan buta dengan pengetahuan. Tapi bukan berarti mereka bodoh. Mereka berjuang melawan kehidupannya yang bernasib buruk. Belum tentu para anak-anak itu kuat hidup seperti mereka bertiga. Anak-anak itu tak sekuat mereka. Namun dengan entengnya anak-anak itu berkata, "Bocah idiot."
"Kami akan buktikan jika kami tidak bodoh! Kami ini anak jalanan, yang tidak mengerti apa itu pendidikan. Hidup kami dari kecil memang seperti ini. Kami bekerja mencari makan agar kami tidak kelaparan. Kami ini bukan anak idiot! Kami bisa belajar dari kehidupan dan pengalaman kami. Justru kami lebih pintar dari kalian! Sebab kami hidup mandiri, tidak bergantung pada orang lain!" jelas Rahman. Namun anak-anak kompleks tidak pernah kapok. Mereka terus mengusik dan menghina Rahman serta adiknya.
"Yang namanya idiot pada dasarnya tetap idiot!"
Tuhan lebih tahu siapa mereka. Semua ini hanya sementara. Di sisi lain, Tuhan sudah menyiapkan rencana yang lebih baik untuk mereka bertiga. Untuk saat ini, kebahagiaan mereka bukan sekarang. Sabar saja, Tuhan tahu kapan mereka akan bahagia.
***