Seorang wanita paruh baya tengah duduk di sofa sambil membuka sebuah amplop cokelat. Amplop yang di dapat dari hasil kerjanya semalam. Jangan pernah bertanya wanita itu bekerja sebagai apa. Karena pada intinya, wanita itu mendapat uang dengan cara yang salah.
Seketika wanita itu tercengang saat melihat anak perempuannya jalan melewatinya tanpa tegur sapa. Hubungannya dengan anak perempuannya itu memang tidak harmonis. Mereka seolah orang yang tidak saling kenal. Delapan tahun sikap mereka seperti itu. Tidak pernah ada yang di ubah sedikitpun. Iya, jelas saja begitu. Siapa yang mau memiliki ibu seorang pelacur?
"Mau kemana kamu?" tanya wanita itu bernama Wulan Sari.
"Kemana-mana hatiku senang!" jawab anaknya dengan nada bicara santai.
"Mau sampai kapan kamu bersikap dingin sama mama? Ini mama kamu, Ana! Bukan orang lain!" Wulan membentak.
Anak perempuan yang disebut-sebut itu adalah Ana. Anaria Yasinta. Seorang gadis yang terkenal dengan sikap sopan dan baik hati. Tapi tidak untuk saat ini. Karena sikap Ana yang seperti itu hanya untuk orang lain bukan ibunya.
Selama ini Ana hanya merasa dendam dengan masa lalu yang belum bisa ia lupakan hingga sekarang. Ini semua karena ulah ibunya. Hingga Ana sampai terjebak dalam permainan konyol ini. Sesekali kadang Ana nyaris dijadikan korban. Untungnya Ana mampu melawan.
"Sampai Mama berhenti jadi seorang pelacur!" bentak Ana seketika.
"Jaga mulut kamu! Ini semua mama lakukan buat masa depan kamu, Ana! Supaya kita punya uang! Dan kamu harus ikuti jejak mama!" paksa Wulan. Tapi Ana menolak keras. Ia punya cita-cita yang tinggi. Tidak mungkin ia akan meneruskan jejak ibunya sebagai wanita murahan. Wanita yang tidak punya harga diri. Seorang wanita yang rela menjual diri demi mendapat uang. Permaianan konyol manusia seperti ini yang harus segera dilenyapkan dari bumi ini.
"Jadi pelacur! Buat apa, Ma? Aku punya cita-cita, aku punya impian! Dengan Mama suruh aku jadi pelacur, justru akan menghancurkan masa depan aku, Ma! Aku punya harga diri, bukan murahan seperti Mama!"
"Kamu nggak usah sok suci! Kamu ini anak seorang pelacur! Jadi tetap saja murahan seperti ibunya!" Kali ini Wulan menarik tangan Ana kasar dan kembali berucap, "Ini apa-apaan kamu! Buat apa pakai kerudung! Lepas sekarang mama tidak suka!" Wulan melepas paksa hijab yang dikenakan oleh Ana. Ana terisak. Untuk ke sekian kalinya Wulan memperlakukan Ana seperti ini.
"Mama jahat! Sampai kapanpun aku nggak akan mau buat jadi seorang pelacur! Ingat itu, Ma! Hiks ... hiks." Ana mengambil hijabnya yang dibuang ke lantai oleh Wulan dan segera memakainya. Lalu pergi meninggalkan Wulan tanpa pamit.
"Awas saja kamu, Ana! Kamu akan tahu akibatnya!"
***
Jakarta memang terkenal dengan kemacetan yang bisa dikatakan cukup panjang. Deru motor juga kendaraan lainnya begitu menggelegar di telinga. Sampah-sampah jalanan yang bertebaran, juga para gelandang yang tinggal di kolong jembatan. Para pemulung, pengamen, pedagang asongan, dan masih banyak lagi orang yang memiliki cerita hidup selama mereka tinggal di Jakarta.
Kota besar yang dijuluki sebagai kota metropolitan ini nyatanya memang padat dengan penduduk. Mereka yang rela dari desa ke kota agar menjadi orang sukses, ternyata itu semua di luar dugaannya. Tidak banyak orang yang sukses setelah tinggal di Jakarta. Justru yang menjadi gelandang bahkan pengemis kemungkinan besar mereka alami. Yang setiap hari hidupnya hanya di kejar-kejar satpol pp karena melanggar aturan. Tidak usah jauh-jauh siapa mereka, contohnya seperti keempat anak pinggiran kota ini yang hidupnya terlantar akibat kesalahan orangtuanya.
"Lari ...," teriak Rahman dengan napas yang terengah-engah.
"Kak, kalau kita di tangkap gimana?" tanya Alif ketakutan.
"Kita lari saja! Maina biar kakak gendong dan kamu, Hasan ... jagain Alif!"
Hal yang mereka takutkan adalah tertangkap satpol pp. Hidupnya yang bergantung pada Bang Iwan yang setiap hari memberinya beberapa dagangan untuk mereka jual, kini jika mereka tertangkap mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini sangat berat, seorang bocah seperti mereka harus menanggung beban yang berat. Jika seandainya para pejabat dengan sukarela mau memberi bantuan kepada para gelandang itu, mungkin hidup mereka akan lebih baik. Namun nyatanya pemerintah hanya mengeluarkan aturan yang pada akhirnya juga di langgar oleh masyarakat.
Jangankan mereka para anak jalanan pinggiran kota, orang miskin yang rumahnya hanya sebatas pagar gribik[1] saja belum tentu mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Rakyat kecil bisa apa selain pasrah? Unjuk rasa pun di tolak mentah-mentah. Dan nyatanya uang negara juga uang rakyat banyak yang di korupsi oleh pejabat. Di mana keadilan bagi rakyat kecil? Mereka hanya mendapat kebohongan semata yang berdalih kepada bantuan sosial. Bahkan anak TK pun paham apa arti penting dari kata saling peduli.
***
"Ana kok belum sampai juga, ya?" ucap Ogi memasang muka khawatir.
"Mungkin macet! Jakarta kalau udah macet, ramainya melebihi karnaval desa," jawab Sabrina.
Satu kekhawatiran lagi selain Ana adalah Renja. Yang pasalnya tidak akan ikut jika berhubungan dengan sampah. Lelaki anti sampah yang memiliki sifat pemalas.
"Dan, lo telpon Renja sekarang! Suruh ke sini! Dia nggak boleh terima jadi aja!" seru Huna pada Aidan yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya.
Tidak lama setelah itu, Ana datang dengan mimik muka yang sangat menyedihkan. Ia baru saja melewati patangan besar dalam hidupnya. Tapi ia wanita kuat, ia tak boleh lengah. Mengahdapi ibunya yang seperti itu adalah kebiasaannya. Ana sudah kebal. Iya, Ana kuat.
"An, akhirnya dateng juga! Mulai menganalisa sekarang atau gimana?" kata Huna tampak bersemangat.
"Iya, sekarang aja," jawab Ana.