Pernah dengar kata mutiara Imam Syafi'i tentang belajar? Beliau berkata, "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan." Tidak ada di dunia ini yang sanggup untuk menahan kebodohan. Bahkan jika ingin bekerja, kita harus menjadi orang yang pintar dan berpendidikan tinggi. Tapi apa jadinya jika tidak bisa belajar dan sekolah? Tentunya kita akan menjadi orang yang bodoh sepanjang sejarah.
Namun kenyataannya, tidak semua orang bisa belajar dan sekolah dengan mudah. Seperti halnya Rahman dan para anak jalanan lainnya. Mereka tidak tahu apa itu belajar. Mereka tidak bisa membaca, menulis, berhitung, bahkan tak mampu mengenali apa itu huruf A. Tapi mereka bisa memahami keadaan dan belajar dari segala pengalaman. Tak salah lagi jika banyak orang menyebut mereka sebagai bocah idiot.
Sampah-sampah jalanan tiap harinya selalu bertambah. Semua pengendara khususnya mobil dengan seenaknya membuang sampah secara sembarangan. Tak lain lagi para pejalan kaki ataupun pedagang asongan pasti sering melakukan pencemaran. Mereka tidak tahu seberapa pentingnya tempat pembuangan sampah ini bagi para anak jalanan. Yang mereka mengerti hanya bagaimana caranya supaya mereka senang. Sekali saja memikirkan nasib anak jalanan tidak pernah. Yang lebih menyakitkan lagi, saat ada pengendara yang melanggar aturan dan berlagak memarahi anak-anak tak berdosa ini saat mereka memberi teguran. Seolah pengendara itu merasa paling benar.
"Kalian tidak usah mengajari saya! Saya ini sudah dewasa. Itu artinya saya lebih tahu dari kalian!" elak pengendara itu tiada akhlak.
"Tapi kami hanya mengingatkan saja, pak. Kalau membuang sampah sembarangan itu tidak baik. Alangkah baiknya jika bapak turun sejenak dan membuang sampah itu di tempatnya. Supaya kota ini bersih dan terhindar dari segala penyakit," tegur Rahman kepada bapak pengendara itu.
"Yang ada kalian sarang penyakit di sini! Kotor, dekil, bau ... kalian pikir kalian hebat dengan menegur saya seperti tadi?! Tidak, sarang penyakit seperti kalian ini yang harus dibuang di tempatnya. Sampah nggak guna!"
"Kami tahu kami ini gelandangan. Tapi kami tidak serendah yang bapak katakan. Kami layaknya manusia yang punya perasaan. Kami sebagai anak jalanan juga ingin di hormati. Sebab kami ini anak terbuang yang butuh perlindungan."
"Alah! Kamu tidak perlu mengajari saya, anak kecil! Kuman-kuman seperti kalian yang harusnya di basmi. Awas, kasih saya jalan! Saya mau lewat!" pinta pengendara itu. Percayalah, kabur dari suatu kesalahan tidak akan membuat hati tenang. Selalu ada rintangan besar yang harus kita hadapi.
"Kak, sebaiknya kita kembali saja ke tempat sampah. Kalau kita di pinggir jalan seperi ini, nanti kita di hina lagi sama orang-orang," ujar Hasan. Sebenarnya Hasan ini anak yang tidak peduli dengan sekitar. Sifatnya pendiam dan sedikit bengal. Namun Rahman mampu mengatasi bocah sepeti Hasan. Itu bukan hal yang sulit bagi Rahman. Ia punya sejuta akal walau tidak pernah belajar.
"Iya, kita pulang saja. Alif sama Maina pasti sudah lelah kan?"