September 1997.
Desas-desus pergerakan mulai terdengar sejak beberapa hari lalu. Pak Petrus mengumpulkan mereka disana untuk menggali informasi lebih banyak lagi. Informasi simpang siur berseliweran dimana-mana. Siapa sebenarnya yang menarik benang kusut ditumpukan tenun?
Ruangan panas ini sama halnya kondisi saat ini, menciptakan keresahan dan ketidaknyamanan. Ditambah lagi asap rokok yang tidak pernah berhenti seperti corong pabrik diujung sana.
Telinga pemuda itu masih tajam mendengarkan semua perbincangan di ruangan yang tak begitu luas, tapi lamunannya jauh kedepan. Jika hal ini akan terjadi, ada kemungkinan, kerusuhan, korban, dan penjarahan. Ah, apakah ia telalu jauh?
Terakhir Pak Petrus menyarankan untuk lebih berhati-hati lagi dan menggali informasi. Ia lihat jam tangannya masih pukul tiga sore. Masih cukup banyak waktu.
Maria mendekatinya, membisiki sesuatu. Ia mengiyakan dan segera keluar ruangan. Maria lebih muda darinya satu tahun, mahasiswa semester lima jurusan hukum.
Katanya ada orang-orang penting dikampus yang terlibat pada gerakan masa nantinya. Kebetulan Maria kenal cukup dekat denganya. Maria memang orang yang mudah bergaul dengan siapapun, tapi jangan harap lolos darinya jika terlibat konflik darinya.
Mereka berjalan melewati perkampungan di pinggiran Kota Jakarta. Motor mereka sejak awal sudah tidak bisa masuk, jadi mereka biarkan di mulut gang. Maria tahu banyak daerah sini, tempat di mana dia dan organisasi mahasiswanya berkumpul dan memiliki basecamp disini.
Seperti dugaan pemuda itu, mereka sedang berdikusi selayaknya kesibukan para aktivis sehari-hari. Beberapa mata tertuju padanya, seolah mereka sedang diawasi oleh intel yang siap menyergapnya.
Maria menjelaskan jika Joel adalah temannya bermain teater, lintas jurusan juga. Tanpa babibu Maria sudah tahu arah diskusi ini kemana.
“Ingatlah Joel, orang yang kau percayai belum tentu akan mempercayaimu. Orang yang kau yakini benar dan jujur, belum tentu dia tak akan menghianatimu.”
“Termasuk kau?”