Pita Merah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #2

Pucuk Merah

15 Januari 1998

Asu tenan.”

Joel kaget mendengar pisuhan Tomo. Ia sedang melihat berita di televisi ketika ia sedang makan siang di warung dekat kampusnya. Seisi warung langsung memandang ke arah Joel dan Tomo.

Kowe yo asu Tom. Semua orang diwarung melihat kita, bagaimana jika orang dipojok sana itu adalah seorang aparat yang menyamar alias intel.” Joel mendekatkan kepala pada Tomo dan berbisik.

Wes pokok asu. Negara gonjang-ganjing malah nambah utang.” Tomo menggerutu.

Tomo memang begitu, ceplas-ceplos. Pemuda asal Surabaya itu seolah tidak takut pada siapapun. Tindakan Presiden yang berhutang pada IMF (International Monetery Fund) atau Dana Moneter Internasional dengan nilai yang sangat fantastis, mengingat saat itu nilai rupiah sangat anjlok dan terjun bebas. Bahkan satu porsi pecel yang biasa kita beli tiga ribu rupiah menjadi enam ribu rupiah untuk satu porsinya. Tak lama setelah Presiden tanda tangan yang disaksikan Michel Camdessus selaku Direktur Pelaksana IMF saat itu, nilai rupiah jatuh menjadi Rp. 13.673 per dolar AS. Joel sepakat dengan Tomo. Asu tenan.

Suara Joel dan Tomo barangkali tak hanya mewakili isi kepala dan isi perutnya selaku mahasiswa perantauan. Tapi seluruh rakyat indonesia mengalami hal yang sama. Harga sembako kian melambung tinggi, para ibu-ibu tak lagi sanggup membeli susu bayi.

Bayang-bayang beberapa aktivis yang tiba-tiba menghilang barangkali telah masuk ke alam bawah sadar Joel sehingga ia tak ingin dirinya, Tomo, Maria, atau siapapun ditangkap aparat dan kemudian hilang.

“Kita bukan orang penting Joel, kita juga mahasiwa biasa. Tak apa jika berani dengan lantang bersuara.”

Dugaan Joel benar. Tomo menghilang dua hari setelahnya. Ia menduga daerah sekitar kampus, tempat makan, kost mahasiswa dan beberapa tempat umum lainnya banyak lalat-lalat yang mengintai.

Tomo bukanlah seorang mahasiswa yang layak dijuluki sebagai seorang aktivis. Tapi setiap kali aksi dia selalu hadir dan turun ke jalan bermodalkan suara ceplas-ceplosnya, menghina dan menghardik rezim ini.

Joel pertama kali mendapat berita Tomo hilang dari Gagas. Gagas adalah tetangga kost Tomo yang juga Joel kenal ketika sesekali ia mampir kesana. Kost Gagas berdekatan dengan Tomo dan kejadian penculikan Tomo itu tepat saat waktu shalat isyak. Gagas baru keluar kamarnya setelah ia menyelesaikan shalatnya. Tomo sempat berteriak meminta tolong. Penghuni kost banyak yang keluar kamarnya tapi karena si penculik berwajah seram dan berbadan kekar membuat nyali penghuni kost itu menciut, apalagi ancaman dari si penculik itu akan membunuhnya jika menghalangi langkahnya menyeret Tomo.

Maria menghubungi Joel dan meminta segera bertemu. Mereka bertemu di tempat yang rahasia kata Maria. Akhir-akhir ini dia lebih jarang bertemu Joel. Pada kesempatan ini pikir Joel mereka akan berdiskusi soal beberapa mahasiswa yang hilang diculik oleh orang tak dikenal.

“Pertama, kau pasti sudah tahu beberapa aktivis menghilang akhir-akhir ini, termasuk Mas Andi dan Tomo. Dan dari informasi yang kudapat, dua hari sebelum Tomo di culik kau sedang berdiskusi dengannya? Benar?” Maria seperti seorang aparat yang menginterogasiku, matanya tajam dan serius.

“Kau tahu darimana?” tanya Joel menyelidik.

“Teman di organisasiku memberitahuku soal itu.”

“Jadi organisasimu memiliki seorang mata-mata?”

“Tidak, ia hanya sekedar lewat saja. Dan memastikan bahwa kau baik-baik saja.”

“Aku….”

Belum genap Joel melanjutkan kalimatnya, bibir Maria sudah menyetuh bibir basah Joel. Seperti perahu dan dermaga yang bersatu. Dalam gelapnya sudut Jakarta, ada bunga yang merekah, entah ini musim apa.

Maria meminta maaf pada Joel. Joel juga bingung dan membalas maafnya. Ia salah tingkah. Tetapi kali ini dengan sepersekian detik perahu dan dermaga itu kembali bertemu dan merengkuh hingga hujan yang tiba-tiba mengguyur memisahkan mereka dan beranjak pergi. Maria memesan taksi. Joel pulang dengan Vespa tuanya.

Sepanjang jalan Maria tak berhenti tersenyum, pipi dan bibirnya memerah dan ia sedikit bertingkah di dalam mobil sampai si sopir taksi menengok kebelakang sembari tersenyum, seolah ia tahu apa yang sedang dirasakan Maria, “aku juga pernah muda” lalu kembali fokus menyetir mobilnya. Sedangkan Joel mengutuk dirinya sendiri, kenapa bisa sampai membalas ciuman Maria. Ia sudah berjanji pada ibunya untuk tidak akan melukai hati perempuan manapun, dan sejak saat itu ia pasti akan menjauhi semua perempuan yang meliriknya dan berdalih ‘belum waktunya.’

Joel adalah pemuda yang maskulin, berbadan tinggi tegap, memiliki hidung yang mancung dan bibir yang sangat menawan. Maka pantas saja Maria ingin mencumbuinya, dan entah apa yang dirasakan Joel, ia menjadi penasaran. Maria dan Joel memiliki hal yang sangat berbeda, Maria spontanitas sedang Joel selalu terencana dan rapi.

Tentang persoalan hati, Maria tak tahu banyak soal Joel. Ia tak pernah bercerita apakah memiliki kekasih atau tidak. Joel adalah misteri yang perlu dipecahkan oleh Maria. Sedangkan Maria adalah sumur yang melimpah tanpa ditimba, ia seperti mata air yang tanpa di gali pun akan mengalir dengan sendirinya.

Joel yang tak banyak bicara tapi memiliki bibir yang menawan, Maria yang berani, memiliki mata yang indah, dan lesung pipi yang menawan. Dan pada beberapa hal mereka seringkali berdebat soal makanan, soal puisi siapa yang lebih indah, Joel menganggap puisi terindahnya adalah milik Ricardo Fliecer Reyes Basoalto atau dikenal dengan Pablo Neruda, dengan puisinya ‘Soneta II’. Sedangkan Maria akan memilih si Pujangga dari Avon yaitu William Shakespeare si pemilik Romeo dan Juliet dan salah satu puisinya yang terkenal adalah ‘Sonnet 106’

When in the chronicle of wasted time

I see descriptions of the fairest wights,

And beauty making beautiful old rhyme

In Praise of ladies dead and lovely knights.

 

Then, in the blazon of sweet beauty's best,

Of hand, of foot, of lip, of eye, of brow,

I see their antique pen would have express'd

Even such a beauty as you master now.

 

So, all their praises are but prophecies

Lihat selengkapnya