13 Maret 1998
Beberapa hari ini kondisi terasa semakin mencengkam. Menjelang penetapan Presiden kedua yang bertahan sampai tujuh periode itu, banyak yang tak habis pikir, bahwa tepat tanggal 10 Maret 1998 ia kembali terpilih untuk melanjutkan tahta yang telah ia bangun selama puluhan tahun. Beberapa tembok dan fasilitas umum dicoret-coret sebagai warna penolakan. Kain-kain membentang di kanan-kiri bahu jalan menolak pemilihan tersebut.
Bayang-bayang penculikan aktivis masih saja menghantui mereka yang lantang menentang. Dalam masa perburuan, Robert sebagi ketua Mahasena dan rekan-rekannya harus berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Ia berkomunikasi dengan anggota Mahasena yang ada secara terbatas, melaui pager, telepon umum, atau surat yang diberikan pada kurir kepercayaannya.
Sore itu Robert menunggu kawannya di rumah susun Klender untuk membicarakan sesuatu yang penting. Ia sudah menempati rumah susun ini beberapa hari, dan belum genap satu minggu sebagai tempat persembunyiannya di Jakarta.
Kawannya tak kunjung tiba hingga maghrib tiba. Robert menyadari ada sesuatu yang aneh. Tidak seperti yang ia rencanakan. Dalam waktu yang singkat itu ia segera mengirim pager pada kurirnya. “Halaman 31, buku pada barisan ke-5.” Robert menulis surat yang tidak panjang pada secarik kertas yang ia sobek dari buku catatannya.
“Kawan-kawanku, aku tahu kita sedang berada dalam masa perburuan para lalat rezim ini. Satu persatu di antara kita diculik, disiksa, bahkan mungkin dihabisi. Tapi perjuangan ini tak akan lenyap dan berhenti begitu saja. Jika sampai aku pada titik hilang, dan tak lagi ditemukan, bawalah surat ini pada Maria. Dia bukan anggota inti kita, tapi aku yakin dia nanti akan mengungkap kebenarannya.
Kita semua menginginkan Indonesia yang lahir dari rahim demokrasi, bukan negeri yang diperkosa dan dinikmati para pejabat tinggi dan jajaran para menteri. Ingatlah apa yang dikatakan oleh Mas Hanung, hanya ada satu kata, LAWAN.”
Robert segera keluar dari rumah susunnya, menyeberang jalan dan menuju telepon umum. Ia menghubungi seseorang dengan perbincangan yang singkat. Kepalanya selalu menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti memastikan sesuatu. Dengan segera ia kembali ke rumah susunnya dan menikmati kopi panasnya. Di situasi apapun, bahkan genting sekalipun, robert tak pernah lepas dari kopi panasnya.
Tak lama setelah itu suara ketukan pintu tak lazim seperti orang bertamu. Pintu rumahnya di gedor oleh seseorang dengan keras. Robert diam mematung, tubuhnya sedikit gemetar, lalu ia teguk kopinya untuk menenangkan dirinya. Ia melihat ke arah jendela. Di luar ternyata ada mobil kijang hitam yang terparkir di ujung jalan. Berarti ia sedang di intai sedari tadi. Ah, setan.
Pintu itu di dobrak. Robert nampak sedang duduk menghadap meja sembari membaca buku. Dua orang berbadan kekar menghampirinya. Robert mendengar langkah kakinya yang bergitu kokoh, perpaduan sepatu bergerigi dengan lantai, seperti mengisyaratkan bahwa ia sedang dijemput oleh malaikat maut.
Robert menoleh kebelakang dan sepersekian detik, kepalanya di hantam oleh ganggang senjata. Ia jatuh tergeletak ke lantai dan bercak darah segar menetes di lantainya. Si kekar itu menendang Robert yang masih setengah sadar dan mencoba bangkit dari rasa pening kepalanya. Satu pukulan lagi menyasar pada uluh hatinya dan ia tak sadarkan diri. Si kekar segera menutup kepala robert dengan kain hitam yang berbau tengik seperti keset kamar mandi. Ia juga meludahi buku yang Robert baca dan menginjaknya. Robert diseret keluar dan menuju mobil kijang hitam di ujung jalan.
***
Ruangan itu pengap, seperti ruangan bawah tanah. Tak ada jendela. Seluruh dinding hanya berisi tembok beton yang kokoh. Ada empat orang di dalam ruang tahanan itu, beberapa aktivis Mahasena. Mereka ditangkap secara bergilir dengan dalih ‘dalang’ dari pergerakan mahasiswa dan buruh, serta mengganggu keamanan.
Dari beberapa aksi demonstrasi di wilayah Jawa, dari Jawa Timur hingga ujung pulau jawa, kelompok Mahasena adalah inisiator untuk melakukan aksinya.
Empat orang yang mendekap dalam ruang bawah tanah itu adalah Robert, Mas Andi, Jajang, Seno. Penangkapan secara bergilir itu membuat Mahasena di luar seperti organisasi yang kehilangan arah. Pasalnya mereka yang ditangkap adalah bagian penting dari Mahasena.
“Hei komunis. Siapa yang menyuruhmu?” Oh, sebutan komunis. Sangat kental dengan nuansa Indonesia yang mencekam kala itu. Tapi apakah mereka yang memperjuangkan hak-hak mereka bersama para buruh dan petani selalu identik dengan Komunis?
Lelaki yang memakai penutup kepala itu memukul Robert hingga jatuh tersungkur ke tanah. Algojo itu kembali bertanya pada Robert dengan pertanyaan yang sama. Robert tetap diam. Wajah Robert waktu itu penuh dengan darah, hampir-hampir sukar untuk dikenali sesosok Robert yang dikenal tampan menawan. Rambutnya pun acak-acakan seperti akar pohon.
Seluruh badannya seperti remuk, puluhan pukulan, tendangan dari ujung kepala hingga kaki sudah ia terima. Darah segar yang sudah mengering di pipinya kembali basah oleh bibirnya yang pecah karena pukulan. Matanya juga membengkak karena lebam di hajar habis-habisan.
“Siapa yang mendanai kalian? Komunis China?” Pertanyaan interogator pada mereka hanya seputar itu-itu saja. Seperti aliran dana yang digunakan oleh Mahasena, tujuan mereka melakukan aksi, siapa dalangnya, apakah mereka akan melawan pemerintah, dan pertanyaan itu seperti kaset yang di ulang-ulang setiap hari. Sedangkan para algojo itu seperti robot yang hanya dapat menerima perintah.
Empat orang dalam ruangan bawah tanah itu setiap hari mendapatkan siksaan yang sangat menyakitkan. Saking seringnya mendapat siksaan, pukulan dan tendangan hanyalah hal yang biasa, karena yang paling menyakitkan adalah siksaan setrum dan tidur telanjang di atas balok es.
“Sebenarnya kalian mau apa dari kami? Bunuh saja kami wahai anjing-anjing rabies,” teriak Mas Andi setelah Robert mendapatkan siksaan dan di lempar kembali kedalam selnya. Sel tersebut hanya berisi empat rungan sempit saja, berderet. Mereka saling bisa mendengar dan berbicara, tapi tak bisa melihat satu sama lain.
Suara langkah kaki memasuki ruangan itu. Nampak orang yang berbeda dari para algojo dan interogator ruang bawah tanah itu menghampiri mereka. Ia nampak muda, berbadan tegap, berambut agak panjang. Ia datang tidak seperti akan menyiksa mereka. Justru dia membawa satu kantong yang berisi empat kotak makan untuk mereka.
Lelaki itu memberikan para tahanan bawah tanah itu masing-masing satu kotak nasi, minuman, bahkan menawarkan mereka rokok.
“Bagaimana rasanya mendekap disini kawan-kawan?”
“Kau siapa bajingan?” Robert menggerutu.
“Kalian tak perlu tahu aku. Bukan begitu Mas Andi? Kau adalah penggerak yang handal. Tapi sayang gerakan kalian mudah terbaca dan tertebak.”
Mas Andi hanya diam tak mengucapkan kata apapun. Memang benar yang lelaki itu ucapkan. Mas Andi selalu nampak di muka umum dan bekerja seperti biasa. Dia seorang informan yang selalu memberikan informasi penting untuk anggota Mahasena yang bergerak di bawah tanah.
“Kalian mau apa setelah ini? Mau membusuk disini atau hilang di telan laut?”
“Cuih. . . . Apa pedulimu dasar lalat aparat.” Jajang meradang.
“Segeralah buka mulut, siapa orang di balik gerakan kalian. Karena kalian tak akan lama lagi disini.” Lelaki itu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Empat tahanan itu menghardiknya dengan sumpah serapah, tapi lelaki tetap berjalan seperti orang tuli. Para algojo itu kembali menghampiri mereka dan melanjutkan siksaan untuk para tahanan seperti sedang melakukan permainan yang mengasyikan. Oh, bukan permainan, tapi pekerjaan. Bukankah mereka di bayar untuk itu?
***
15 April 1998
Maria sibuk dengan kameranya. Ia memotret beberapa kali dan sesekali memperbaiki posisi ranselnya yang berisi beberapa perlengkapan P3K. Maria memang bukanlah mahasiswa kesehatan apalagi kedokteran, tapi soal pegobatan dasar ia cukup memahami hal tersebut. Pasalnya, Ibu dan Ayah Maria adalah seorang dokter yang cukup terkenal di salah satu rumah sakit di jakarta.
Sewaktu Maria masih SMA ia sudah dipersiapkan untuk meneruskan jejak orangtuanya sebagai seorang tenaga medis, dokter. Ayahnya memaksanya untuk mengikuti les ini-itu, belajar materi yang seabrek, dan segala hal penunjang agar Maria bisa masuk ke Fakultas Kedokteran di kampus paling tersohor di Indonesia. Almamater besar yang juga membesarkan Ayah dan Ibu Maria. Tapi ternyata hal tersebut membuat Maria bertambah stress dan memicu pertikaian keluarga. Maria berontak dan kabur dari rumahnya selama beberapa hari. Pulang ke Klaten, kerumah neneknya.
Mereka akhirnya paham sifat ketus Maria, sifat berontak Maria, dan apa yang ia inginkan. Pada satu momen, kedua orangtuanya mengajak Maria untuk bicara dari hati ke hati. Ia adalah anak semata wayangnya, jika mereka benar-benar kehilangan Maria. Maka gemerlapnya karir perkerjaan mereka, harta benda yang mereka miliki tak lebih berharga dari gadis cantiknya, Alleena Maria Martodjojo.