(Gelombang)
Puisi ini tak panjang,
Hanya suara kami yang lantang.
Tak apa kami ditendang,
Tak apa kami di lucuti, ditembaki, dipukuli layaknya binatang.
Awas saja, aksi ini kian hari – kian bergelombang,
Sampai bertemu titik terang.
12 Mei 1998
Siang itu aksi damai dilakukan di Universitas Trisakti. Ribuan mahasiswa akan memulai aksi damai ini dari Kampus hingga Gedung Nusantara. Semua civitas akademika Trisakti berkumpul, baik dari Mahasiswa, Dosen dan pejabat kampus maupun karyawan. Joel dan Maria juga hadir untuk melakukan liputan.
Massa menggelar mimbar bebas untuk berorasi. Mereka memulai dengan mengibarkan bendera merah putih setengah tiang, lalu menyanyikan lagu indonesia raya dan mengheningkan cipta. Gemuruh massa itu seperti paduan suara yang penuh hikmat dan ketakziman. Badan rasanya merinding dan bergetar mendengarnya.
Satu-persatu perwakilan masa berorasi, menuntut perubahan, menuntut reformasi, kestabilan ekonomi dari krisis berkepanjangan, dan penurunan Presiden dari jabatannya selama puluhan tahun. Massa mulai memanas di tengah teriknya panas matahari. Lalu tiba-tiba segerombolan aparat mendatangi mimbar bebas. Massa menyoraki aparat, “Huuuuu. . . .” suasana bertambah panas.
Massa melanjutkan aksi damainya dengan long march dari Trisakti menuju Gedung DPR/MPR, tetapi aparat sudah siap menghadang mereka dengan barikade dua lapis barisan yang lengkap dengan tameng dan tongkat pemukul.
Salah satu perwakilan dari Senat Mahasiswa mendatangi pimpinan aparat yang hadir disana untuk melakukan negosiasi. Massa yang masih menunggu lamanya negosiasi, seperti tidak sabar untuk terus maju menerjang. Beberapa elemen masyarakat juga mulai ikut bergabung dengan massa dari mahasiswa.
Gayung tak bersambut, aksi damai dengan long march tak diizinkan oleh aparat dengan dalih akan mengganggu ketertiban umum terutama arus lalu lintas sepanjang jalan Letjen S. Parman. Massa yang tak terima dengan hasil negosiasi itu tetap mendesak maju menerobos barikade aparat. Massa yang berjumlah banyak membuat aparat kuwalahan, sehingga tambahan personil aparat didatangkan sebanyak empat truk.
Massa kemudian dapat ditenangkan dan kembali duduk di jalan. Beberapa relawan mahasiswa membagikan air mineral karena memang terik yang menyengat membuat ubun-ubun mendidih, dan tenggorokan mulai mengering.
Aksi mimbar bebas kembali digelar sembari menunggu hasil negosiasi yang kedua kalinya. Tetapi hasil dari negosiasi kedua ini melahirkan kesepatakan untuk sama-sama mundur, baik dari pihak massa maupun aparat. Kasak-kusuk massa yang tidak terima dengan hasil itu kemudian ditenangkan oleh salah satu Dekan dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum Trisakti.
Hujan deras mengguyur, seolah tahu bahwa sebaiknya aksi ini mundur terlebih dahulu. Massa yang hampir seluruhnya adalah mahasiswa itu kemudian mulai mundur dan kembali masuk ke kampus. Semula berjalan dengan tertib, tetapi salah seorang dari massa kemudian berteriak-teriak dan meledek mahasiswa.
“Mahasiswa cupu. . . . penakut! Taik lu. . . .”
Sontak massa yang mendengar hal itu tercengang dan geram. Massa kemudian mengejar oknum tersebut yang lari ke dalam barisan aparat. Mahasiswa beranggapan bahwa oknum itu adalah kelompok aparat, atau penyusup yang mengacaukan aksi.
Suasana kembali tidak kondusif. Menwa dari Trisakti kemudian meredamkan mahasiswa yang kembali keluar dari kampus. Perwakilan dari Menwa dan bagian keaman kampus kemudian berdiskusi dan bernegosiasi agar aparat dari pihak kepolisian dan tentara mundur secara teratur, begitu juga mahasiswa.
Tapi lagi-lagi darah muda para mahasiswa itu kembali mendidih karena ada beberapa oknum di barisan aparat yang meledek dan menertawakan dengan imbuhan kata kotor,
“Mahasiswa anjing, pengecut!”
Sepersekian detik, jantung mahasiswa kembali dipompa lebih kencang dan hendak meledak. Aliran darah yang menuju semua jalur nadi tubuh melesat bagai kilat. Kaki mereka entah kenapa terasa jauh lebih kokoh dan berlari dengan berani menerjang barisan aparat. Kericuhan mulai tumpah meski sempat ditenangkan oleh pihak keamanan kampus.
Aparat mulai gencar menembaki mahasiswa dengan gas airmata. Joel dan Maria belajar dari beberapa aksi yang telah terjadi sebelumnya.
“Maria apakah kau aman?”
“Ya. Kau bagaimana Joel?” suara Maria dari HT yang Joel bawa.
“Tetap jaga jarak denganku ya, pastikan pandanganmu mampu menjangkauku, jika tidak memungkinkan maka carilah tempat aman. Selagi kau masih mengenakan tanda pengenal pers, pasti aman.”
Suasana semakin ricuh, mahasiswa lari berhamburan. Gas airmata yang pedih itu membuat massa saling bertubrukan dan berjatuhan saat masuk kedalam kampus.
Saat-saat genting itu tiba-tiba terdengar beberapa suara tembakan yang membabi buta mengarah pada mahasiswa. Joel tahu benar, itu suara tembakan dari senjata api. Ia berharap itu bukan peluru tajam, tapi sekalipun itu hanya peluru karet, sudah cukup ampuh untuk menjatuh orang dan membuatnya pingsan.
Beberapa aparat yang mengenakan rompi siap tempur dengan sepeda motor juga mengejar mahasiswa yang berlari ke arah gerbang kampus dan jembatan layang Grogol. Mahasiswa yang terkena tembakan peluru karet itu juga beberapa ada yang terkapar di pinggir jalan. Selain membantu mereka, Joel dan Maria juga mengabadikan moment menyakitkan tersebut.
Pada jarak dekat, baku hantam mahasiswa dengan aparat juga tak terelakkan. Dan korbannya adalah mahasiswa yang jatuh terkapar di atas jalan aspal. Aparat yang siaga juga membuat barisan tiap tembak, satu baris jongkok, dan baris kedua berdiri siap menembak. Lalu tembakan terarah itu menghujani kampus Trisakti.
“Maria, kau aman?”
Tak ada jawaban dari Maria. Joel kembali memekik.
“Maria, kau aman?”
Tak lama kemudian Maria menjawabnya.
“Aku aman dan berada di dalam kampus. Ada mahasiswa yang tertembak. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aparat keparat.”
Joel geram, dan mencengkeram HT nya dengan keras. Ia segera masuk kedalam kampus mencari Maria dan melihat korban.
Maghrib sudah berlalu. Matahari perlahan tak terlihat. Joel berhasil menemui Maria. Ambulan juga sudah datang, tiga korban yang mengalami luka tembak dipastikan telah meninggal dunia, dan satu korban segera dilarikan ke rumah sakit Sumber Waras yang berlokasi tak jauh dari kampus Trisakti.
Sekitar pukul satu dini hari Pandam Jaya dan Kapolda menggelar jumpa pers di Mapolda Metro Jaya atas kejadian itu, juga desakan dari mahasiswa, pejabat kampus dan anggota Komnas HAM juga juga turut hadir dalam konferensi itu.
Joel dan Maria juga menghadiri jumpa pers itu dengan kantuk yang tak tertahankan, matanya seperti lengket, tapi terus ia lawan. Bahkan dalam jumpa pers itu Pak Petrus ternyata juga hadir disana. Joel dan Maria segera menghampirinya. Tetapi Pak Petrus menyarakan mereka akan segera pulang terlebih dahulu.
Tepat pagi hari menjelang siang seluruh mahasiswa dan civitas akademika berkabung di Universitas Trisakti dari berbagai kalangan. Empat mahasiswa yang tewas dalam kerusuhan ini harus mendapatkan keadilan. Berbagai media juga turun tangan meliput aksi berkabung ini.
Mahasiswa yang lain juga mengantarkan jenazah mereka ke rumah duka hingga ke pemakaman. Gejolak amarah di luar makin berkobar setelah aksi mereka memakan korban. Berdera satu tiang sebagai tanda duka cita dikibarkan di Universitas Trisakti.
Media masa sudah ramai memberitakan kejadian ini, bahkan sudah sampai mancanegara dengan sangat cepat.
Tulisan dan foto hasil tangkapan Maria mendadak menjadi meledak. Dini hari Maria menulis dan segera mengirimkan beberapa foto dan video langsung kepada Pak Petrus. Dan mungkin saja Pak Petrus menyerahkan tulisan dan foto-foto Maria itu pada rekan media yang lain.
***
Matahari mulai tergelincir Joel dan Maria pergi melepas lelah dan mencari beberapa tempat makan. Rasa letih dan emosi yang terus terkuras membuatnya kelaparan setelah meliput aksi demonstrasi yang kian hari – kian sering dilakukan oleh para mahasiswa dan aktivis. Berhadapan dengan aparat tak lagi jadi masalah, bagi mereka menjadi satu kesatuan sebagaimana sapu lidi akan menjadi jauh lebih kuat dan siap menyapu bersih pemerintahan yang kotor dan darurat.
Suara keroncongan perut mereka berdua mengajaknya pergi ke Bakso Solo Pak Sabar yang tak begitu jauh. Ini adalah warung bakso yang menyajikan bakso berukuran jumbo satu kepalan tangan orang dewasa dan apabila dibelah, maka akan nampak isian daging dan lemak yang sungguh menggoda.
Kuah kaldu bakso Pak Sabar memang juaranya. Ritual Joel dan Maria jika ingin membedakan mana bakso yang enak dan biasa saja adalah mencicipi kaldu baksonya terlebih dahulu sebelum dicampur dengan apapun. Aroma kaldu yang pekat, kuah yang mengepul dan lemak dari tulang dan daging menyatu membuat mereka menjadi ngiler, meskipun masih duduk di meja makan menunggu pesanan baksonya datang.
“Puisimu bagus Maria.” Joel membuka suara.
“Kebetulan saja, Joel. Itu hanya gambaran kecil dari aksi mahasiswa akhir-akhir ini hingga kejadian kemarin itu. Kau yang jauh lebih pandai menulis puisi.”
Joel Menggeleng, “Tidak Maria. Aku serius dengan puisimu berjudul Gelombang itu.
Maria tersipu oleh pujian Joel. Satu potongan bakso ia masukkan kemulutnya dan mengunyahnya untuk menetralkan wajahnya yang memerah.
“Tapi kenapa kau namakan gelombang?” Joel kembali mengejar.
“Karena aksi mereka akan selalu datang dari berbagai penjuru, berbagai elemen. Bukankah seperti itu sifat gelombang? Satu gelombang disusul oleh gelombang yang lain.”
“Gelombang akan muncul ketika ada sumbernya. Jika sumber gelombang itu kecil ia hanya akan menjadi gelombang yang berujung buih saja. Tapi jika sumbernya adalah sesuatu yang besar atau bahkan sangat besar, bukan saja gelombang biasa, tapi gelombang itu akan menjadi tsunami, Maria.”
Maria terdiam mendengar Joel yang juga mulai filosofis. Tiba-tiba dari ujung mata Maria buliran suci itu jatuh. Oh, Maria dengan mata yang cantik itu menangis?
Joel yang melihatnya sontak bingung, apakah ia mengucapkan hal yang salah, atau menyakitinya. “Kau baik-baik saja Maria?”
“Ya, its okay Joel.”
Lelaki memang seperti itu, sudah tahu perempuannya menangis, tapi malah bertanya apakah baik-baik saja. Padahal yang dibutuhkan perempuan saat menangis adalah pelukan.
“Apakah kau kecipratan kuah baksomu yang pedas itu Maria?” Joel mencairkan suasana. Maria tertawa.
“Sejujurnya aku takut jika gelombang itu akan menjadi sebuah tsunami Joel. Meluluh lantakkan apa yang ada di depannya, dan kerusuhan itu tercetus.”
Joel menggenggam tangan Maria, “Aku akan selalu membersamaimu, Maria.”
***
Mobil Mercy keluaran terbaru itu melaju dengan kencang, membelah jalanan Jakarta. Tangannya memegang setir dengan bergetar. Kakinya juga bergetar sembari menancapkan gas dengan kecepatan penuh. Matanya basah oleh airmatanya, bahkan tak ia usap sama sekali sampai jatuh dari dagu manisnya.
Gadis itu sudah biasa mendengar berita kerusuhan, tapi kali ini wajahnya langsung pucat pasi dan seluruh tubuhnya bergetar setelah mendapatkan telepon beberapa menit lalu.