Perempuan itu sedang sibuk mencari taksi untuk membawanya pergi ke hotel di jalan Kuningan. Ia sudah berdiri sekitar tiga puluh menit, dan tak ada taksi yang lewat, atau setidaknya angkutan umum yang bisa segera membawanya pergi.
Sesekali ia melihat jam tangannya, memastikan bahwa kalau pun ia telat, tidak harus terlalu lama setelah acaranya dibuka.
Ia melambai saat ada taksi yang lewat. Tapi diabaikan oleh taksi berwarna biru tersebut. Ia melambai lagi saat taksi yang lain lewat. Syukur, taksi itu berhenti. Taksi itu menepi dan si sopir membuka jendela kacanya di sebelah kiri.
“Maaf Bu, saya tidak berani membawa kesana. Situasi sedang memanas, dan ada kerusuhan dibeberapa titik.”
Perempuan itu bergumam dalam hati, “Sial!!”
Tanpa pikir panjang, perempuan itu memilih untuk berjalan menuju hotel. Perempuan dengan celana jeans dan balutan outer tak terkancing itu berjalan di tepi jalanan hingga sampai pada hotel tempat ia akan menghadiri pameran seni rupa.
Di tangan kanannya ia menenteng satu buah lukisan yang ia bawa sejak tadi. Untungnya tidak terlalu besar, jadi tidak membuatnya terlalu berat menentengnya.
“Oh, Lisa. . .” seorang perempuan yang terlihat sudah berkepala tiga datang memeluk perempuan itu.
“Maaf, aku terlambat. Aku harus berjalan kaki kesini,” keluhnya setelah memasuki ball room hotel.
Hotel itu nampak ramai, beberapa orang berduyun-duyun pergi ke hotel tersebut. Lisa sudah memperhatikan sejak di lobby hotel.
Seorang perempuan dengan rambut terikat, memakai celana jeans dan kaus polos menepuk Lisa.
“Syukur, beberapa karyamu sudah ada yang terjual tadi. Dengan harga yang sesuai kau minta, ia membelinya tanpa menawar.”
Lisa tersenyum dan memeluk mereka, setidaknya ada yang menggantikan lelahnya ia berjalan kaki dengan menenteng satu bingkai kanvas berukuran 30 cm persegi.
“Bagaimana dengan yang lain?” tanya Lisa.
“Setidaknya semua rekan-rekan disini sudah melihat karya-karya mereka telah ada peminatnya. Sudah terjual beberapa. Dan jika itu terjual lebih banyak, kita punya cukup tabungan untuk pergi ke Roma.”
Oh, Roma. Terdengar begitu menggairahkan. Malam itu mereka berandai-andai akan segera pergi ke Roma untuk melakukan pameran seni rupa. Tujuan mereka mengadakan pameran seni rupa di hotel itu agar menambah tabungan mereka untuk berangkat ke Roma. Mereka menjual beberapa karya lama mereka, seperti lukisan dengan beragam corak dan minat, juga patung-patung yang sangat estetik.
Tak lama setelah mereka berandai dengan keharuman dan kehangatan Roma, isu penjarahan dan pemerkosaan itu terdengar sampai ke telinga mereka.
“Jadi beberapa orang berdatangan ke Hotel ini untuk mencari perlindungan?”
“Betul, sahabatku yang bergulat sebagai pekerja kemanusiaan di Yayasan Eleena Mitra baru saja meneleponku. Beberapa titik di Jakarta sedang terjadi kerusuhan, penjarahan, pembakaran dan yang paling memilukan hati adalah pemerkosaan massal,” jelas seorang ibu-ibu paruh baya yang berusia sekitar lima puluhan. Matanya sudah basah sejak tadi, nampak dengan jelas pula guratan sudut matanya yang menandakan usia senjanya.
Lisa, seniman paling muda itu pun tersadar, kenapa dia susah mencari taksi dan apa yang disampaikan oleh sopir taksi tadi, juga hotel yang nampak lebih ramai dari biasanya. Kenapa ia baru sadar mendengar hal itu? Memang ia tak cukup peduli dengan situasi dan kondisi politik. Ia terlalu sibuk menikmati karya lukisnya. Tapi berita pemerkosaan itu setidaknya kembali membuatnya merenung, kenapa dan mengapa perempuan harus menjadi korban? Ah, sial.
***
Jakarta Barat:
Angke
Gedung itu nampak mewah dan megah dibalut dengan nuansa oriental, merah dan kuning ke-emasan. Pesta digelar cukup besar yang akan di hadiri sekitar lima ratus orang, beberapa vendor nampak sibuk mempersiapkan acara pesta besok siang.
Sementara itu di sebuah bilik kamar, seorang gadis dengan gaun merah sedang tersenyum menghadap jendela. Ia baru saja mandi dengan campuran air jeruk lalu mengenakan pakaian dan sandal baru.
Seorang gadis muda membantunya menyisir rambutnya yang hitam legam, lembut dan lurus itu. Dari mulutnya yang indah itu tak lupa keluar kata-kata doa yang ia aminkan dalam dada.
“Semoga sisiran pertama memberi anda pasangan persatuan yang tahan lama.” Gadis dengan bibir menawan itu menyisir rambut calon pengatin dengan lembut, dari pangkal rambut hingga ujung rambut.
“Semoga sisiran kedua memberi anda dan pasangan anda sebuah persatuan yang harmonis nun damai,
“Semoga sisiran ketiga memberi anda dan pasangan anda dengan banyak anak keturunan,
“Semoga sisiran keempat memberi anda dan pasangan anda hidup penuh kemakmuran, serta umur yang panjang.”
Ritual atau tradisi menyisir rambut masih dilakukan oleh beberapa keluarga keturunan etnis Tionghoa, biasanya mereka yang masih memegang erat tradisi ini, yang biasa dilakukan oleh kedua calon pengantin sehari sebelum pesta pernikahannya.