Pita Merah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #7

Noktah Merah II

Sejak terjadinya penembakan mahasiswa trisakti, mahasiswa kian menunjukkan taringnya, bahkan beberapa tokoh oposisi pada pemerintahan ini juga turun berbelasungkawa di Universitas Trisakti, seperti putri Presiden Soekarno, Amien Rais, Ali Sadikin, Adnan Buyung Nasution, bahkan datang pula seorang sastrawan, Rendra.

Aksi demonstransi kian hari semakin merebak. Mahasiswa dari berbagai penjuru melakukan aksi di kota mereka masing-masing, dan puncak dari aksi mereka adalah pendudukan di Gedung DPR/MPR dari semua mahasiswa indonesia.

“Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah

Bertanah air satu,

Tanah air tanpa penindasan.

Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah,

Berbangsa satu,

Bangsa yang gandrung akan keadilan.

Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah,

Berbahasa satu,

Bahasa tanpa kebohongan.”

Sumpah itu dipimpin oleh salah satu mahasiswa yang sedang berorasi, lalu diikuti oleh ribuan mahasiswa. Sumpah itu diucapkan dengan lantang, dan mendengarnya membuat tubuh ini bergetar. Ah, merinding rasanya.

Tapi jauh sebelum sumpah mahasiswa ini diikrarkan oleh para mahasiswa dalam setiap aksinya, sepuluh tahun sebelumnya, saat peringatan hari Sumpah Pemuda, tepatnya di Gedung Litbang Fisipol Universitas Gadjah Mada 29 Oktober 1988 telah diikrarkan dengan lantang pada saat ia berorasi. Sumpah mahasiswa itu merupakan penggalan akhir dari naskah orasi berjudul, “Menghadang si Pemerkosa” oleh seorang mahasiswa bernama Afnan Malay, namun beberapa penggal kata sudah mengalami penggubahan.

Mimbar bebas dibuka di depan gedung DPR/MPR, ribuan mahasiswa sangat berantusias. Mereka tak kenal lelah, tak kenal hari. Tujuan mereka sama dan satu, Reformasi!

“Reformasi!”

“Reformasi!”

“Reformasi!”

“Reformasi atau Mati!”

“Soeharto, turun sekarang juga!”

Tak lama mimbar bebas di gelar di depan gedung, massa akhirnya mampu menduduki gedung DPR/MPR. Benar-benar menduduki, menduduki atap gedung dengan duduk dan berdiri mengibarkan bendera merah putih.

Puluhan kain membentang dengan beragam tulisan untuk segera menurunkan presiden dari jabatannya,

“To, To! Katanya berjiwa besar, kok belum turun juga?”

“Kami butuh Reformasi. Reformasi Sekarang juga!”

***

“Di tengah hiruk pikuknya ribuan mahasiswa itu, mungkin mereka sedang tidak menyadari apa yang kita lakukan, Maria.”

“Ya, kau benar Joel. Tak apa mereka memperjuangkan reformasi. Kita juga sedang berjuang.”

Mobil sedan itu lalu pergi menjauh dari pandangan gedung yang telah diduduki mahasiswa. Ribuan mahasiswa itu benar-benar telah membulatkan tekad. Bahkan mereka rela bermalam disana.

Telepon rumah berdering, Maria bergegas mengangkatnya.

“Berhentilah, dan jangan sok jadi pahlawan, atau kau akan bernasib sama!!”

Tangan Maria bergetar, ia letakkan ganggang teleponnya cukup keras. Joel terkejut.

“Ada apa Maria?”

“Seseorang baru saja menerorku. Dia menyuruhku berhenti dan tidak sok pahlawan, atau aku akan bernasib sama dengan mereka.”

“Maksudmu? Bernasib sama dengan korban pemerkosaan dan siksaan seperti Li dan kakaknya?” selidik Joel.

Maria menangguk.

“Coba kita sampaikan ini pada Bu Nadia.” Joel berinisiatif, dan segera menyampaikan hal ini padanya.

Setelah mengkorfirmasi pada Nadia, ternyata seperti yang Joel bayangkan. Nadia juga mendapatkan ancaman.

“Joel, sepertinya kita sudah disorot oleh mereka yang menjadi dalang dari kerusuhan ini. Sial!” Maria mendengus.

Joel dan Maria yang berada di ruang tamu tiba-tiba dikejutkan dengan suara pecahan kaca yang keras. Mereka segera berlari ke sumber suara.

Ternyata kakak Li sedang mengamuk, ia membanting gelas dan piring saat Li sedang menyuapi kakaknya. Wajah Melly nampak pucat, kelopak matanya mulai menghitam, dan rambutnya acak-acakan.

Setiap hari, siang dan malam ia menangis, marah, ketakutan dan menggigil. Maria, Joel dan Nadia hanya berani menduga, ini adalah efek samping dari kejadian yang mengiris hati itu. Kakak Li sepertinya sangat terpukul secara batin dan psikisnya.

Joel dan Maria memperhatikan Li yang memeluk kakaknya dengan erat. Mereka berdua menangis. Melly duduk bersandar di atas ranjang, Li memeluknya dari samping.

Maria mendekat, “Melly, ada kami disini. Aku akan selalu menjagamu.”

“Tidak! Pergilah, pergi dari sini!”

Joel memberi isyarat pada Maria, lebih baik keluar. Melly mungkin masih belum begitu percaya pada semua orang, kecuali adiknya.

“Mengembalikan kesehatan psikis tak semudah itu Maria. Dia mungkin sangat terpukul, sangat sakit dan aku tak bisa berkata apa-apa lagi.”

“Ayahku juga memberikan obat penenang untuk Melly, jadi perlu kupastikan dia harus meminumnya.”

“Ohya Maria, mungkin lebih baik kita juga menyampaikan hal ini pada Bu Nadia. Menurutku, dia jauh lebih tahu tindakan apa yang perlu dilakukan untuk Li dan Melly.”

Maria dan Joel meluncur ke kantor Yayasan Eleena Mitra yang menjadi basecamp Masyarakat Anti Kekerasan pada Perempuan.

“Maria, Joel, untuk saat ini setidaknya Li dan kakaknya lebih baik tetap berdiam di rumahmu, itu jauh lebih aman. Kami disini juga silih berganti menerima laporan dari saksi dan korban. Ohya kenalkan, ini Romo Joseph.”

Joel dan Maria mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Romo Joseph dan memberikan hormat padanya selaku tokoh agama.

“Kami sudah mendengar beberapa informasi tentang kalian dan korban yang kalian selamatkan. Terimakasih, semoga Tuhan memberkati kalian.”

Joel dan Maria mengaminkan doa Romo Joseph. Mereka berdua juga sempat bertanya-beberapa hal terkait kejadian ini menurut sudut pandang agama. Apakah hal ini termasuk tidakan yang tidak diampuni dosanya? Dan apakah korban yang meninggal dunia akan masuk surga? Oh, itu pertanyaan yang tak mampu dijawab oleh Romo Joseph.

“Hanya Tuhan yang Maha Adil dan Bijaksana, anakku.”

***

21 Mei 1998

Ribuan massa masih menduduki gedung DPR/MPR. Hari ini Presiden Soeharto berjanji akan mendeklarasikan diri di Istana Negara untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

“Jalanan sangat padat Joel. Apakah kita bisa menembusnya?”

“Entahlah Maria. Semoga kita bisa segera sampai ke Bandara.”

Joel dan Maria segera bergegas membawa Li dan Melly ke Bandara, mereka akan diterbangkan ke Australia hari itu juga. Kemarin malam rumah Maria mendapatkan teror, beberapa orang melempari rumahnya dengan batu, sehingga beberapa kaca rumahnya pecah.

Teror itu juga sampai pada orangtua Maria, mereka mendapatkan teror dari orang misterius yang mengancam jiwa keluarganya.

Beberapa hari lalu juga ada sebuah paket yang datang kerumahnya, ternyata setelah dibuka, paket itu berisi satu bilah pisau dengan bekas darah dan satu jari tengah yang terpotong.

Setelah berdiskusi dengan Nadia, orangtua Maria dan Li, mereka sepakat bahwa Li dan kakaknya akan diterbangkan ke Australia, sebagaimana permintaan terakhir orangtua mereka.

“Minggir. . . korban kecelakaan!!!”

Joel berteriak keluar jendela sembari membunyikan klakson mobilnya.

Li dan kakaknya diposisikan tidur dan Joel mengenakan mereka dengan cairan berwarna merah darah, nyaris sangat mirip dengan darah.

Joel menerima informasi bahwa tujuan ke Bandara sedang di hadang oleh beberapa orang. Jadi dia dan Maria membuat Li dan kakaknya seperti korban kecelakaan.

Rencana mereka berdua berhasil, dan mereka sampai di Bandara.

“Percayalah pada kami, kami akan selalu membantumu. Li, titip kakakmu,” pinta Maria.

“Li, jangan buka perban mata kakakmu sampai kalian sudah menginjakkan kaki di Australia. Di bandara, kalian ada di sambut oleh Audrey dan Cesa. Mereka akan membantumu untuk mencari kerabatmu disana. Dan satu hal lagi, aku dan Maria menuliskan beberapa hal penting di surat ini.” Joel menyerahkan satu amplop surat.

Maria memeluk Li dan kakaknya yang tak banyak bergerak maupun bersuara. Ia sudah meminum obat penenang, dan ia juga sudah yakin akan baik-baik saja selama bersama Li. Jadi Melly percaya padanya agar tidak membuka mata sama sekali kecuali sudah sampai di Sidney.

Joel dan Maria bergegas pulang. Ia memutar radio kota, dan alangkah terkejutnya mereka saat mendengar suara yang tak asing ditelinga mereka.

“Setelah dengan sungguh – sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998.”

“Joel, kita tidak sedang salah dengar kan?” Mata Maria nampak berkaca-kaca menatap Joel.

Joel menggeleng. Maria mengangkat tangannya dan langsung memeluk Joel beberapa kali.

“Kita merdeka Joel. Merdeka!! Hidup Reformasi!!” Maria terlihat sangat bahagia, dan semua lelah dan penat yang selama ini ia hadapi seolah sirna seketika.

Joel juga tersenyum lebar melihat Maria yang sedang bersuka cita.

“Maria. . .” Joel mengamati mata Maria dengan lamat-lamat

“Ya.”

“Ini adalah ciuman pertamaku padamu.” Joel lalu menyetuh dagu manis Maria. Dan mendekatkan kedua bibirnya pada bibir Maria, kenyal dan basah. Oh, ciuman di hari pertama reformasi, sekaligus ciuman pertama yang dimulai oleh Joel. Selama ini Maria yang terlebih dahulu menciumnya. Ah, ciuman adalah hal paling cepat dan mudah untuk menghasilkan hormon bahagia. Cinta tanpa ciuman adalah bunga tanpa keharumannya.

***

Ratusan mahasiswa sedang menonton siaran langsung di televisi dan bersorak sangat gembira saat Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran diri. Semua bersorak dan bertepuk tangan dari awal hingga akhir pidatonya.

“Merdeka!!!”

“Allahu Akbar!!!”

“Hidup Mahasiswa. Hidup Rakyat!!”

Lihat selengkapnya