“Maria, pesawat baru saja landing. Sepertinya ini pesawat dia.” Tomo sudah mengangkat kertas bertuliskan nama.
Maria melihat papan informasi digital. Tangan kanannya masih menggenggam segelas kopi yang usai ia beli di food court bandara.
“Benar ini pesawatnya, Tom.”
Penumpang sudah mulai sibuk mengambil beberapa barang mereka seperti koper, ransel dan barang bawaan lainnya. Nampak seorang gadis dengan rambut lurus sebahu. Mengenakan kaus hitam dengan pinggiran putih berukuran over size dan celana abu-abu yang juga model over size sedang menunggu kopernya.
“Li. . . Li. . .” teriak Maria ketika melihat gadis itu sudah keluar. Kedua tangan Maria ia lambaikan dengan setengah meloncat.
Gadis itu sepertinya mendengar dan mencari sumber suara. Ia melihat namanya tertulis pada satu lembar kertas yang di bawa Tomo.
“Oh Tuhan.” Li segera berlari ke arah Maria. Maria juga menghampirinya dengan setengah berlari.
Dua gadis itu berpelukan dengan sangat erat dan cukup lama. Maria dan Li saling memandang dan kembali berpelukan. Senyum mereka begitu lebar hingga nampak gigi berseri mereka.
Sejak Joel menghilang, Maria tak pernah terlihat sebahagia ini, senyum selebar ini, dan wajahnya yang kembali bersinar.
“Aku sangat merindukanmu, Li. Puji Tuhan, aku bisa melihatmu kembali.” Maria masih sangat exited.
“Aku juga sangat bersyukur bisa kembali ke kota ini lagi, Maria.”
Li lalu memandang ke arah lelaki yang membawa selembar kertas bertuliskan namanya.
“Maria, dia siapa?” bisik Li.
“Tom. Tomo namanya. Temanku dan teman Joel.”
“Aku tak melihat Joel. Apakah dia sedang sibuk?” akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Li. Maria sudah menebak pasti Li akan menanyakan Joel untuk pertama kalinya.
“Iya. Dia sedang sibuk Li. Nanti aku akan ceritakan padamu. Mari kita minum teh dulu. Aku punya tempat yang bagus. Kau pasti akan menyukainya.”
Maria mengajak Li ke Pancoeran Tea House. Sudah lama ia tidak menikmati teh itu disana. Semenjak Joel menghilang, Maria tidak lagi meminum teh, ia hanya meminum kopi dan anggur. Namun hadirnya Li membuatnya ingin menikmati teh, entah mengapa dia langsung ingin menikmati teh.
“Hati-hati, Tom.” Tomo gagal membalikkan cangkir dan tumpah. Maria tertawa kecil dan Tomo juga sedikit gugup sembari tertawa.
Li juga sudah lama tidak menikmati teh dengan cara tradisional china, terakhir yang ia ingat adalah saat liburan akhir tahun tepatnya 3 tahun lalu bersama kakak dan orangtuanya.
“Li, kau memikirkan sesuatu?” Maria menebak.
“No, i didn’t think of anything.”
“Kau mau bermalam di rumahku?” tawar Maria.
“Sepertinya aku akan pulang kerumahku saja di Jakarta Utara.”
Maria meyakinkan, “Kau yakin?”
“Ya, aku juga sudah pastikan keamanannya. Ada dua security dan satu asisten rumah tangga. Mereka dulu juga bekerja pada orangtuaku di rumah sebelumnya.”
Maria menggangguk.
“Maria, apakah Joel akan kesini?”
Oh, tidak. Pertanyaan yang berat ini akhirnya keluar. Maria sudah menduga pasti pertanyaan kedua ini akan ditanyakan oleh Li.
Maria mengatur posisi duduknya. “Li, entah aku harus cerita darimana untuk menjelaskan ini padamu. Joel menghilang.”
Suasana tiba-tiba berubah. Waktu seolah berhenti dan menyisakan suara detak jantung mereka.
Mendengar hal itu, tak ada kalimat yang keluar dari mulut Li. Justru airmata yang keluar dari sudut matanya.
“Aku sudah menduganya, Maria. Dia selalu berdua denganmu, dan tak mungkin akan melepaskanmu. Tapi kali ini kau tak bersamanya, berarti ada yang terjadi dan kecemasanku terjawab. Jauh sebelum Ibu Nadia menawariku kembali ke Jakarta, tepatnya sewaktu lengsernya Presiden hari itu, di malam hari aku seolah melihat Joel sedang duduk di rooftop lantai 12. Sedangkan aku berdiri mematung di jendela sembari mendengarkan siaran berita turunnya Presiden dari jabatannya. Padahal itu juga hari pertamaku disana.”
Suasana hening. Maria menguatkan bibirnya yang enggan untuk mengulang cerita tentang hilangnya Joel.
“Li, kau benar. Aku belum cerita apapun padamu, tapi kau sudah tahu dan merasakannya.” Airmata Maria akhirnya tumpah juga setelah lama tertahan.
Suasana kembali hening sesaat. Mereka mencoba mengatur nafas dan menenangkan dirinya.
“Aku dan relawan di komisi orang hilang sejauh ini masih berupaya untuk mencari keberadaan Joel dan aktivis lainnya yang hilang tanpa jejak. Petunjuk terakhir yang berhasil kami dapatkan adalah mobil yang membawa Joel terlihat di Banyuwangi.” Tomo mencoba menenangkan dan mulai membuka suara. Sedari tadi ia mencoba untuk tidak mengganggu Maria dan Li yang sedang bercengkrama.
“Informasi tentang orangtua atau kerabat Joel juga tidak ditemukan. Bahkan kami sudah mendatangi sebuah daerah di pelosok desa sesuai dengan alamat Joel di kartu keluarganya, tapi juga tak membuahkan hasil. Tak ada yang mengenal Joel ataupun orangtuanya. Satu-satunya hal yang pasti tentang Joel adalah rumah susunnya.” Imbuh Tomo.
Mendengar penjelasan Tomo, Li tertarik untuk mengunjungi rumah susun Joel. Maria selalu membawa kuncinya, dan kamarnya juga sudah Maria rapikan seperti sedia kala.
Mereka akhirnya pergi kesana dan Li memutuskan untuk bermalam di rumah susun Joel. Maria khawatir jika Li sendirian, kemudian ia berniat untuk bermalam juga disana. Pertemuan dengan Nadia dan Prof Sari bisa ia lakukan besok siang. Malam ini mereka ingin semalam lebih dekat dengan Joel, memutar turntable dan koleksi vinyl atau kaset piringan Joel, atau juga walkman yang pernah ia beli bersama Maria dan segelas anggur yang ada di kulkas Joel.
***
Tomo sedang menyiapkan beberapa materi untuk presentasi, dia membantu Pak Usman yang menjadi ketua TGPF untuk menyusun berkas. Setelah bersiap mereka segera bergegas menuju ruangan untuk rapat secara tertutup. Hanya tim inti saja yang hadir untuk membahas hal ini.
“Berdasarkan investigasi di lapangan, kami olah data sedemikian rupa, memverifikasi, mengadakan wawancara, pertemuan-pertemuan konsultatif, kunjungan secara langsung, menyusun ulang gambaran alur peristiwa, menyimpulkan temuan-temuan dan menyusun rekomendasi kebijakan dan kelembagaan, maka terkait kerusuhan Mei ini ada banyak faktor pemicu atau trigger, pertama soal suasana politik yang memanas. Kedua, krisis moneter, dan ketiga jatuhnya korban dalam demonstrasi dan penculikan para aktivis.
“Dalam peristiwa kerusuhan ini, kami membagi pelaku kerusuhan menjadi tiga bagian; kelompok provokator, massa aktif dan massa pasif. Kelompok provokator menggerakkan dengan memancing keributan seperti perusakan awal, pembakaran dan memotivasi untuk melakukan penjarahan. Massa aktif, mulanya mereka hanya pasif, tapi karena dampak provokatif, akhirnya mereka menjadi agresif. Sedangkan massa pasif, hanya diam menonton atau sesekali ikut-ikutan saja.
“Tapi diluar dari tiga pengelompokkan pelaku itu, ada yang jauh lebih berbahaya, yaitu dalang dari semua kerusuhan itu. Kami rasa ada unsur politik dan perencanaan yang sangat matang.” Pak Usman menuturkan.
Nadia yang juga hadir dalam rapat itu mengangkat tangan.
“Saya sepakat dengan apa yang disampaikan Pak Usman. Ada indikasi unsur kesengajaan dalam kerusuhan ini. Perusakan, penjarahan, hingga pemerkosaan terkesan sangat terorganisir, baik dalam skala lokal yaitu Jakarta dan sekitarnya, atau dalam skala Nasional yaitu di Solo, Surabaya, Medan dan tempat-tempat lainnya.”
“Berdasarkan kacamata psikososial, kerusuhan itu tidak bisa dikatakan secara murni spontanitas. Jika kita lihat pola kerusuhan, benar yang disampaikan Pak Usman, terdapat tiga pelaku itu yang kemudian menjalankan aksinya secara sistematis dan terorganisir. Kita tak bisa menjawab bagaimana kebetulan itu (coincidence) harus dijelaskan oleh fakta keluasan lingkup kerusuhan seluas wilayah Jakarta? Lalu dengan waktu yang sama dan serentak (simulacrum), dan para provokator itu menghilang setelah massa aktif dan massa pasif mulai menjarah, membakar dan memperkosa.” Jelas Pak Joko seorang aktivis HAM dan pengamat politik.