Pita Merah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #9

Rona Merah

Mobil itu langsung mendadak berhenti. Beberapa orang membunyikan klakson dengan cukup keras dan mencercanya, “Woi, pake mata dong. Berhenti sembarangan. Anjing lo.”

Maria tak menghiraukan mereka semua.

“Kenapa kau baru menyampaikan ini padaku Tom. Ini sudah seminggu sejak kau mendapatkan pentunjuk itu. Keluarlah dari mobilku sekarang. Keluarlah, Tom. Sekarang!” Maria berteriak sembari menangis.

Tomo mengerti dan meminta maaf padanya tapi tetap saja Maria bersikukuh. Dia mendorong Tomo untuk keluar dari mobilnya dan Maria mengambil kemudi.

Maria bergegas menuju rumah susun Joel. Pasti disana ada Li, entah sedang mendengarkan lagu, membaca atau menulis.

Maria mengetuk pintu kamar Joel dan langsung memeluk Li dengan sangat erat. Li yang berdiri mematung bingung dengan sikap Maria yang langsung memeluknya dan menagis di hadapannya.

“Ini adalah baju Joel. Aku yang membelikannya sewaktu kita berlibur ke Bromo dan bermalam disana. Aku sangat ingat malam itu.”

Lamunan Maria menerobos ruang dan waktu. Siang itu mereka sudah sudah menyiapkan beberapa barang bawaan. Joel membawa satu buah mobil jeep berwarna biru muda.

“Kau sangat cocok dan gagah membawa mobil itu, Joel.”

“Kau menyukainya Maria?”

“Tidak, tapi aku menyukaimu, Joel.”

Joel langsung meraih tubuh Maria, memeluknya dan mencumbunya di samping mobil.

Seseorang berdeham, “Sudah panaskah mobilnya?”

Seketika kemesraan mereka langsung buyar dan salah tingkah.

“Sudah om. Kami siap berangkat.” Joel memaksakan senyum nya dan melambaikan tangannya.

Maria setengah tertawa melihat perubahan wajah Joel dan tingkahnya.

“Sejak kapan Ayahmu melihat kita Maria?” Joel memastikan.

“Sudahlah, mereka berdua juga pernah muda.” Maria masih tertawa.

“Kurang ajar kau Maria.” Joel memasang muka antara kesal, malu, dan menahan tawa mengingat kejadian yang baru saja.

“Let’s go. . .” Maria berteriak. Joel mengecup kening Maria dan mobil jeep itu segera meninggalkan ibu kota.

Perjalanan kurang lebih memakan waktu lima belas jam. Joel berjalan santai dan sesekali berhenti untuk istirahat di pemberhentian terdekat.

“Kita sudah sampai Malang. Sebentar lagi kita sampai.” Joel menarik hand rem.

Maria menggeliat usai bangun tidur.

“Kita makan bakso Malang dulu ya. Katanya ini yang paling enak dan wajib di kunjungi kalau mampir di Malang.”

Benar saja, Maria menyantap dengan lahap. Joel memperhatikannya dengan tersenyum.

“Kau sampaikan pada Ayah Ibumu jika kita pergi berempat dengan temanmu yang lain?”

“Ya,” jawab maria dengan santai sembari menyeruput mie bihun dan kuah baksonya.

“Gila, kau Maria.”

“Tapi aku sudah berbisik pada ibuku, jika aku ingin pergi berdua denganmu. Percayalah, mereka pernah muda dan pernah nakal sepertiku. Setidaknya jangan sampai kelewat batas. Itu yang ditekankan ibuku.”

Udara kota Malang juga cukup dingin, meski hanya singgah, mereka ingin suatu saat nanti berkunjung ke kota Malang dan Batu jauh lebih lama.

Mobil itu sudah memasuki sebuah gapura yang bertuliskan Kawasan Bromo Tengger Semeru. Udara kian terasa dingin menusuk tulang. Syukurlah Joel sudah menyiapkan jaket tebal dan penutup kepala untuk mereka berdua.

Lihat selengkapnya