Pita Merah

Miftachul W. Abdullah
Chapter #10

Pita Merah

Pintu terketuk pelan beberapa kali, gadis itu segera beranjak dari kursi belajarnya, tangannya tak sabar meraih daun pintu.

“Ini pasti Maria,” pikirnya.

Tapi saat ia membuka pintu, langsung saja tanpa sepatah kata apapun, seorang pria berbadan besar langsung menghujami perut gadis itu dengan beberapa tusukan.

“Bagaimana manis. Kau sudah melihat malaikat pencabut nyawa menghampirimu?” pria berbadan besar membisiki Li, tangannya masih berada di perut Li dengan pisau yang menancap. Lalu ia tarik dengan kencang dan menjilat darah segar Li.

Li mundur beberapa langkah dan langsung terjatuh. Kedua tangannya memegangi luka tusukan di perutnya yang terus mengalirkan darah.

Pria itu perlahan mendekati Li yang semakin tersudut hingga punggungnya menyentuh pada sebuah lemari kaca di ujung kamar.

Li berteriak meminta tolong tapi tak ada seorang pun yang bergegas menghampirinya. Ia melempari pria itu dengan meraih beberapa barang yang dekat dengan meja belajarnya.

Darah terus mengucur deras dari bekas tusukan di perutnya. Wajahnya mulai pucat karena pendarahan yang hebat. Tubuh Li menjadi lebih dingin dan membuatnya setengah sadar.

Pria berbadan besar dan memakai penutup kepala itu lalu membopong Li ke atas kasur. Li yang setengah sadar dan menahan rasa sakit itu berharap agar malaikat maut lebih cepat menghampirinya.

Tangan pria itu meraih penutup mukanya dari ujung dagunya dan langsung membuangnya ke lantai. Li dengan keadaan setengah sadar masih dapat melihat wajah pria itu yang penuh dengan luka jahitan dan sebagian rusak.

“Kau masih ingat denganku jalang?” pria itu tertawa puas di hadapan Li.

“Aku yang menggagahi kakakmu dan hampir saja menggagahimu waktu itu, andai saja anjing keparat itu tidak menyelamatkanmu dan menghajarku.”

Li sangat terkejut dengan ucapan pria itu. Ternyata ia adalah pria yang pernah memperkosa kakaknya dan hampir saja memperkosanya. Saat itu Joel datang dan langsung menghajar mereka.

Airmata dari sudut mata Li mengalir, begitu hangat mengenai pipinya yang lembut seperti tulip di pagi hari.

“Joel. . . akan. . . membunuhmu berkali-kali!” ucap Li dengan terbata-bata.

Pria itu tak menggubris, ia masih tertawa terbahak-bahak. Ia begitu puas seperti menemukan hewan buruan.

Pandangan Li mulai kabur, matanya seolah dipenuhi oleh air mata. Ia seperti sedang tenggelam dalam sebuah kolam, sekilas ia melihat mamanya, lalu ia juga melihat papanya. Mereka sedang duduk di sebuah tepi pantai, lalu menoleh ke arahnya. Li melihatnya dengan tersenyum dan menangis. Li begitu rindu dengannya, ia juga ingin bercerita pada mereka tentang apa yang sudah ia dan kakaknya alami. Li berlari ke arah mereka.

“Oh Bunda Maria yang suci nan agung, yang melahirkan Isa al-Masih. Seorang perawan suci yang tabah meski dicaci. Di ujung tanduk kematianku. Jangan biarkan aku melihat serigala ini menjamah dan mencabik-cabik tubuhku saat nafasku masih berhembus. Wahai Tuhan yang maha melihat, maha menjaga, dan maha mendengar. Lihatlah, jagalah dan dengarlah hamba-Mu yang lemah dan hina dina ini. Sungguh tiada daya dan upaya selain daripada-Mu. Aku berlidung dari segala kejahatan dan keburukan makhluk-Mu. Rengkuhlah aku, dan jangan biarkan tubuhku tersentuh oleh binatang buas lagi najis dihadapanku.” Pinta Li di dalam hatinya.

Airmatanya kembali jatuh. Lalu ia melihat sesosok Joel berteriak memanggilnya dan berlari ke arahnya yang berjalan sempoyongan. Joel berlari dari arah pantai. Kakinya diselubungi oleh pasir putih dan ia lihat rambut Joel sudah jauh lebih panjang dari sebelumnya. Ia berharap kali ini Joel akan memeluknya, ia sangat ingin memeluk Joel, sebagaimana Maria yang memeluknya.

Namun lamunan Li itu mendadak hilang dan kabur saat ia tiba-tiba melihat bayangan seperti awan hitam berputar-putar di atasnya, dagu dan matanya itu terangkat mengikuti arah awan hitam itu. Nafasnya menjadi sesak dan tersengal. Awan hitam itu berada tepat di atasnya, dan nafas yang tersengal itu akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir. Hitam, gelap, pekat dan menjadi putih. Mata Li terpejam, jantungnya berhenti berdetak, darah berhenti mengalir, otak tak bekerja dan sekujur tubuhnya menjadi dingin.

Pria itu dengan sigap merobek rok pendek Li. Tanpa pikir panjang ia langsung menggagahi Li yang telah terbujur diam di hadapannya. Pria itu menampar Li berkali-kali, tapi tak ada respon darinya sama sekali. Ia masih asik menggagahi tubuh indah Li yang masih berlumuran darah.

Saat ia sudah puas memenuhi nafsu binatangnya, lalu ia mengecek nadi Li. Ia tersadar jika Li ternyata sudah tidak bernyawa. Ia kecewa dengan kematian Li. Ia masih ingin bermain-main dan menyiksanya lebih lama lagi. Membalaskan dendam atas perlakuan Joel padanya beberapa bulan lalu.

Pria itu kesal dan ia melihat tongkat di ujung kamar Joel, ia lalu memotongnya dan memasukkan tongkat itu kedalam kemaluan Li. Tak sampai disitu, pria itu lalu menggorok leher Li dengan cukup lebar dan hampir terputus, lalu ia bergegas pergi meninggalkannya.

***

Para perempuan itu sudah sampai di Roma, Vatikan. Mereka akan mengikuti pameran seni rupa internasional yang diselenggarakan di sana. Kebetulan acara itu masih di bulan oktober, tepatnya pertengahan oktober. Masyarakat setempat akan selalu mengenang dan mengistimewakan bulan itu.

Oktober adalah bulan Maria, dimana kala itu para pengikut Katolik berdoa seharian pada Bunda Maria dengan mendendangkan Rosario, tatkala kerajaan Ottoman menyerang Vatikan.

“Lisa bergegaslah.”

Lisa berlari mengejar langkah para perempuan yang tergolong sudah paruh baya itu tapi memiliki semangat yang sangat tinggi untuk mensukseskan pameran seni rupa bertemakan, “Women in the Realm of Spirituality, 16 Indonesian Women Artists.”

16 perupa asal indonesia itu sebenarnya bukanlah seorang aktivis, bahkan julukan perupa baginya merupakan hal yang cukup besar dan berat. Adanya kerusuhan di bulan Mei terutama kekerasan seksual dan perkosaan itu mengubah segala jenis ekspresi dan presepsi mereka. Mulanya tema itu bernafaskan perempuan dan spiritualitas, tapi mendadak berubah ketika mendapati berbagai macam kerusuhan di pertengah Mei itu.

Namun ada sedikit kekhawatiran yang menurut mereka boleh jadi akan menjadi kendala. Pertama dari pihak Departemen Luar Negeri yang menghimbau para perupa agar isu kerusuhan Mei itu diredam dan tidak meluas hingga ke manca negara. Tetapi kekhawatiran itu nampaknya tak jadi masalah karena pihak Menlu menghimbau para perupa setelah berhasil mengikuti pameran.

Kedua, kekhawatiran mereka adalah pada lukisan Lisa yang menggambarkan seorang wanita yang nyaris telanjang.

“Ku harap lukisan ini tidak diminta dan disita sementara waktu oleh pihak panitia.” Wajah Lisa cukup terlihat cemas dan pasrah.

Kekhawatiran itu ternyata tidak menjadi masalah bagi panitia dan bagi mahasiswa Universitas Kepausan Gregoriana, calon pastor itu menangkap maksud dan makna yang disampaikan dalam lukisan itu.

Semua orang berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Vatikan membuka acara itu secara resmi.

Lihat selengkapnya