Philipina.
Bandara cukup padat, beberapa orang sibuk dengan ponselnya sembari menunggu keberangkatan, mendengarkan musik dari walkman atau mp3 player-nya, juga beberapa membaca buku atau hanya mencuri waktu sembari tidur beberapa menit.
Dua gadis itu berjalan dengan menyeret kopernya. Terik panas Manila langsung menyambutnya. Manila dan Jakarta tak jauh beda. Kota itu bukanlah kota sangat sangat mewah dan megah, jadi gadis itu seperti berpindah saja dari Jakarta ke Tangerang.
Gadis itu menyewa apartement di pusat kota. Ia melihat hamparan kota Manila yang sekali lagi, tak jauh berbeda dengan Jakarta, bahkan rasa-rasanya jauh lebih baik Jakarta ketimbang Manila. Beberapa sudut kota dipenuhi oleh warga pinggiran dengan pemukiman kumuh dan seadanya, transportasi yang kurang memadai, dan tingkat kemiskinan dan kriminalitas yang cukup tinggi. Sebenarnya tak hanya di Manila, setiap sudut kota di pelosok negara pun terdapat hal seperti itu. Bahkan gadis itu juga pernah menjumpai pemandangan tunawisma di sekitar menara Eifel beberapa waktu lalu saat ia berkunjung.
Semua hal yang disampaikan oleh media atau kepada publik hanya menampilkan sisi terang saja, padahal sisi gelap dari gemerlapnya metropolitan terdapat ruang-ruang pengap dan tak sedap.
“Setelah berganti pakaian kita akan berpisah mencari Joel. Aku juga sudah menandai beberapa titik yang sekiranya memungkinkan untuk kita susuri di hari pertama ini.”
“Sepertinya kita akan banyak menghabiskan hari disini, Maria. Mata kita harus lebih tajam dari biasanya. Apakah kita akan fokus mencari tunawisma di kota ini?”
“Antara iya dan tidak. Aku tak begitu yakin jika Joel benar-benar menjadi gelandangan, atau. . .”
“Semua itu hanya rekayasa Joel.” Pungkas gadis berambut sebahu dengan tinggi badan yang melebihi Maria.
Dua gadis itu berjalan mengelilingi kota dan menanyakan kepada orang yang juga berlalu lalang. Ia tunjukkan foto Joel kepada mereka. Entah sudah berapa kali semua kepala menggeleng tak mengenali Joel.
Beruntungnya, selain bahasa Tagalog, Manila menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua mereka. Jadi dua gadis itu tak begitu kesulitan.
Hari pertama hingga hari kelima mereka tak menemukan petunjuk apapun mengenai Joel. Manila ternyata juga cukup luas. Terlebih mereka yang kesana kemari hanya mengandalkan taksi cukup banyak memakan biaya dan waktu. Sesekali mereka juga memasuki beberapa pemukiman kumuh di pinggiran kota.
Hari ketujuh, mereka menyusuri kembali sudut-sudut kota Manila. Namun kali ini firasat Maria tak enak. Malam ini saat melewati lorong kota dan menanyakan pada orang-orang yang berlalu lalang tentang Joel, segerombolan orang justru malah menggodanya.
“Naghahanap ka ng kabataan, o asong babae?[1]” tanya seorang pemuda itu.
Mereka lalu tertawa dan saling pandang, “kami ay kabataan, handang bigyan ka ng kasiyahan”[2]
Maria tak paham dengan omongan mereka. Maria lalu mengatakan jika ia tak mengerti bahasa mereka dan mulai risih saat mereka mulai mendekatinya. Mereka lalu mulai menarik-narik tangan Maria. Secara langsung Maria melayangkan satu tendangan kerasnya padanya, tepat mengenai telinganya. Lalu beberapa pukulan juga ia layangkan padanya.
Namun Maria kalah jumlah dan jelas kalah kuat dibandingkan dengan mereka. Saat Maria tersudutkan, ia meminta tolong dengan berteriak keras. Namun jalanan begitu sepi. Maria mulai pasrah dengan keadaan.
Tetapi dari kejauhan nampak seseorang dengan kaki pincang berlari setengah meloncat di bantu tongkat penyangganya, dan langsung menyayunkan tongkatnya menyabet dua tengkuk kepala.
“Apa yang kau lakukan gembel cacat?” para pemuda itu tak terima.
Nampaknya seseorang dengan kaki pincang, mata kiri rusak dan tangan kanannya yang patah itu harus berduel dengan mereka. Entah tekad apa yang dimiliki oleh si kaki pincang itu untuk berani melawan mereka.
“Aku akan menghajarmu anjing sialan.” Si kaki pincang itu menantangnya.
Para pemuda itu mengatur formasi melingkar mengelilingi si kaki pincang itu.
Si kaki pincang itu setidaknya masih memiliki mata kanannya yang bersembunyi dibalik rambut gondrong acak-acakan itu untuk mengintimidasi mereka.
Salah satu di antara mereka lalu mulai melayangkan pukulannya. Si kaki pincang itu menghindar dengan cukup mudah. Lalu satu pukulan dari tangan kirinya mendarat di perut si pemukul pertama dan membuatnya jatuh tersungkur. Pemukul kedua dan ketiga memukul secara bersamaan, si pincang dapat menghidar tetapi pukulan si keempat tiba-tiba mendarat di tengkuk si pincang. Ia jatuh tersungkur dan tongkat menyangganya segera diraih oleh mereka.
Si kaki pincang mencoba berdiri meski sulit dan tak seimbang. Pemukul kedua berlari menghampirinya dan tubuhnya mengudara dengan tendangan kaki kanannya, namun si pincang menghidarinya ke arah kanan dan satu pukulan tangan kiri si kaki pincang berhasil mendarat di wajah pemukul kedua hingga hidungnya berdarah.
Mereka lalu menyadari jika si pincang ini cukup pandai bertarung, lalu mereka langsung menyergap bersamaan. Sekali dua kali si pincang dapat menghidar dan menyerang. Tetapi keterbatasan fisiknya tak mampu melawan empat pemuda itu. Si pincang jatuh dan langsung dipukuli dan ditendangi oleh mereka.
“Stop! Tolong hentikan! Aku sudah menelepon polisi dan mereka bergegas kemari.” Maria menggertak mereka dengan menyodorkan ponselnya yang usai menelepon polisi.
Tapi mereka tak peduli dengan hal itu dan terus menendangi si kaki pincang itu, sampai terdengar suara sirine polisi. Tiga diantara pemuda itu segera kabur dan berlari. Namun satu orang pemuda itu masih diam mematung di depan si kaki pincang yang tergeletak mengerang kesakitan.
“Matilah dan pergilah kau ke negara, anjing kumal.”
“Dorr. . . .!!!”
Pemuda yang berdiri mematung itu telah menarik pelatuk pistolnya yang bersembunyi dibalik punggungnya. Senjata api di Manila merupakan barang legal yang boleh diperjual belikan. Maka tak heran jika banyak warganya memiliki senjata api.
Maria sangat terkejut melihat hal itu. Ia tak menyangka jika pemuda itu menembak si kaki pincang dan langsung kabur meninggalkan mereka.
Di tempat yang tak jauh. Suara tembakan itu terdengar oleh gadis itu. Burung-burung yang hinggap di kabel listrik juga beterbangan mendengar tembakan itu. Gadis itu langsung berlari ke sumber suara itu. Ia sadari bahwa Maria tak jauh darinya.
Maria mendekati si pincang yang layaknya gelandangan itu. Berambut panjang dan sebagian sudah menggimbal, pakaian yang sudah lusuh menghitam dari kumpulan debu dan tanah. Kumis dan janggutnya sudah sempurna menutupi dagu dan sebagian pipinya.
“Kau mendengarku? Tolong sadarlah.” Maria menggerakkan tubuh lelaki itu.
Lelaki itu masih mengerang kesakitan dan tak berkata apapun. Tembakan itu mengenai bagian perutnya.
“Polisi sudah sangat dekat. Mereka akan menolong kita dan segera membawamu ke rumah sakit.”
Ia masih terdiam dan tiba-tiba airmatanya jatuh.
“Penghakimanku sudah sangat dekat. Waktu yang selama ini kutunggu sudah berada di depan mata.” Lelaki itu seolah berbicara mengelantur.