Placebo

Noura Publishing
Chapter #2

Bab 1

DI SALAH SATU BAGIAN St. James’s Park, gadis kecil berusia enam tahun bernama Adrien Faranisa terpana memandangi pasukan berseragam merah dan hitam yang mengenakan topi hitam tinggi. Pasukan itu berbaris sangat rapi, berulang kali mengentakkan kaki dalam ritme yang sama persis.

“Mama, bagus!” gadis itu memekik senang melihat festival yang kini disuguhkan di depan matanya. Trooping the Colour, festival yang sejak beberapa bulan lalu sudah membuat anak itu ribut karena ingin menontonnya secara langsung bersama kedua orangtuanya, membuatnya antu­sias bukan main.

“Adrien happy?” tanya wanita di samping Adrien. Dia agak menunduk saat bicara, berusaha menyejajari pan­dangan putri semata wayangnya. “Lebih bagus yang ini atau yang Adrien tonton di TV?”

Adrien menjawab cepat pertanyaan ibunya, “Happy! Lebih bagus yang ini, dong, Ma! Tuh, mereka jalannya kayak robot!” Dia lantas memekik penuh semangat, lalu tertawa, lalu memekik lagi.

Melihat Adrien yang tampak sangat gembira, Ara ikut senang bukan main. Akhirnya, festival yang sudah lama dibicarakan Adrien sejak anak itu menonton perayaannya di TV tahun lalu, kini bisa mereka tonton langsung di Horse Guards Parade di St. James’s Park. Butuh effort yang tak mudah bagi Ara untuk mendapatkan tiket. Empat bu­lan sebelum hari-H, Ara sudah sibuk mencari cara untuk membeli tiket itu.

“Mereka belajar baris berapa lama, Ma?” Adrien bertanya lagi. Tak lama, dia menunjuk kuda putih yang ada di bagian tengah pasukan. “Itu! Kuda yang itu, Ma! Baguuus! Adrien boleh naik, Ma?” rengeknya kemudian.

Ara tertawa melihat ekspresi anaknya. “Belajarnya sering pasti, Nak. Nanti Adrien naik kudanya yang boleh dinaikin aja, ya, jangan yang itu, ” jawabnya, masih tertawa. Gemas melihat putri kesayangannya. Tak lama kemudian, Ara ikut memfokuskan pandangannya kepada pasukan yang masih baris-berbaris merayakan ulang tahun sang Ratu Inggris.

Di sisi St. James’s Park yang mengarah ke Horse Guards Parade, bukan hanya Ara yang berdiri di samping Adrien. Danu, ayah Adrien, juga ada di sana. Namun, pria itu sibuk sendiri dengan tabletnya, berjibaku dengan proyeknya sebagai seorang arsitek. Dia seakan tersedot dalam dunianya sendiri.

Melihat Danu yang cuek dengan acara quality time bersama keluarga kecilnya itu membuat Ara menarik na­pas panjang. Pria itu sering kali sibuk dengan pekerjaannya. Jarang pergi bersama Adrien untuk berlibur. Sejujurnya, kali ini Ara berharap suaminya itu bisa menikmati acara keluarga yang langka terjadi ini. Sekali ini saja, di festival yang begitu ingin Adrien hadiri, Ara berharap Danu bisa menyingkirkan pekerjaannya sebentar.

Wanita itu ingin menegur, tetapi dia tahu, ujung-ujungnya dia sendiri yang akan menelan kekecewaan jika memulai perdebatan dengan Danu. Jadi, daripada meru­sak kebahagiaan Adrien, Ara memutuskan untuk tidak berkomentar banyak. Difokuskannya lagi pandangannya kepada pasukan berseragam di depan sana. Akan tetapi, ingatannya kini tidak lagi bersama raganya. Memorinya terlempar kepada masa empat bulan sebelum dirinya dan Danu melangsungkan pernikahan ....

Januari, tujuh tahun lalu.

Di ranjang pasien di kamar VIP salah satu rumah sakit swasta di Jakarta Selatan, Fatima berbaring dengan mata terpejam. Dia tidak tidur, hanya ingin mengistirahatkan matanya saja. Lagi-lagi penyakit jantung yang dia derita membuatnya kolaps. Untung saja, saat kejadian, Danu sedang di rumah dan dengan sigap mem­bawa ibunya itu ke rumah sakit. Penanganan yang cepat mem­buat kondisi Fatima tak sampai memburuk.

Sore itu, Jumat, Fatima sendirian di ruangan karena Danu harus membereskan urusan administrasi dengan pi­­h­ak rumah sa­kit. Sedangkan putri bungsunya, Esti, ti­dak bisa menemani karena ada jadwal kuliah.

“Fatima, duuuh, gimana kondisi kamu?” Seorang wanita ber­jalan mendekati Fatima. Ekspresi khawatir tergam­bar di wajahnya.

Fatima membuka mata, tersenyum melihat siapa yang da­tang. Heni, teman baiknya semenjak SMA.

Heni mengenakan terusan lengan panjang berwarna cokelat tua. Di sampingnya, berdiri seorang gadis yang sudah fa­­mi­­lier di mata Fatima.

“Ara, apa kabar? Udah lama nggak ketemu. Sibuk, ya?” Fatima tersenyum semringah, memberondong gadis tersebut de­ngan pertanyaan.

Maharani Dewanti, gadis berusia dua puluh enam tahun yang baru saja menyelesaikan studi S-2 di London itu, tersenyum sopan. “Kabar baik, Tante,” responsnya, lalu mencium tangan kanan Fatima. “Tante gimana kon­disinya? Sudah baikan?”

Fatima tersenyum senang. “Syukurlah, kalau kabarmu baik. Iya, kondisi Tante sudah jauh lebih baik. Sudah enakan juga badannya. Ayo, Hen, Ara, duduk sini.”

Kedua wanita di hadapan Fatima mengangguk, lalu menarik dua kursi pendek yang ada di dekat sofa. Mereka duduk di sisi kanan tempat tidur Fatima. Sementara itu, Fatima perlahan meng­geser bantal ke belakang punggung­nya dibantu Heni, dan meng­ambil posisi duduk. Dia ingin mengobrol banyak dengan Heni, dan tentu saja dengan Ara. Ada hal penting yang ingin Fatima sampaikan kepada gadis itu.

“Kamu beneran udah sehat, Im?” Heni bertanya de­ngan raut muka serius.

“Udah sehat, kok. Tinggal istirahat aja,” jawab Fatima ringan.

Menanggapi itu, Heni menggeleng-geleng. “Kamu, tuh, dari zaman dulu selalu aja ngganggap remeh penyakit. Udah tahu mesti lebih hati-hati, lebih telaten, apalagi sama makanan dan aktivitas, eh ini masih aja makan sesuka hati, capek-capek juga sesuka hati. Gimana mau sembuh, coba? Kita ini udah nggak muda lagi, mesti lebih telaten ngerawat diri.”

Rentetan kalimat Heni dibalas delikan malas oleh Fatima. Dia melirik Ara, lalu berkomentar pelan, “Ibu kamu, tuh, Ra, sejak SMA bawelnya nggak ilang-ilang! Bener, deh.”

Ara tertawa mendengar keluhan Fatima, sedangkan ibunya pura-pura ngambek dikata-katai seperti itu.

“Orang khawatir, malah diledek,” gerutu Heni, ber­lagak tersinggung. Tak lama, ketiga perempuan itu pun tertawa, lalu asyik mengobrol tentang banyak hal.

Setengah jam berikutnya, Fatima tiba-tiba mengubah topik pembicaraan menjadi lebih serius. “Ra, kamu sudah punya te­man dekat, belum?” tanyanya hati-hati.

Ara, yang awalnya cukup kaget ditembak dengan pertanyaan seperti itu, terkekeh pelan karena mengang­gapnya sebagai gu­rauan. “Kok nanyanya gitu, Tan?”

Fatima ikut tertawa, belum mengutarakan maksud yang sebenarnya.

“Si Ara ini udah dua puluh enam tahun, tapi duh ..., kalau ditanya punya pacar atau belum, jawabannya muter-muter mulu, nggak jelas,” giliran Heni yang mengomel. Dia pun mencubit pelan lengan kiri Ara, membuat anak­nya itu pura-pura meringis kesakitan.

“Jadi, Ara udah punya calon atau belum?” tanya Fati­ma lagi, penasaran. Dia berharap gadis itu menyampaikan jawaban yang dia inginkan.

Ara menelan ludah, mulai kikuk karena sepertinya topik ini bukan tentang gurauan seperti yang dia kira sebelumnya. Fatima memandanginya lekat, membuat Ara tak yakin harus menjawab apa. Di sampingnya, Heni ikut memandanginya, sama-sama me­nunggu jawaban.

Lihat selengkapnya