SORE INI SAMA SEPERTI ratusan sore lalu. Sudah menjadi kebiasaan Lucy memandangi taman di bawah sana, dari balik jendela ruang kerjanya di rumah sakit. Sambil menyesap teh, dia memperhatikan orang-orang yang tengah mengobrol, tertawa, bahkan melamun di tengah keramaian.
Orang-orang itu bukanlah Williarn Sturgeon yang menemukan elektromagnet, atau Peter Jackson yang sukses menyutradai film seri The Hobbit, atau Susan Boyle, perempuan bertampang lugu yang tampil di Britain Got Talents tetapi ternyata memiliki suara bagus. Orang-orang yang memerangkap perhatian Lucy adalah para pasien dan keluarga mereka di rumah sakit tempatnya bekerja. Orang-orang yang sering kali membuat Lucy iri karena mereka memiliki “keluarga” di tengah penyakit yang harus mereka perangi.
Sama pula seperti sore-sore yang dia lewati sebelumnya, pemandangan di bawah sana membuat Lucy tenggelam dalam ingatannya sendiri. Banyak hal yang berlalu lalang di kepalanya. Entah itu soal pekerjaan, perjalanan-perjalanan yang telah dia lewati, ataupun semua waktu yang dia habiskan untuk berusaha menggerus kenangannya tentang seorang pria.
Danu Adyatama. Orang yang sudah keluar dari hidupnya delapan tahun lalu, tetapi keberadaannya tak pernah hilang dari hati Lucy, meski hanya sesaat ....
Dua belas tahun lalu.
“Hai! Kok bengong?”
Lucy terlonjak saat seseorang mengajaknya bicara. Mukanya memerah karena malu ketahuan bengong seperti barusan. Belum lagi, lelaki yang baru saja muncul di hadapannya itu menunjuk buku yang sedang Lucy pegang. Buku yang sialnya berada dalam posisi terbalik, menambah keyakinan lelaki itu bahwa Lucy memang sedang melamun, bukannya membaca.
“Gimana caranya kamu baca buku itu dengan posisi terbalik?” Danu memasang tampang serius dan berpikir keras saat bertanya. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, seolah sedang mencari posisi yang pas untuk membaca buku berjudul Harrison’s Principles of Internal Medicine milik Lucy itu. Tentu saja Danu langsung pusing saat iseng membaca kalimat-kalimat yang berderet di dalam buku itu. Dia seorang calon arsitektur yang sepenuhnya tidak tahu apa-apa tentang ilmu kedokteran yang dipelajari Lucy, pacarnya selama lebih dari dua tahun belakangan.
“Ya, bisa, dong! Mau aku ajarin?” balas Lucy bercanda, lalu menarik bukunya dan memosisikannya dengan benar.
Danu yang kemudian duduk di sebelah Lucy nyengir lebar. “Jadi, barusan ngelamunin apa?” tanyanya, kembali membelokkan topik pembicaraan kepada Lucy yang sebelumnya tampak sibuk dalam lamunannya sendiri.
Lucy menekan bibir, berpikir apakah dia perlu mengutarakan apa yang tengah mengusiknya atau tidak.
“Kenapa?” tanya Danu lagi. Tatapannya makin lekat. Lucy, yang duduk di sampingnya di kursi kayu panjang di sudut kantin yang terletak di antara gedung fakultas kedokteran dan teknik arsitektur, tampak agak gelisah. “Lucy?” panggilnya lagi.
Nggak usah, putus Lucy dalam hati. Melihat Danu ada di dekatnya kini, perasaannya sudah cukup membalik. Setidaknya, mimpi buruknya beberapa hari belakangan bisa dia tepiskan meski hanya sebentar.
“Lagi pusing mau makan apa abis ini. Pecel lele pakai kol goreng atau kwetiau seafood pedas?” Lucy memutar mata, memasang ekspresi lucu yang membuat Danu menyingkirkan kekhawatirannya—digantikan perasaan gemas menghadapi pacarnya itu. Dia pun mengacak rambut Lucy hingga gadis itu memekik, pura-pura protes.
“Dih, rambut aku jadi berantakan, Dan! Hush, hush, jauh-jauh jugaaa, badan kamu bauuu!” Lucy menutup hidungnya sewaktu Danu makin merapat.
Danu langsung panik, mengira Lucy benar-benar terganggu karena aroma tubuhnya. Tubuhnya memang sedang berkeringat karena baru selesai latihan basket dengan teman-teman sejurusannya. “Wah, masa bau banget, sih?” tanyanya waswas.
Lucy memutar bola mata malas-malasan. “Sana, bersih-bersih dulu. Abis itu baru kita makan. Oke?”
Danu meletakkan sebelah tangannya di dekat alis, mengambil sikap hormat seperti sedang upacara bendera. “Siap! Tunggu di sini.” Lelaki itu lantas berlari sambil membawa ranselnya yang tak tertutup sepenuhnya.
Di tempatnya, Lucy menggeleng-geleng sambil cekikikan. Kok bisa-bisanya dia menyukai cowok jorok seperti Danu? Namun, mau bagaimana lagi? Dengan Danu, Lucy merasa nyaman dan bahagia.
Seandainya kebersamaan mereka bisa bertahan lebih lama, Lucy mungkin sudah menikah dengan Danu, lalu memiliki anak-anak yang lucu, periang, dan ....
Tok, tok!
Lucy terperanjat. Dia baru saja kembali dari telaga penuh kenangan juga harapan hampa yang berhasil mengiris hatinya.
“Ya, Fan?” Dia menyapa Irfan, salah satu perawat di rumah sakit tempatnya bekerja, yang baru saja membuka pintu ruangannya. Kepala pria itu muncul di bibir pintu yang hanya terbuka sedikit.
“Dipanggil dr. Imron, Dok. Ditunggu di ruangannya,” kata Irfan sambil tersenyum sopan.
Lucy mengangguk cepat, lalu meletakkan gelas tehnya di meja. “Oke, saya ke sana sekarang,” katanya sambil merapikan jas, lalu buru-buru berjalan menuju pintu.
Sudah cukup lamunan untuk sore ini. Seperti biasa, Lucy menyingkirkan memori dan mimpinya tentang Danu Adyatama dengan setumpuk pekerjaan yang tak berkesudahan, yang setidaknya bisa mendistraksi kerinduannya terhadap pria itu—meski hanya sebentar.
Pesan dari Esti terus menggema dalam kepala Ara. Sepanjang siang hingga malam, kegelisahan melingkupi dirinya. Namun, dari gelagat yang ditunjukkan Danu sejak menerima telepon tentang ibunya yang sakit dan perintahnya agar Adrien dan Ara tidak ikut, sepertinya pria itu belum tahu tentang Lucy yang merawat sang ibu. Danu bahkan tidak membahas apa pun lagi dengan Ara, bahkan hingga hari telah menjelang pukul sembilan malam.
Di ruangan kerja yang hanya dibatasi partisi kayu dengan ruang keluarga, Danu sibuk dengan berkas-berkasnya. Pembangunan sebuah gedung perkantoran di daerah Canterbury, yang menjadi proyeknya selama dua tahun terakhir, sangat menguras konsentrasinya. Bahkan, saat Ara menyuguhkan segelas cokelat hangat dan meletakkan gelas itu di sudut meja, pria itu tak bicara sepatah kata pun. Menoleh saja tidak.