PLANET ALGAR

Embart nugroho
Chapter #1

METEOR 2035

Meteor itu jatuh seperti palu raksasa yang memukul dunia.

Sebesar benua Afrika, pecahannya menghantam bumi hingga planet ini bergetar dari inti terdalamnya. Gedung-gedung pencakar langit runtuh dalam sekejap, seperti mainan rapuh yang ditendang. Jalanan dipenuhi jeritan, tangis, dan doa yang tak sampai ke langit.

Air laut bangkit melampaui batas, berubah jadi gelombang hitam setinggi gedung sebelas lantai. Tsunami menggulung kota, menelan manusia bersama mobil, rumah, dan mimpi mereka. Di daratan, bumi terbelah. Jurang-jurang dalam terbuka, menelan bangunan utuh beserta penghuninya. Pulau-pulau pecah, terbawa arus, lalu hilang di dasar laut. Api menjalar di mana-mana, membuat sebagian daratan rata dengan tanah.

Namun semua itu baru permulaan. Matahari terlihat berlipat dua, bulan retak pecah oleh serpihan meteor. Cahaya menjadi terlalu tajam, iklim berubah ekstrem. Yang selamat dari bencana alam kini berhadapan dengan trauma, rasa kehilangan, dan dunia yang tak lagi mereka kenal.

Beberapa tahun setelahnya, bumi membeku. Salju turun tiada henti, menutup daratan dengan lapisan es. Tumbuhan mati, hewan punah, badai topan dan tornado meluluhlantakkan apa pun yang tersisa. Dunia seolah mati.

Namun ketika salju mencair, panas datang dengan cara yang lebih kejam. Gurun pasir meluas, badai pasir dan awan gelap menutup cakrawala. Dari perut bumi, makhluk-makhluk mengerikan bermunculan: bertaring, bercakar, peminum darah manusia. Sementara di langit, tata surya sendiri goyah. Planet-planet saling berbenturan, Mars memuntahkan bara, tata surya seakan kehilangan kendali.

Lalu bumi bergerak mendekati planet lain—Zetta. Planet berisi makhluk setengah manusia yang tidak menginginkan pendatang. Mereka mengincar mineral bumi yang langka, sumber energi untuk melanjutkan peradaban mereka. Perang bintang pun pecah, dipimpin negara-negara canggih yang berusaha melawan.

Di tengah kehancuran itu, berdirilah seorang pemuda. Namanya Jupiter. Tubuhnya jangkung, kulitnya terang, dan mata tajamnya menyimpan sesuatu yang lebih tua dari dirinya. Ia berdiri di atas reruntuhan pusat kota metropolitan, menatap gedung-gedung runtuh, debu menghitamkan langit, dan jalanan yang retak menganga seperti mulut monster raksasa.

Tidak ada lagi jeritan manusia. Hanya sunyi yang memekakkan telinga.

Jupiter mengangkat tangannya, menyentuh serpihan kaca yang melayang di udara. Ia tak terkejut ketika menara komunikasi runtuh hanya beberapa meter darinya. Sebab di dalam dirinya, badai lain sedang berkecamuk: kesadaran bahwa semua ini sudah ditulis.

Ia telah melihatnya—dalam mimpi panjang yang mengganggu sejak tiga tahun lalu. Ia bukan nabi, bukan peramal. Tapi sesuatu yang lebih tua dari waktu telah memilihnya.

Langkah kakinya membawanya ke puing sebuah mall. Dari sela beton, tangan kecil terjulur. Ia ingin menolong, tapi tahu sudah terlambat. Dunia ini bukan lagi tempat untuk penyelamatan—ini panggung eksekusi.

Langit berganti merah tua, bulan benar-benar retak menjadi dua. Meteor lain meluncur dari langit, lambat namun pasti. Dan suara itu datang lagi.

Bukan suara bumi. Bukan suara langit. Tapi suara yang berbicara di dalam kepala manusia:

"Saatnya pulang."

Jupiter berhenti. Di depannya, sebuah patung setengah rubuh—dewi kuno dari masa lalu—mengeluarkan air mata darah. Kota ini tidak akan bangkit. Umat manusia tidak akan kembali.

Namun ia tahu: akhir bukanlah akhir. Masih ada rahasia yang menunggu untuk dipecahkan.

Dan saat debu terangkat oleh angin, sesosok anak kecil berdiri di sana. Tidak terluka. Tidak menangis. Hanya menatapnya, seolah sudah mengenalnya sejak lama.

“Namamu Jupiter?” tanya anak itu. Jupiter mengangguk. “Siapa kamu?”

“Aku… tanda besar dari langit. Dan kamu… penyambutnya.”

Langit kembali menggelegar. Tanah bergetar. Dari balik awan merah, turunlah sebuah entitas purba—bukan dewa, bukan iblis, tapi sesuatu yang lebih tua dari kosmos itu sendiri.

Peradaban manusia memang sudah mati. Tapi kisah Jupiter baru saja dimulai.

###

Matahari seolah-olah sedang marah. Ia mendekat, menyulut panas di sisi bumi yang terbuka, seakan hendak memanggang apa pun yang berani menantangnya. Dari langit, suara-suara asing bergema—seperti bisikan kosmik yang tak pernah didengar manusia sebelumnya. Tata surya kehilangan keseimbangannya, dan di antara kekacauan itu, planet Mars memuntahkan bara api, memantulkan kilau merah yang menusuk ke atmosfer.

Di kejauhan, planet Algar—permata megah dengan tirai pelindung bercahaya—mulai retak. Getarannya menjalar seperti detak jantung yang tak teratur. Gedung-gedung menjulang runtuh satu per satu, seolah dibuat dari kertas rapuh. Taman-taman artistik, kebanggaan peradaban mereka, berubah menjadi puing. Laut buatan, yang dahulu tenang seperti cermin, kini mengamuk. Gelombang raksasa memanjat daratan, menelan bangunan megah yang pernah dianggap abadi.

Mahluk langit bersayap berlarian, kepanikan mereka melukis udara dengan kepakan sayap yang bergetar. Mata-mata mereka penuh ketakutan, bukan hanya karena planet mereka sekarat, tetapi karena mereka tahu: kejatuhan Algar hanyalah awal. Tata surya sedang runtuh, planet-planet saling berbenturan dalam tarian maut kosmik yang tak terhentikan.

Namun, masih ada harapan—mitos yang diwariskan dari generasi ke generasi. Seorang ratu, keturunan bangsawan purba, dikatakan telah bereinkarnasi di planet Earth. Planet itu, meski sudah lebih dulu mengalami kehancuran, kini menjadi kunci bagi kelangsungan hidup mereka.

Earth dan Algar, di masa depan, akan berdampingan di orbit baru. Tetapi tanda-tanda akhir sudah terlihat: bulan bumi retak, pecah menjadi dua, membentuk celah raksasa yang memantulkan cahaya menyeramkan ke seluruh jagat.

Di antara kekacauan, Jupiter berdiri. Sosok seorang pemuda dengan mata yang dalam seperti lautan tak berujung. Ia menatap tanpa kata, menyerap kehancuran yang merambat cepat. Ledakan-ledakan mengguncang cakrawala, kilatan api menari di udara, dan bumi sendiri seolah mengerang.

Lihat selengkapnya