PLANET ALGAR

Embart nugroho
Chapter #2

ALUNA

Hujan turun deras malam itu. Jalanan kota basah, lampu-lampu neon berpendar samar di balik tirai air. Kendaraan berlari tergesa, orang-orang bersembunyi di bawah payung atau tenda, dan langit—seperti selalu—menggantungkan rahasia yang terlalu berat untuk diungkapkan.

Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, seorang gadis duduk sendirian. Rambut hitamnya menempel basah di bahu, matanya menatap kosong ke jendela berembun. Namanya Aluna. Umurnya baru delapan belas, tapi ada sesuatu pada sorot matanya—kejernihan yang tak biasa, seolah menyimpan sesuatu yang jauh lebih tua dari usianya.

Aluna tidak pernah mengerti mengapa ia sering merasa berbeda. Sejak kecil, mimpi-mimpinya dipenuhi cahaya, sayap, dan suara asing yang memanggilnya dengan sebutan Ratu. Kadang ia terbangun dengan jantung berdebar, seakan mimpi itu lebih nyata daripada kenyataan.

Malam itu, ia kembali merasakannya. Sebuah getaran halus, seperti aliran listrik merambat dari ujung jari ke tulang belakangnya. Ia meraih dadanya, napasnya tercekat.

Lalu, langit pecah.

Kilatan cahaya membelah awan, disertai dentuman yang jauh lebih keras dari petir biasa. Orang-orang di kafe berhamburan keluar, menatap ke atas. Sebuah cahaya biru keperakan melesat jatuh dari langit, menembus awan, lalu hilang di arah hutan kota yang gelap.

Semua orang heboh, berteriak menyebut meteor.

Namun Aluna membeku di tempatnya. Tubuhnya bergetar. Hatinya berbisik sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Cahaya itu bukan sekadar meteor. Ia bisa merasakannya.

“Kenapa aku merasa… dia datang untukku?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Tanpa berpikir panjang, Aluna berlari keluar dari kafe, menembus hujan. Kakinya bergerak seolah digerakkan oleh sesuatu di luar dirinya, menuntunnya menuju hutan kota, ke tempat cahaya itu jatuh.

Di balik pepohonan basah dan tanah yang becek, asap biru berpendar samar. Di tengahnya, tubuh seorang pemuda tergeletak, sayap-sayap perak yang rusak membentang di tanah, bercampur dengan darah kebiruan yang menguap menjadi cahaya.

Aluna terdiam. Jantungnya berhenti berdetak sesaat.

Ia mengenal wajah itu—bukan dari dunia nyata, tapi dari mimpinya.

“...Kamu?” bisiknya, matanya melebar tak percaya.

Pemuda itu—Mars—membuka mata samar, menatapnya. Dalam detik singkat sebelum kesadarannya hilang, bibirnya bergetar.

“Ratu…”

Lalu kepalanya terkulai.

Aluna gemetar, hujan menyelimuti tubuhnya, tapi ia tahu satu hal: hidupnya baru saja berubah selamanya.

 

###

 

Hujan belum berhenti. Petir sesekali menyambar, memperlihatkan bayangan pepohonan basah dan tanah yang becek. Aluna berjongkok di samping Mars, tangannya gemetar ketika menyentuh sayap perak yang koyak. Darah biru bercahaya menempel di telapak tangannya—hangat, namun terasa seperti arus listrik yang merambat ke seluruh tubuh.

Ia terperangah. Rasanya mustahil. Tubuh pemuda itu jelas bukan manusia. Sayapnya yang robek, kulitnya yang pucat bercahaya, mata peraknya yang kini terpejam lemah—semuanya membuat Aluna tak bisa berpaling.

“Siapa kamu…?” bisiknya. Tapi pertanyaan itu tenggelam dalam derasnya hujan.

Suara langkah mendekat. Lampu senter menembus semak. Tiga orang petugas keamanan hutan kota datang, berbicara panik.

“Kau lihat itu? Meteor jatuh di sini! Cepat! Laporkan ke pusat penelitian!”

Aluna tersentak. Tanpa sempat berpikir, ia meraih tubuh Mars, berusaha menyeretnya ke balik semak tebal. Aneh, tubuh Mars ringan, jauh lebih ringan dari ukuran tubuhnya—seolah sayap peraknya menahan sebagian beban.

Petugas mendekat. Lampu senter menyapu tempat Mars terbaring tadi. Hanya ada tanah basah yang berlubang. Mereka saling berpandangan.

“Seharusnya jatuhnya di sini…”

“Mungkin sudah hancur.”

“Atau… ada yang mengambilnya?”

Aluna menahan napas, tubuhnya menempel erat ke tanah. Jantungnya berdetak sekeras guntur. Ia tak tahu kenapa ia melindungi Mars, tapi hatinya berkata: kalau mereka menemukannya, segalanya akan berakhir.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, para petugas pergi. Suara langkah mereka menghilang ditelan hujan.

Lihat selengkapnya