Pagi itu, Aluna terbangun dengan rasa asing di dadanya—seperti ada ruang hampa yang belum terisi. Setelah perjalanan yang mustahil, setelah terjebak di planet Algar, setelah berhadapan dengan sesuatu yang tak bisa ia pahami, kini ia kembali ke 2025. Kamar kosnya sama, gorden krem masih menggantung di jendela, sinar matahari tetap menembus kaca. Tapi segalanya terasa berbeda, seperti bumi sendiri sudah berubah.
Aluna lupa dengan kejadian-kejadian yang ia alami.
Dengan langkah gontai, ia menghampiri jendela. Cahaya pagi membuat matanya berair. Aluna mendesah berat lalu kembali berbalik. Tapi langkahnya terhenti. Dari sela tirai cahaya, ia melihat bayangan lain di dalam kamarnya.
“Sudah bangun?”
Suara itu membuat jantungnya meloncat. Ada seorang laki-laki asing berdiri di sudut ruangan. Kulitnya pucat terang, matanya jernih tak wajar, seolah menyalakan cahaya dari dalam. Dari tubuhnya, beterbangan serpihan debu berwarna perak. Penampilannya seperti keluar dari dunia lain: celana perak elastis, kaus abu-abu, dan sepatu boot logam yang berkilat. Rambutnya rapi keperakan, seperti cahaya bintang yang dipadatkan.
Aluna membeku, selimut ditarik menutupi tubuhnya. “Kamu… siapa?” suaranya bergetar, antara takut dan bingung.
Laki-laki itu tidak menjawab langsung. Ia mengangkat sebuah mug dan meletakkannya di meja kecil dekat tempat tidur. Uap teh panas mengepul, menambah absurditas situasi. Dari mana teh itu datang? Bagaimana ia bisa masuk, padahal pintu terkunci rapat?
“Aku sudah menyiapkan teh untukmu,” katanya tenang, seolah wajar berada di sana.
Aluna memandangnya penuh curiga. “Hei, aku tanya. Kamu siapa?! Kalau kamu tidak jawab, aku teriak maling!”
Tatapan lelaki itu tetap dingin, tapi matanya bergetar seakan menahan sesuatu yang dalam. “Aku yang menyelamatkanmu. Dari makhluk itu. Ia menginginkanmu.”
Darah Aluna berdesir. Kata-kata itu menggantung di udara, menekan dadanya. Apakah ia masih bermimpi? Ia mencubit lengannya. Sakit. Terlalu nyata.
“Sudahlah,” lelaki itu melanjutkan, suaranya serupa bisikan logam. “Ini bukan mimpi. Aku memang ada di sini. Dan aku datang dari masa depan. Dari planet Asgardian. Planetku sudah diserang. Planetmu akan menyusul.”
Aluna menelan ludah, suaranya meninggi. “Kamu gila, ya? Masa depan? Planet lain? Kau pikir aku percaya omong kosong begitu?”
Laki-laki itu tersenyum samar, lalu bersandar ke dinding dengan santai, seolah waktu tidak berlaku padanya. “Percaya atau tidak, kau akan tahu. Aku hanya butuh bantuanmu.”
“Apa maksudmu bantuan?” Aluna makin gelisah, matanya beralih ke ponsel di meja. Dengan gerakan cepat ia meraihnya, menyalakan tombol daya—tapi layar hanya hitam. Mati total. Ia hampir mengumpat.
“Aku sudah membangunkanmu dari tidur panjang,” lanjut lelaki itu. “Dan waktumu di sini tidak akan lama. Mahluk itu masih mencarimu.”
Ruangan mendadak terasa lebih sempit. Aluna menggenggam selimutnya erat-erat. Laki-laki itu—entah alien, penyusup, atau malaikat—terlihat terlalu nyata untuk diabaikan, tapi terlalu asing untuk dipercaya.
Dan ketika ia berkata dingin, “Sekarang mandi dan bersiaplah. Hari ini kita harus mulai,”—Aluna sadar, hidupnya di bumi 2025 tidak akan pernah kembali normal.
###
Di kamar mandi yang lembap, Aluna merapatkan tubuhnya ke dinding keramik. Tangannya gemetar saat menekan tombol daya ponsel. Sekejap, layar yang mati itu berpendar, menyalakan cahaya warna-warni. Aluna menghela napas lega, hampir saja menangis karena berhasil.
Dengan buru-buru ia mencari nomor Kamila dan menekannya. Nada sambung terdengar.
“Halo…” suara familiar itu muncul, ringan dan santai.
“Kamila, bantu aku. Ada seseorang di kamarku,” suara Aluna pecah, penuh ketakutan.
Sejenak hening, lalu terdengar tawa kecil dari seberang. “Pacarmu? Atau gebetan barumu? Kamu jangan lebay, Alun. Pagi-pagi udah halu aja.”
Aluna menutup mata, menahan amarah bercampur panik. “Bukan, Kamila. Apa kamu gila? Aku kan nggak punya pacar. Please, serius. Aku nggak tahu siapa dia. Dia… membuatku takut.”
Di seberang, Kamila terdengar mengembuskan napas keras. Suara gesekan setir mobil terdengar samar. “Ya Tuhan, Alun… Kalau memang ada orang asing, telepon polisi lah. Gampang, kan?”
“Masalahnya aku nggak punya nomor polisi!” suara Aluna meninggi. Ia mondar-mandir di kamar mandi sempit itu, tubuhnya serupa setrika yang bolak-balik tak tentu arah.
“Oh my God…” Kamila mengumpat kecil. “Terus aku harus gimana?”
“Jemput aku. Sekarang.” Suara Aluna tegas, tapi penuh rasa cemas.
Di seberang, terdengar desahan panjang. “Ya ampun, Aluna. Papa mama kamu kemana? Aku nggak mungkin ke rumahmu kalau mereka ada.”
“Mereka lagi keluar kota. Beberapa hari. Tolong, Kamila, please… Aku nggak bohong. Aku takut banget.”
Keheningan singkat. Lalu suara Kamila terdengar, kali ini lebih serius. “Oke. Tunggu aku. Aku ke sana.”
Klik. Sambungan terputus.
Aluna berdiri terpaku, menggigit bibir bawahnya sampai terasa perih. Ia menatap bayangan wajahnya di cermin kamar mandi: pucat, mata sembab, rambut berantakan.
Pikirannya berputar kacau—sosok lelaki asing di kamarnya, ucapan tentang masa depan, planet asing, dan makhluk yang mengincarnya. Belum lagi mimpi buruk yang baru saja membangunkannya. Semua terasa nyata. Terlalu nyata.
Tangannya meremas gagang ponsel seolah itu satu-satunya senjata. Di luar, kamar tetap hening. Hening yang menakutkan.