PLANET ALGAR

Embart nugroho
Chapter #7

KRYPTON

Silver menoleh ke arah Aluna, wajahnya serius namun lembut. “Ayo, aku antar kamu pulang. Lebih aman kalau kamu nggak sendiri hari ini.”

Aluna ragu sejenak. Pandangan matanya teralihkan ke batu kristal yang tersembunyi di dalam tas. Denyut cahaya samar dari batu itu seakan memberinya keberanian. “Oke… tapi jangan ceritain ini ke siapa-siapa, ya,” gumamnya sambil menunduk.

“Tenang saja. Aku cuma ingin memastikan kamu sampai rumah dengan selamat,” jawab Silver sambil tersenyum tipis.

Mereka berjalan keluar dari kampus. Koridor yang sepi membuat langkah mereka terdengar jelas di antara hembusan angin dan suara dedaunan yang bergesekan. Silver selalu berjalan di sisi Aluna, melindunginya dari bayangan pepohonan yang bergerak seakan hidup.

Di atas gedung kampus, setinggi atap, Jupiter berdiri diam. Tubuhnya terselubung bayangan, matanya menatap setiap gerak-gerik Aluna dan Silver di bawah. Sayap gelapnya terkepak pelan, menjaga keseimbangan sambil menyesuaikan posisinya di udara.

Dia menemukan batu itu, gumam Jupiter di dalam hati, menatap Aluna yang sesekali menyentuh tasnya. Dan aku harus tahu siapa dia sebenarnya. Jika ia termasuk keturunan bangsawan langit… semuanya akan berubah.

Silver dan Aluna melewati taman belakang kampus. Silver sesekali melirik ke arah gadis itu, memastikan Aluna tetap fokus dan tidak terlalu terpaku pada sekitar. Ia tahu, mata Jupiter selalu mengintai dari kejauhan, dan benturan energi kemarin hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

“Rumahmu nggak jauh lagi,” ujar Silver sambil menunjuk arah. “Kamu bakal aman begitu masuk rumah. Tapi besok… kita harus bicara lebih banyak.”

Aluna hanya mengangguk, masih terpesona sekaligus khawatir. Cahaya samar dari kristal di dalam tasnya berdenyut seolah merespons kata-kata Silver, mengingatkannya akan tanggung jawab yang belum ia pahami sepenuhnya.

Di atas gedung, Jupiter masih mengamati. Matanya menyipit, menimbang setiap langkah Silver dan Aluna. Angin malam menyisir rambutnya, menegaskan kesan dingin dan tak tergapai. Ia tahu satu hal pasti: Aluna bukanlah gadis biasa… dan perannya dalam konflik ini baru saja dimulai.

Bayangan Jupiter menghilang ke kegelapan malam, meninggalkan kota yang tenang di bawah, sementara Aluna dan Silver terus berjalan, tanpa menyadari bahwa mata-mata langit selalu mengawasi mereka.

###

 

Aluna menutup pintu kamarnya dengan tergesa, napasnya masih tersengal setelah berlari menaiki anak tangga. Tasnya dijatuhkan di atas tempat tidur, namun tangannya segera kembali ke batu kemerahan yang masih berkilau samar di dalam tas. Dengan hati-hati, ia meletakkannya di atas meja, matanya menatap setiap lekuk, setiap cahaya yang memantul.

Batu itu… bukan batu biasa. Kilau merahnya seperti memanggil sesuatu yang tersembunyi. Di sampingnya, liontin putih bersinar halus, seolah hidup sendiri. Aluna menunduk, jari-jarinya ragu menyentuh permukaan dingin batu itu. Apa ini benar-benar ada? Atau aku yang sudah mulai kehilangan akal?

Tak ingin meninggalkan keraguan, ia membuka laptop dan mencari bentuk-bentuk batu Krypton. Mata Aluna melebar saat menemukan kemiripan yang mencengangkan. “Krypton…” gumamnya pelan. Teksturnya, kilaunya, bahkan aura misteriusnya—semua mengingatkan pada batu legendaris itu. Liontin di sampingnya seolah menjadi kunci yang menunggu untuk diaktifkan.

Dengan tangan bergetar, Aluna memasukkan liontin ke lekukan batu. Seketika, batu itu bergetar, memancarkan cahaya merah lebih kuat, dan perlahan berubah bentuk menjadi sebuah istana miniatur yang memancarkan aura magis. Jeritan-jeritan kecil terdengar samar dari dalamnya, membuat bulu kuduk Aluna meremang. Ia mundur beberapa langkah, panik, dan melepaskan liontin. Dalam sekejap, batu itu kembali ke wujud semula, dingin namun masih memikat.

Panikanya memuncak. Tanpa pikir panjang, Aluna menghubungi Kamila. Beberapa menit kemudian, sahabatnya itu sudah berada di kamar Aluna, mata Kamila menatap batu itu dengan campuran kagum dan curiga.

“Kamu yakin batu itu bergerak dan berubah bentuk?” tanya Kamila hampir tak percaya.

“Iya, Mil,” jawab Aluna, suara bergetar.

Kamila mencondongkan tubuhnya, memperhatikan batu itu dari berbagai sisi. “Kamu dapat darimana batu ini?”

“Di kampus… di rerumputan. Aku hanya penasaran…” Aluna menjelaskan singkat, matanya tetap terpaku pada batu itu.

Kamila menghela napas panjang, sedikit khawatir. “Sebaiknya kamu tanya ke Pak Peter. Dia pasti tahu kalau batu itu berbahaya atau memiliki kekuatan aneh.”

Aluna menatap batu itu dengan tatapan bimbang. Memberikannya ke dosen atau menyimpannya sendiri? Malam semakin larut, dan kamar yang hening membuat kilau batu itu semakin menakutkan sekaligus memikat.

Setelah Kamila pamit pulang, Aluna duduk di tepi tempat tidur, memeluk lututnya, dan mengamati batu itu. Denyut cahaya merahnya menembus kesunyian. Seketika, ingatan tentang cowok misterius yang hadir di kamarnya kemarin malam melintas. Kata-katanya tentang penemuan di kampus, tentang sesuatu yang menunggu… membuat hati Aluna berdetak lebih cepat.

“Apa maksud semua ini?” batinnya. “Siapa cowok itu?”

Jari-jari Aluna menggigit lembut kuku tangannya. Batu itu masih berkilau, seolah menunggu jawaban yang hanya bisa diberikan waktu. Hatinya campur aduk antara rasa takut dan penasaran. Tapi satu hal pasti: sesuatu yang besar—sesuatu yang jauh dari dunia biasa—baru saja memulai perjalanannya di depan Aluna.

###

Lihat selengkapnya