Di kedalaman ruang angkasa, jauh di utara poros matahari, Planet Exo berdiri tegak dengan nuansa kelam yang hampir menyerap cahaya. Permukaannya ditaburi batu-batu hitam yang tajam, bergelombang, dan menciptakan bayangan menakutkan. Dari kejauhan, planet itu terlihat seperti bola arang yang berputar perlahan, memancarkan aura misterius yang membekukan jiwa siapa pun yang menatapnya.
Penghuninya bukan manusia biasa. Mereka mahluk dengan tubuh menyerupai binatang, bersayap hitam, dan kaki serta tangan yang kekar—sosok yang berdiri tegak seperti manusia, namun aura mereka dipenuhi kekuatan liar dan gelap. Dari kegelapan itu, satu sosok berdiri lebih tinggi dari yang lain, matanya menyala merah menyala, menatap jauh ke arah Planet Algar.
Edward. Namanya terucap seperti bisikan angin malam. Parasnya keras, tatapannya menembus jauh, dan aura dendamnya berkelindan di sekelilingnya. Ia mengenakan baju bangsawan hitam panjang, menjuntai sampai lutut, dengan sepatu boot setinggi betis yang berkilau redup di cahaya bintang. Setiap gerakannya elegan, tetapi setiap gerakannya juga mengandung ancaman.
Matanya menyipit saat menatap Algar dari kejauhan. Sejenak, bayangan masa lalu menghantamnya—Raja Gilbert, sang kakak yang telah merampas haknya, ayah yang selalu berpihak padanya. Seratus tahun lalu, ketika Raja Gilbert naik tahta, Edward dipinggirkan, dianggap tidak bertanggung jawab, dan diasingkan ke planet Exo. Namun pengasingan itu tidak memadamkan amarahnya. Ia membangun kerajaan baru di Exo, menaklukkan pasukan-pasukan gelap, dan mengumpulkan persenjataan yang mematikan.
“Aku harus merebut kembali tahta itu,” gumam Edward, suara beratnya nyaris menyatu dengan angin kering di planetnya. Jemarinya mengepal, menandai tekad yang tak tergoyahkan. Setiap kilau mata merahnya memancarkan dendam dan ambisi yang kelam. Tak ada belas kasihan—hanya satu tujuan: merebut kembali Algar, menguasai kerajaan, dan menegakkan nama Edward sebagai darah bangsawan yang dihormati.
Seorang kapten prajurit muncul di sisi Edward, setengah manusia, setengah mahluk, mengenakan baju perang yang serasi dengan aura kelam Exo. “Tuan, semua persenjataan sudah lengkap,” lapornya dengan suara tegas.
Edward menoleh, wajahnya dingin seperti besi yang ditempa malam. “Kita akan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang Algar,” ucapnya, setiap kata mengandung ancaman.
Kapten itu mengangguk, lalu perlahan menjauh, meninggalkan Edward sendirian di atas tebing batu hitam. Hanya bintang-bintang dan bayangan kelam planet Exo yang menyertai. Edward tetap berdiri, matanya menatap jauh ke masa depan—ke saat ketika Algar akan menjadi miliknya, dan dendamnya tercurah tanpa sisa.
###
Di kegelapan Planet Exo, Edward berdiri di atas tebing batu hitam, matanya menembus horizon. Angin dingin menyapu sayap-sayap para prajuritnya yang berdiri tertib di lapangan luas, sosok-sosok mengerikan setengah manusia setengah binatang, masing-masing memancarkan aura gelap yang menakutkan. Cahaya merah dari mata Edward memantul di permukaan besi dan batu, menandai awal dari strategi gelapnya.
“Dengar baik-baik!” teriak Edward, suaranya bergema di seluruh lapangan. “Algar akan merasakan dendam kita. Mereka tidak tahu, kita telah menyiapkan segalanya. Pasukan bayanganmu akan menyerang dari utara, pasukan darat akan memblokir jalan keluar, dan aku sendiri akan memimpin serangan langsung ke istana!”
Para prajurit mengangguk, sayap mereka mengepak pelan, memantulkan kilau hitam di udara. Edward menatap peta galaksi yang tergantung di udara dengan cahaya holografik. Setiap titik biru adalah wilayah Algar, setiap garis merah adalah jalur yang akan mereka taklukkan.
“Rencana kita sederhana,” lanjut Edward, suaranya dingin. “Pertama, kita ciptakan kekacauan. Pecahkan pertahanan mereka dengan energi bayangan. Jangan biarkan satu pun rakyat mereka melarikan diri. Ketika ketakutan merasuki mereka, kita menyerang dengan kekuatan penuh. Aku ingin Algar merasakan penderitaan yang sama seperti yang aku rasakan seratus tahun lalu!”
Sosok setengah manusia di sisi Edward melangkah maju. “Tuan, pasukan udara kita siap. Para pengintai telah menembus zona pertahanan planet mereka. Mereka tidak akan sadar sampai terlalu terlambat.”
Edward mengangguk tipis, matanya menyala merah menyala. “Bagus. Kita mulai gerakan malam ini. Jangan beri mereka kesempatan untuk bersiap. Mereka tidak tahu siapa yang mengintai. Mereka tidak tahu siapa yang akan menghancurkan mereka.”
Malam itu, Planet Exo berubah menjadi markas perang yang mengerikan. Energi gelap mengalir dari setiap prajurit, dari setiap sayap, dari setiap senjata yang berkilau di bawah cahaya rembulan. Edward menatap bintang-bintang, pikirannya hanya satu: menguasai Algar, menebus dendam, dan menegakkan kekuasaan yang seharusnya menjadi miliknya.
Di kejauhan, siluet planet Algar tampak kecil, rapuh, seolah bisa hancur dalam sekejap. Edward tersenyum tipis, darah bangsawan dan dendamnya berpadu dalam rencana yang sempurna. Serangan akan segera dimulai—tanpa ampun, tanpa kompromi, tanpa kesempatan bagi siapapun untuk melawan.
###
Di Planet Algar, malam menyelimuti istana dengan kabut tipis yang berkilau seperti perak. Angin dingin menerpa menara-menara tinggi, membawa aroma tanah basah dan energi mistis yang samar. Jupiter berdiri di puncak salah satu menara, matanya menembus kegelapan. Sayapnya terbentang, siap mengepak kapan pun diperlukan.
“Bau energi gelap… kuat,” gumam Jupiter. Bola matanya yang jernih berkilau merah ketika ia mengamati garis horizon. “Ini… bukan ancaman biasa. Edward telah bergerak.”
Di kamar Aluna, gadis itu merasakan getaran halus di udara. Liontin di lehernya berdenyut, memancarkan cahaya putih yang semakin terang. Batu kemerahan di mejanya bergetar, memancarkan kilau merah yang hampir menembus gelap malam. Aluna menunduk, menatap keduanya dengan campuran kagum dan takut.
“Jupiter… aku merasa… sesuatu akan terjadi,” ujar Aluna pelan, tangannya secara naluriah menempel di batu itu. “Seperti ada… pasukan besar datang.”
Jupiter melangkah masuk ke kamar Aluna tanpa suara, aura gelap dari tubuhnya berbaur dengan cahaya magis dari batu dan liontin. “Benar. Energi yang kau rasakan bukan ilusi,” kata Jupiter dengan suara dingin namun mantap. “Edward dan pasukannya bergerak menuju Algar. Mereka menggunakan kekuatan gelap yang… berbeda. Kau harus siap, Aluna.”
Aluna menatap Jupiter, matanya terbuka lebar. “Aku harus… apa? Aku bahkan tidak tahu bagaimana menggunakan kekuatan ini.”
Jupiter melangkah lebih dekat, tangannya menyalurkan energi ringan ke arah batu di meja. Cahaya merah dari batu itu menyala, seperti bereaksi terhadap kehadiran Jupiter. “Ini adalah latihan pertama, Aluna. Kau harus belajar merasakan energi ini, memahami aliran kekuatannya, sebelum mereka sampai di sini.”
Tiba-tiba, angin malam menderu lebih kencang, dan bayangan besar melewati jendela kamar. Kilatan hitam menyapu halaman istana, membuat lilin-lilin bergetar dan kaca jendela berdesir. Aluna menelan ludah, merasakan detak jantungnya semakin cepat.
“Edward… dia dekat,” kata Jupiter, matanya menyipit, mengawasi setiap bayangan di luar. “Jika kita terlambat, Algar bisa hancur sebelum kau benar-benar siap.”
Batu merah dan liontin putih mulai bersinar bersamaan, memunculkan energi yang berdesir di udara, seperti gelombang magis yang beriak. Aluna mengangkat tangan, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan aliran energi Jupiter mengalir bersamaan dengan energi dari batu dan liontin.
Sebuah kesadaran magis mulai tumbuh di dalam dirinya. Ia merasakan kekuatan, rasa takut, dan keberanian berpadu menjadi satu. Tapi matanya terus menatap gelap di luar jendela. Di luar sana, bayangan pasukan Edward bergerak seperti kabut hitam, siap menelan Planet Algar.
“Jupiter… kita harus berlatih cepat. Aku… aku ingin bisa melindungi planet ini,” kata Aluna, suaranya sedikit gemetar tapi tegas.
Jupiter mengangguk, sayapnya mengepak perlahan. “Kau akan belajar, Aluna. Dan aku akan memastikan kau bisa menggunakan kekuatan ini. Edward tidak boleh sampai ke Algar.”
Di langit malam, di kejauhan, bayangan Edward dan pasukannya terlihat bergerak seperti arus hitam yang menghampiri. Dentuman magis dari kekuatan mereka terasa hingga di kamar Aluna, membuat batu dan liontin bergetar semakin kuat.
Planet Algar, yang sebelumnya tenang, kini berada di ambang ancaman besar. Malam itu, Aluna dan Jupiter menyadari satu hal: perang akan segera dimulai, dan mereka harus belajar menguasai kekuatan magis sebelum terlambat.
###
Pasukan Edward turun dari langit seperti badai hitam. Sayap-sayap besar berderak, mengibaskan angin dingin bercampur bau logam dan darah. Tanah bergetar setiap kali kaki-kaki kuat monster Exo menjejak permukaan.
Jupiter berdiri di garis depan, tubuhnya menyala dengan aura energi kosmik. Tangannya mengepal, memunculkan semburan cahaya biru elektrik.
“Aluna, tetap di belakangku. Gunakan liontinmu hanya saat perlu.” suaranya tegas, tapi sorot matanya menyimpan kekhawatiran.
Aluna menggenggam liontin yang kini terasa berdenyut panas di telapak tangannya. Napasnya memburu. Ia tahu inilah saatnya menguji kekuatan yang baru ia sadari.
Edward muncul di antara pasukan, berdiri angkuh dengan jubah hitam berkibar. Matanya menyala merah.